Salah Open atau Ora Kopen?
Hajriyanto Y Thohari, PENDIRI DAN PENGURUS
LEMBAGA EDUKASI, BANTUAN, DAN ADVOKASI HUKUM JURIST MAKARA
Sumber : SINDO, 10 Februari 2012
Negara kita itu besar,bahkan sangat besar; juga kaya, bahkan sangat kaya.Bernard HM Vlekke dalam karya klasiknya Nusantara: A History of Indonesia yang mulai ditulis tahun 1941 dan diterbitkan tahun 1943,berarti beberapa bulan sebelum serangan atas Pearl Harbour, sudah melukiskan kebesaran Indonesia.
Vlekke mengatakan wilayah darat Indonesia itu mencapai 2 juta kilometer persegi yang berarti hampir tiga kali lebih besar dibandingkan negara bagian Texas, Amerika Serikat (AS). Jika wilayah darat ini ditambahkan dengan wilayah lautan, maka dari titik barat di ujung Pulau Sumatera sana ke titik di perbatasan dengan Papua Nugini di timur jauh sana, jaraknya mencapai 5.000 km lebih.
Kata Vlekke jarak ini sama dengan jauhnya Kota San Francisco ke Kepulauan Bermuda. Itu jika dilihat memanjang dari barat ke timur! Sementara kalau dilihat melebar dari utara ke selatan, dari Kepulauan Morotai ke Pulau Rote, lebar permukaan darat-dan-laut sekitar 2.000 km,yang kata Vlekke lagi, ini berarti sama dengan jarak dari Buffalo,New York, ke Key West,Florida,AS.
Jadi total wilayah darat dan laut Kepulauan Indonesia mencapai 10 juta kilometer persegi. Ini berarti, lagilagi kata Vlekke, 2,5 juta kilometer persegi lebih luas dibandingkan tanah yang membentuk AS kontinental tanpa negara bagian Alaska. Betulbetul gede tenan negara Indonesia ini! Dengan jumlah pulau yang fantastis (konon mencapai 17.000 pulau, besar dan kecil), Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar yang tiada tolok bandingnya di dunia.
Bukan hanya besar,Indonesia juga kaya, bahkan sangat kaya. Kaya sumber daya alam dan manusia. Bukan hanya mitos gemah ripah loh jinawi dan subur kang sarwa tinandur, tetapi realitasnya juga mengatakan Indonesia itu kaya.Tanahnya sangat subur dan kekayaan yang terkandung di bawah tanahnya dan di dalam lautannya juga luar biasa besar. Lihat saja semua daerah di Indonesia ini masing-masing mengklaim kaya, bahkan beberapa di antaranya kaya-raya.
Saking kayanya hanya dengan penjualan kekayaan alam berupa pertambangan saja telah ikut menyumbangkan 49% dari angka pertumbuhan ekonomi (6,5% per tahun) yang dibangga-banggakan pemerintah itu. Bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang itu merusak ekologi dengan tingkat destruksi ekologi yang luar biasa, semuanya juga merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Lihat juga fakta kekayaan ini: ekonomi Indonesia itu terbesar ke-14 dunia dengan PDB Rp8.100 triliun (bandingkan dengan Singapura yang cuma Rp1.700 triliun)! Justru karena itu Indonesia diajak ikut dalam G-20, kumpulan negara-negara yang size perekonomiannya terbesar dunia. Sumber daya manusia Indonesia itu juga besar, bahkan secara numerikal, (240 juta jiwa) setelah China, India, dan AS.
Manusia Indonesia secara individual pun unggul. Betapa banyak anak bangsa yang unggul jurit-nya dari dulu sampai sekarang: menjadi yang terbaik dalam banyak bidang atau menjadi juara dalam berbagai olimpiade sains dan teknologi tingkat internasional.
Salah Open?
Pertanyaannya adalah kenapa negara yang sangat besar dan kaya itu masih banyak yang miskin rakyatnya? Angka kemiskinan memang telah berhasil diturunkan menjadi 13,3%, tetapi angka ini sungguh problematis. Pertama, ukuran kemiskinan yang digunakan adalah mereka yang berpenghasilan di bawah USD1/hari atau bahkan Rp7.000/hari (BPS). Kedua, dengan persentase ini, angka kemiskinan secara numerikal adalah sangat besar (13,3% dari 237 juta jiwa: 31,5 juta lebih besar dari seluruh penduduk negara tetangga dekat Malaysia).
Apatah lagi jika ukuran yang digunakan adalah USD2/hari,mungkin setengah penduduk Indonesia tergolong miskin. Pertanyaan berikutnya,mengapa negara yang sangat besar dan kaya ini masih mengimpor kedelai, jagung, beras, garam, daging, sapi, apalagi gandum, dalam jumlah yang sangat besar? Mengapa pula SDM yang secara individual sangat tinggi itu ketika menjadi satu kesatuan kok menjadi asor (kalah) dibandingkan bangsa lain?
Aneh bin ajaib, mengapa daerah-daerah yang sangat kaya itu ketika membentuk menjadi satu kesatuan negara malah (rakyatnya) menjadi miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sampai 31 juta jumlahnya? Mengapa negara kita yang gemah ripah loh jinawi subur kang sarwa tinandur ini belum bisa menjadi negara yang toto tentrem kerto raharjo, murah kang sarwa tinuku?Adalah fakta standar: kehidupan rakyat Indonesia miskin, rendah, dengan jaminan kesehatan dan pendidikan seadanya.
Selanjutnya lihat saja misalnya soal agraria.Sebagai negara agraris dan maritim, soal pertanahan atau agraria yang merupakan satu-satunya alat produksi rakyat tidak pernah ditangani secara tuntas.Semuanya hanya ditangani secara sambil lalu, tambal sulam, dan bersifat ad hoc. Kasus sengketa tanah atau lahan antara petani dan pengusaha perkebunan, antara rakyat dan pengusaha pertambangan, antara rakyat dan tanahtanah negara/pemerintah banyak yang belum selesai alias dibiarkan ngambang!
Kasus Mesuji dan Bima hanyalah salah satu saja dari sekian banyak kasus yang ngambangitu. Konflik-konflik lahan agraria bersumber dari ketimpangan hak kepemilikan atas tanah. Tanah yang begitu luas dikuasai hanya oleh sedikit orang.Mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data di Badan Pertanahan Nasional 2010 memperlihatkan betapa sekelompok kecil orang (hanya sekitar 0,2% orang Indonesia) menguasai 56% aset nasional di mana 87% di antaranya berupa tanah.
Sementara 85% petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani. Walhasil, mayoritas penduduk negeri ini adalah petani, tetapi tidak memiliki tanah. Penataan agraria tidak pernah dilakukan secara serius oleh seluruh rezim yang pernah memerintah negara ini. Jangankan pemerintahan kolonial Belanda, bahkan pemerintahan setelah Indonesia merdeka sejak zaman “Orde Lama”, “Orde Baru”, hatta Orde Reformasi sekalipun, persoalan agraria tidak pernah ditangani dengan sungguhsungguh.
Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariayangmenelurkan PP No 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi tidak dilaksanakan. Maka tidak mengherankan jika berbagai masalah agraria tetap saja mandek dan tidak terselesaikan.
Ora Kopen
Jika faktanya memang demikian, berarti di sini ada semacam mismanajemen pengelolaan negara yang notabene dilukiskan oleh Bernard Vlekke sebagai sangat besar ini.Atau malah bisa jadi lebih parah daripada itu: manajemen negara selama ini,sejak merdeka 66 tahun dulu itu, ora iso ngopeni (tidak bisa mengurus dengan baik) negara yang sangat besar dan kaya ini sehingga mengakibatkan negara kita salah open (salah urus), kalau bukannya malah ora kopen (tidak terurus).
Sepertinya, kemampuan pemimpin bangsa dan penyelenggara negara ini untuk mengurus negara yang sangat besar dan kompleks ini memang sangat terbatas. Bahwa bangsa ini mengidap kecekakan dan ketekoran budaya (cultural lag and shortage) sehingga seumpama tali memang kurang panjang (cupet) sehingga ora tekan (tidak nyampe) atau ora iso ngopeni (tidak mampu mengurus) negara yang sangat besar dan kaya ini.
Jadi, ini bukan persoalan infrastruktur, apalagi sistem politik dan hukum, melainkan jauh lebih fundamental daripada itu, yaitu persoalan (kelemahan) budaya: ora iso ngopeni! Walhasil negara selama ini bukannya salah open, melainkan para pemimpin bangsa dan penyelenggara negara sejak merdeka 1945 ora iso ngopeni negara yang sangat besar ini.Tak aneh jika negara ini kurang terurus alias ora kopen! ●
Apatah lagi jika ukuran yang digunakan adalah USD2/hari,mungkin setengah penduduk Indonesia tergolong miskin. Pertanyaan berikutnya,mengapa negara yang sangat besar dan kaya ini masih mengimpor kedelai, jagung, beras, garam, daging, sapi, apalagi gandum, dalam jumlah yang sangat besar? Mengapa pula SDM yang secara individual sangat tinggi itu ketika menjadi satu kesatuan kok menjadi asor (kalah) dibandingkan bangsa lain?
Aneh bin ajaib, mengapa daerah-daerah yang sangat kaya itu ketika membentuk menjadi satu kesatuan negara malah (rakyatnya) menjadi miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sampai 31 juta jumlahnya? Mengapa negara kita yang gemah ripah loh jinawi subur kang sarwa tinandur ini belum bisa menjadi negara yang toto tentrem kerto raharjo, murah kang sarwa tinuku?Adalah fakta standar: kehidupan rakyat Indonesia miskin, rendah, dengan jaminan kesehatan dan pendidikan seadanya.
Selanjutnya lihat saja misalnya soal agraria.Sebagai negara agraris dan maritim, soal pertanahan atau agraria yang merupakan satu-satunya alat produksi rakyat tidak pernah ditangani secara tuntas.Semuanya hanya ditangani secara sambil lalu, tambal sulam, dan bersifat ad hoc. Kasus sengketa tanah atau lahan antara petani dan pengusaha perkebunan, antara rakyat dan pengusaha pertambangan, antara rakyat dan tanahtanah negara/pemerintah banyak yang belum selesai alias dibiarkan ngambang!
Kasus Mesuji dan Bima hanyalah salah satu saja dari sekian banyak kasus yang ngambangitu. Konflik-konflik lahan agraria bersumber dari ketimpangan hak kepemilikan atas tanah. Tanah yang begitu luas dikuasai hanya oleh sedikit orang.Mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data di Badan Pertanahan Nasional 2010 memperlihatkan betapa sekelompok kecil orang (hanya sekitar 0,2% orang Indonesia) menguasai 56% aset nasional di mana 87% di antaranya berupa tanah.
Sementara 85% petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani. Walhasil, mayoritas penduduk negeri ini adalah petani, tetapi tidak memiliki tanah. Penataan agraria tidak pernah dilakukan secara serius oleh seluruh rezim yang pernah memerintah negara ini. Jangankan pemerintahan kolonial Belanda, bahkan pemerintahan setelah Indonesia merdeka sejak zaman “Orde Lama”, “Orde Baru”, hatta Orde Reformasi sekalipun, persoalan agraria tidak pernah ditangani dengan sungguhsungguh.
Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariayangmenelurkan PP No 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi tidak dilaksanakan. Maka tidak mengherankan jika berbagai masalah agraria tetap saja mandek dan tidak terselesaikan.
Ora Kopen
Jika faktanya memang demikian, berarti di sini ada semacam mismanajemen pengelolaan negara yang notabene dilukiskan oleh Bernard Vlekke sebagai sangat besar ini.Atau malah bisa jadi lebih parah daripada itu: manajemen negara selama ini,sejak merdeka 66 tahun dulu itu, ora iso ngopeni (tidak bisa mengurus dengan baik) negara yang sangat besar dan kaya ini sehingga mengakibatkan negara kita salah open (salah urus), kalau bukannya malah ora kopen (tidak terurus).
Sepertinya, kemampuan pemimpin bangsa dan penyelenggara negara ini untuk mengurus negara yang sangat besar dan kompleks ini memang sangat terbatas. Bahwa bangsa ini mengidap kecekakan dan ketekoran budaya (cultural lag and shortage) sehingga seumpama tali memang kurang panjang (cupet) sehingga ora tekan (tidak nyampe) atau ora iso ngopeni (tidak mampu mengurus) negara yang sangat besar dan kaya ini.
Jadi, ini bukan persoalan infrastruktur, apalagi sistem politik dan hukum, melainkan jauh lebih fundamental daripada itu, yaitu persoalan (kelemahan) budaya: ora iso ngopeni! Walhasil negara selama ini bukannya salah open, melainkan para pemimpin bangsa dan penyelenggara negara sejak merdeka 1945 ora iso ngopeni negara yang sangat besar ini.Tak aneh jika negara ini kurang terurus alias ora kopen! ●