Anas dan Buah Simalakama
Shodiq Adi Winarko, PENELITI DI THE DEWANTARA INSTITUTE, JAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 7Februari 2012
Dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus pembangunan Wisma Atlet Palembang sangat santer dibicarakan publik. Apalagi, dugaan itu terus saja dijadikan nyanyian wajib rekannya sendiri, Muhammad Nazaruddin. Ditambah lagi, kesaksian Mindo Rosalina Manulang, salah seorang terdakwa, dan Yulianis, orang kepercayaan Nazaruddin di Grup Permai yang dimiliki mantan Bendahara Umum Demokrat itu.
Anehnya, Partai Demokrat (PD) yang selama ini menjadi payung perlindungan Anas justru kerap memojokkan dirinya. Beberapa orang terdekat Anas mulai meninggalkannya di tengah terpaan kasus Nazaruddin yang menghardik jabatannya. Ditambah lagi, berbagai argumentasi para anggota PD yang semakin meyakinkan publik akan adanya upaya penggulingan Anas.
Tentu perkataan Ruhut Sitompul sangat menyudutkan Anas. Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat itu mengatakan, "Saya meminta kepada saudara Anas Urbaningrum legowo untuk mundur sebagai Ketua Umum Demokrat." (Suara Merdeka, 3/2).
Publik pun tercengang mendengar pernyataan Ruhut Sitompul itu. Dengan asumsi bahwa Anas telah didesak mundur oleh rekan-rekannya sendiri, publik menilai, sekarang Partai Demokrat sudah berada di ujung tombak kehancurannya. Walau pemberitaan di media massa seringkali tidak membenarkan adanya upaya penggulingan Anas di internal partai, namun rasanya masyarakat Indonesia sudah pintar. Setidaknya, publik dapat menduga adanya badai politik internal yang melanda partai segitiga biru itu. Hal ini semakin jelas terlihat dari kesimpangsiuran keterangan para elit partai yang digagas oleh SBY itu.
Sangat jelas, Anas Urbaningrum ibarat makan buat simalakama, dimakan bapak meninggal, tak dimakan ibu meninggal. Dilema Anas Urbaningrum terlihat dari loyalitasnya kepada Partai Demokrat. Baginya, Ketua Umum Partai Demokrat hanyalah satu, Drs. Anas Urbaningrum, MA. Tak ayal dengan loyalitasnya, Anas berani menghadapi dengan tegar arus opini publik yang terus memojokkannya.
Posisi yang sekarang didudukinya memang pantas untuk tetap dipertahankan. Bagaimana tidak, rasanya tidak seorang pun yang menolak jika ditawari untuk menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Tak ayal jika beberapa nama calon pengganti Anas sudah mulai dipersiapkan. Entah apa motifnya, yang jelas para anggota PD terkesan ingin mengganti posisi Anas dengan orang lain.
Namun tetap saja, keputusan final hanya ada di tangan Anas. Berbagai hasutan untuk mundur dari para anggota PD tidak akan mampu bereaksi, tanpa persetujuan pengunduran diri langsung dari Anas.
Inilah titik keraguan Anas bereaksi. Sikap Anas yang ingin mempertahankan posisinya sebagai Ketum Partai Demokrat tak lain hanya untuk menjaga nama baik PD, baik secara internal maupun eksternal. Memang sangat dilematis, saat Anas memutuskan untuk mengundurkan diri, tidak menutup kemungkinan akan timbul berbagai tudingan bahwa ada sesuatu di balik pengunduran diri Anas.
Para Intelektuil khususnya akan segera meraba faktor-faktor pengunduran diri Anas. Mulai dari kemungkinan keterlibatan Anas dalam kasus wisma atlet. Upaya pelarian diri Anas dari jeratan hukum. Upaya pengalihan isu, hingga ketidakomitan Anas terhadap Partai Demokrat.
Di sisi lain, sikap Anas untuk tetap mempertahankan posisinya sebagai Ketum Partai Demokrat juga tidak lepas dari tudingan negatif berbagai pihak. Beberapa anggota PD sendiri mengharapkan Anas untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya di PD. Hal ini penting untuk pemulihan citra baik partai berlabelkan 'pemberantas korupsi' ini.
Memang, rasanya upaya pemberhentian Anas dari jabatannya mampu menjadi lanjutan dari perjalanan pencitraan PD. Dengan presentase kepercayaan publik yang semakin menurun terhadap PD, langkah penggulingan Anas pun dianggap perlu. Menyusul pemecatan Nazaruddin dan penyelesaiannya kasus Angelina Sondakh, dimana keduanya merupakan orang yang terpandang di PD.
Namun perlu diperhatikan, tulisan ini bukanlah suatu dukungan atau celaan bagi Anas Urbaningrum. Lebih pasnya hanya menghimbau kepada publik untuk tetap bersikap bijaksana. Selama KPK belum menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus wisma atlet, masyarakat tidak bisa serta merta menuduh Anas, lalu menghukuminya secara kolektif. Inilah yang kiranya juga menjadi harapan seorang Gus Dur, "katakanlah yang benar walau pun pahit."
Rasanya tidak pantas jika seorang yang memang belum terbukti bersalah, lantas dijatuhi berbagai konsekwensi hanya karena dasar opini masyarakat. Jangan sampai sikap penyudutan publik terhadap Anas berawal dari eskapisme intelektuil mereka akan kebenaran.
Simalakama
Meski posisi Anas kian lama kian terpojokkan oleh rekan-rekannya di partai, sikap Anas bisa dikatakan tidak begitu salah. Hanya butuh keberanian lebih untuk mulai melawan para penuduh. Jangan lagi Anas bersikap defensif dengan hanya bungkam atau melarikan diri dari kejaran pers. Namun, inilah saatnya mengatakan kepada publik tentang kebenaran.
Keberanian Anas teruji, cukuplah baginya berlindung di bawah sikap SBY yang sudah menegaskan sikap terhadap Anas. Sekarang terpulang kepada Anas mau mengambil sikap seperti apa di partai yang dipimpinnya. Segala upaya penggulingan Anas tak lain mengandung unsur politik, dan kebenaran tidak bisa dipolitisasi. Tindakan Anas tidak mengindikasikan bahwa ia seorang kader partai yang membangkang. Sebab, siapa pun yang pada posisi dia, kemungkinan akan menghadapi hal yang sama, seperti makan buah simalakama. Bagaimanakah akhir dari kisah Anas Urbaningrum di PD? Kita tunggu saja, semoga cukup sekali saja Anas makan buah simalakama. ●