Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa


Piramida, Atlantis, dan Jati Diri Bangsa
Daud Aris Tanudirjo, PENGAJAR FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber : KOMPAS, 10 Februari 2012



Perdebatan tentang ”piramida Sadahurip”memasuki babak baru. Tak kurang dari 200 ilmuwan dan tokoh masyarakat berkumpul di Sekretariat Negara untuk menghadiri gelar penjelasan tentang ”bangunan bersejarah di Gunung Sadahurip, Garut, dan Gunung Padang, Cianjur”, Selasa, 7 Februari lalu.

Acara yangdiselenggarakan oleh StafKhusus PresidenBidang BantuanSosial danBencanaini adalahfenomenamenarik. Kontroversiada tidaknya piramida buatanmanusia dibawahSadahurip yangsemulahanya beradadi ranahpublik dan ”akademis”rupanyakini telah dibawa masuk ke ranah politik, terutama politik identitas. Hal ini dapatterjadi ketikakonstruksi pengetahuan akademis diharapkandapat dipakaisebagailegi- timasijati diridari suatuko- munitas atau rezim.

Secara akademis, wacana ”piramida Sadahurip”s e b e n a r ny a bukan masalah besar. Kontroversi dapat segera mendapat penjelasanjika pemerintahmau memfasilitasi kerja multidisiplin. Denganmelibatkan pakarkompeten dan dukungan teknologi memadai, hanya dalam beberapa bulankepastian tentangkeberadaan piramida itu dapat diperoleh. Masalahnyajustru menjadi panjang ketika politik identitas mulai ikut mewarnai wacana ini.

Politik Identitas

Temuan ”piramida”yang dikatakanmirip PiramidaGizadi Mesir tetapilebih tuaitu (6.000 tahun lalu) diharapkan dapat membuktikan tingginya peradaban ”Indonesia”jauh sebelum ada peradabanlain di muka bumi ini. Dengan begitu, temuan ”piramida”iniakan mengangkat citra jati diri bangsa ini.

Harapan ini menjadi cocok ketika orang ingat hipotesis Stephen Oppenheimer.Dalam bukunya  Edenin theEast (1998) yangtelah diterjemahkandalam bahasa Indonesia, dokter ahli genetika ini menyatakan bahwa Paparan Sunda merupakan tempat asal peradaban dunia. Oppenheimer membayangkan,pada akhir Zaman Es telah terjadi setidaknyatigakali banjirbesaryang menenggelamkan Paparan Sunda sehingga terbentuk kepulauan Nusantara yang sekarang.

Gagasan yang sama pernah digaungkan oleh Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya A t l a n t i s -T h e Lost Continent Fi n a l l y Fo u n d  (2005). Sebagai akibatnya, penduduk Paparan Sunda yang ketika itu sudah memiliki peradaban tinggiterpaksa bermigrasike berbagaipenjurudunia: Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur,dan jugaPasifik. Didaerah baru itu,mereka lalu mengembangkan peradaban baru yangmemicu munculnyaperadaban besar,antara laindi Mesir, Mesopotamia, India, China, dan Jepang.

Di Kepulauan Pasifik, para migran itu menjadi penghuni awal dan perintisperadaban. Hipotesis ”At l a n t i s ”ini memang dibalut dengan penyajian yang menawan dan sederetbukti yang tampaknya kuat, termasuk genetika, mitos, dan geologi.

Dalam kontekspolitik iden- titas, hipotesis”At l a n t i s ”yang menobatkan Indonesia sebagai pusat peradabandunia itutentu dianggap amat strategis. Bahkan, ada yang menafsirkan Sundaland sebagai ”tanah Sunda”. Maka, kalau benarada piramidadi Jawa Barat, ditambah lagi dengan teras batu berundakdi GunungPa- dang, Cianjur, cocoklah kedua hal itu sebagai bukti kebenaran hi- potesis Atlantisitu. Karenaitu, perludiupayakan agar”pirami da”itu benar-benar ada!

Rupanya, pesanini yangingin diyakinkan kepadamasyarakat. Dengancara pikirini,kiranya tidak sulit melihat benang merah antara gelar ”piramida Sadahurip”diSekretariat Negaradan audiensiOppenheimer, yangdi- antarsejumlah ilmuwandanpe- tinggi negara, dengan Presiden RI.

Bias Pengetahuan

Lalu, mengapa halini terjadi? Adatigahal yangdapatmen- jelaskan fenomenaini. Pertama adalah adabias dalam konstruksi pengeta-huan masyara- kat. Initerkait dengan in- dustri buku yang tidak t e r ke n d a l i . Demi profit besar, yangditerjemahkan dan beredar di masyarakat hanya buku impor yang laris. Genre buku ”sejarah”populer HANDINING ”populer seperti  Da VinciCode karya Dan Brown,  1421 dan  1434 (tentang Zheng-He) karya Gavin Menzies, dan Atlantis karya Arysio Santos itulah yangmengonstruksi pikiran masyarakat umum.

Padahal, sering kali buku seperti ini”meng ecoh”pikir. Pembaca akanmudah mendapatkesan buku ituilmiah karena datanya meyakinkan,tetapi sebenarnya tidak. Dalam arkeologi, karya seperti inidisebut  pseu d o - a rc h a e o l o g y  . Disisi lain,masyarakat tidak mudah mengakses tinjauan kritis atas karya-karya itu. Jarangada resensiyang cukup berbobot tentang buku-buku itu kecuali dijurnal-jurnal yang sulit diaksespublik. Akibatnya, ada bias pengetahuan dalam ma- syarakat. Seakan pendapat para penulis itu sudah benar.

Oppenheimer memang ilmuwan andal dalam bidang genetika,tetapi bukunya Eden intheEast tidak cukup dipandang dalam kajian sejarah budaya dunia. Rekonstruksi arkeologis, linguistik, dan geologinya kurang meyakinkan. Buku ini telah mengundangkritik sejakditerbitkan(a.l. Bellwood,2000).Resensi bukuini pernahdimuat di Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada pada 2003. Tafsiran data genetikahipotesis Atlantis pun pernah diperdebatkan di Indo-Pacific Prehistory Association di Taiwan pada 2002. Sayangnya, tinjauan-tinjauan kritis ini jarang sampaidi masyarakatsehingga pengetahuan yang adadi masyarakat menjadi bias.

Penjelasan kedua berkaitan dengan kondisi budaya di Indonesia. Memang kinikita telah menjadi masyarakatmodern. Hanya saja, modernitas itu baru menyentuhtataran sosialdan teknologi. Itu terbukti dari penggunaan teknologi maju, gaya hidup, konsumsi tinggi,dan pergaulan dunia. Namun, kita belum mencapai modernitas ideologis (cara pikir rasional) sehingga kita tidak mampu berpikir kritis.

Sebaliknya, kitamasih mudah dikuasai oleh pikiranmitis, rumor,danisu takjelas.Tendensi konsumerisme yang tinggi adalah bukti pikiranmitis yangmudah ”terhasut”oleh iklanyangmenciptakan mitos-mitos modernitas. Karena itu, tidak heran jika jatidiribangsa yangkinihendak dibangun masih berdasarkan pengetahuanmitis ataudi-misti-fikasikan.

Kehilangan Jati Diri

Penjelasan lain soal kontroversi ”piramida Sadahurip” adalah gejala millenarisme, atau cargocult, yang menginginkan kembalinyakebahagiaan dankejayaan masa lalu. Gejala ini umumnyamuncul ditengahmasyarakat yang sedang goyah menghadapi perubahan zaman dan ketidakpastian hidup. Masyarakat akan lari pada bayang-bayang kehidupandi masasilam yangpenuhdengan kejayaan.Kalauitu tidak dapat dialami lagi secara fisik, hal itu dilakukan hanya dalam pikiran (mitis). Ini adalah cermin masyarakat yang frustrasi dan kehilangan jati diri di tengah tataran pikir yang masihmitis. Itulah yang kini sedang terjadi di Indonesia.

Kalau kita mau becermin dari kasus ini, sesungguhnyakita harus maludengan dirikita. Niatnya, menemukan jati diri bangsa yang luar biasa hebat. Namun, kenyataan menunjukkan,bangsa ini telahkehilangan jatidiri dan sedangmencari jatidiri.Sayangnya,cara-cara yangdigunakan masih beralaskan pikiran mitis. ●
◄ Newer Post Older Post ►