Bunga Kredit dan Arsitektur Perbankan


Bunga Kredit dan Arsitektur Perbankan
Mirza Adityaswara, EKONOM; ANALIS PERBANKAN DAN PASAR MODAL
Sumber : KOMPAS, 6 Februari 2012


Tingginya bunga kredit sedang menjadi sorotan Bank Indonesia. Namun, BI tak secara spesifik menyebutkan bunga kredit segmen mana yang dianggap terlalu tinggi.
Apakah segmen korporasi atau segmen kredit ritel; bunga kredit kepemilikan rumah (KPR), kartu kredit, kredit mikro, kredit tanpa agunan (KTA), atau kredit lain. Bunga kredit berbagai segmen itu berbeda-beda. KTA dan kartu kredit bunganya masih di atas 30 persen karena tak ada jaminan dan untuk konsumtif. Untuk kredit korporasi, banyak perusahaan besar yang terdaftar di bursa efek, bunga kreditnya sudah rendah, bisa hanya 7,5 persen, yang artinya sekitar 3 persen di bawah suku bunga dasar kredit yang diumumkan bank-bank.

Bank besar, seperti BCA dan Mandiri, sudah berani menawarkan bunga KPR di bawah 8 persen pada tahun pertama meski tahun selanjutnya bunga mengambang karena sumber dananya jangka pendek. Namun, bank yang memiliki unit kredit mikro masih menawarkan bunga tinggi, 25-35 persen per tahun. Padahal, jika negara ini ingin membangun industri kecil dan industri rumah tangga, bunga kredit ritel dan mikro harus diusahakan turun lebih banyak lagi.

BI juga menyoroti tingginya margin bunga bersih atau selisih pendapatan bunga dengan biaya bunga (net interest margin/NIM) perbankan yang saat ini 5,9 persen, tetapi BI tidak membandingkan NIM perbankan secara historis. NIM sebelum krisis 1998 di bawah 4 persen. Bahkan, beberapa bank besar yang dimiliki para konglomerat dulu memiliki NIM yang hanya sekitar 2,5 persen karena mereka banyak menyalurkan kredit kepada grup sendiri yang kemudian kolaps pada saat krisis 1998 sehingga membebani APBN sampai kini.

Tentunya kita tak ingin kembali ke kondisi sebelum tahun 1998 karena yang mendapat akses kredit pada saat itu sebagian besar hanya para konglomerat dan beberapa korporasi.

Kuncinya Persaingan

Bunga kredit korporasi saat ini bisa rendah karena bank dalam negeri bersaing dengan bank luar negeri. Selain itu, bunga kredit korporasi bersaing dengan instrumen pendanaan dari pasar modal (obligasi). Berhubung makroekonomi Indonesia membaik, investor portofolio asing terus masuk membeli Surat Utang Negara (SUN) sehingga imbal hasil SUN berjangka 10 tahun turun tiga tahun terakhir dari 9,5 persen menjadi 5,8 persen.

Akibatnya, imbal hasil obligasi korporasi juga ikut turun menjadi sekitar 8 persen. Dampak positifnya, perbankan terpaksa harus mau menurunkan bunga kredit korporasi ke bawah 9 persen. Jadi, kuncinya tingkatkan persaingan. Dulu sebelum 1998 pemerintah pernah mewajibkan bank memberikan kredit usaha kecil sebesar 20 persen dari total portofolio. Namun, cara ini gagal.

Yang terjadi, beberapa bank justru mengakali regulasi dengan memecah kredit korporasi jadi kredit kecil-kecil. Sebaliknya, saat ini kita lihat ada beberapa bank selain BRI yang dengan sukarela masuk ke segmen kredit mikro, yaitu Danamon, BTPN, dan Mandiri. Kredit mikro nilai kreditnya maksimum Rp 50 juta.

Pemain lain, seperti Bank OCBC NISP dan CIMB Niaga, juga mulai melebarkan sayap masuk ke kredit mikro. Total kredit mikro bank umum sudah mencapai Rp 300 triliun atau 14 persen dari total kredit. Ini positif karena dari sekitar 1.800 BPR yang ada, total kreditnya hanya Rp 40 triliun. Ditambah koperasi simpan pinjam, mereka tidak akan mampu mendanai seluruh kebutuhan potensi kredit usaha mikro di Indonesia.

Ternyata tanpa paksaan dari regulator dan tanpa insentif Arsitektur Perbankan, bank-bank tersebut masuk dengan sukarela ke segmen kredit mikro karena penciuman bisnis. Bank adalah lembaga komersial. Yang dilihat oleh bank adalah adanya margin yang tinggi di segmen kredit mikro. Dampak positifnya, masyarakat kecil diuntungkan karena jika dulu mereka hanya memperoleh akses kredit dari para rentenir, sekarang ada alternatif pendanaan dari perbankan.

Menambah Suplai

Dengan adanya kompetisi, bunga kredit mikro BPR mulai turun. Namun, penurunan bunga kredit mikro masih terlalu lambat karena kompetisinya masih kurang. Suplai kredit mikro harus ditambah. Namun, jika kita tak sabar, pemerintah harus menyediakan dana tambahan di APBN untuk kredit usaha rakyat. Hanya saja, kita juga harus siap menambah modal Askrindo untuk menyerap kredit macet KUR. Rasanya tak akan mampu APBN mendanai itu semua.

Selanjutnya, jika kita bicara NIM, sesuai definisinya, NIM adalah selisih pendapatan bunga dan biaya bunga. Suatu bank bisa saja punya NIM hanya 1 persen, tetapi itu bukan karena bunga kreditnya yang rendah, melainkan karena bunga dananya yang tinggi dan terbebani kredit bermasalah sehingga hanya tersisa NIM 1 persen untuk membiayai operasional bank. Ini juga tak sehat karena bank akan sulit berkembang. Jadi, tak tepat jika BI malah senang melihat bank dengan NIM terlalu rendah.

Untuk menyalurkan kredit, bank membutuhkan dana. Pendanaan bisa datang dari simpanan (deposit), pasar uang, dan pasar modal. BI mengatakan tak ada kekurangan likuiditas di pasar uang karena penempatan ekses likuiditas bank di BI melimpah, sekitar Rp 410 triliun. Bank menempatkan aset likuid di BI untuk berjaga-jaga jika terjadi pencairan kredit yang kini belum ditarik (undisbursed loans).

Penempatan di BI bunganya 4,5 persen, lebih menarik daripada Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang hanya 1,9 persen sehingga yang masuk membeli SPN hanya investor asing. Bunga pasar uang antarbank (PUAB) jangka waktu satu hari (overnite) hanya 4,5 persen, artinya 1,5 persen di bawah bunga acuan BI (BI Rate), tetapi volumenya kecil dan tenornya kebanyakan maksimum satu minggu sehingga bank tidak bisa menjaring dana dari PUAB. Jumlah kredit yang belum ditarik sangat besar, Rp 640 triliun atau sekitar 30 persen dari total kredit, meski memang tak semuanya bersifat ”pasti dicairkan”. Angka itu termasuk kredit infrastruktur.

Jika kondisi memang likuid, mengapa para pemilik dana besar punya kekuatan tawar untuk memojokkan perbankan agar membayar bunga deposito tinggi, bahkan bisa 3 persen di atas bunga acuan BI? Ini semua cerminan dari hukum permintaan dan penawaran. Semakin tinggi rasio kredit terhadap dana deposit (loan to deposit ratio/LDR), semakin giat bank menjaring dana simpanan nasabah untuk mendanai kredit. Meski LDR perbankan kelihatannya hanya 81 persen, banyak bank yang LDR-nya sudah mendekati 100 persen. LDR di atas 90 persen tidak sehat. Masalahnya ekses likuiditas dari investor asing tak bisa dipergunakan oleh bank.

Hampir tidak ada bank yang menerbitkan Certificate Deposits (CD) di pasar uang. Masih sedikit bank yang punya akses menggali dana jangka panjang obligasi dan saham. Akibatnya, bank berebut dana di satu pasar saja, yaitu pasar Time Deposits (TD). Kesimpulannya, BI harus membenahi Arsitektur Perbankan agar suplai kredit mikro bertambah serta bersama Bapepam-Lembaga Keuangan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) memperdalam likuiditas di pasar uang jangka pendek dan jangka panjang agar bunga deposit turun. Benahi problem makro perbankan dengan pendekatan makro, jangan dengan pendekatan mikro. ●

◄ Newer Post Older Post ►