Ironi Bisnis Transportasi


Ironi Bisnis Transportasi
Augustinus Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA, SURABAYA
Sumber : JAWA POS, 8Februari 2012


BARUseminggu lalu (1/2) bus Majujaya jurusan Tasikmalaya-Cikampek masuk jurang di Dusun Cilangkap, Desa Sukajadi, Kecamatan Wado, Sumedang, karena rem blong dan menewaskan 12 penumpangnya. Lagi-lagi, kecelakaan bus kembali terjadi. Kali ini, di tol Sidoarjo-Surabaya, bus Restu jurusan Malang-Surabaya menabrak sebuah dump truck dari belakang (6/2) gara-gara sopirnya ugal-ugalan. Akibatnya, tiga penumpang bus (termasuk kernet) tewas dan 20 lainnya luka-luka.

Bisnis transportasi kita sudah terlalu sering mengalami kecelakaan, baik bus, kapal laut, kereta api, maupun pesawat udara. Sebegitu rendahkah nilai nyawa manusia bagi pengemudi maupun pengelola bisnis transportasi sehingga tak lagi mengutamakan keselamatan para penumpang? Perlu diingat, nyawa satu warga itu sangat berharga, sama seperti kita menilai nyawa kita sendiri. Ini bukan soal ganti rugi atau pembayaran asuransi jiwa bagi keluarga korban, tapi soal keprihatinan kita bersama.

Tirani Ekonomi

Apa pun alasannya, kecelakaan dalam bisnis transportasi merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengawas, pengatur, dan penyedia sarana infrastruktur transportasi yang memadai serta tanggung jawab pihak pengusaha transportasi selaku penyedia jasa yang aman dan nyaman. Terjadinya human error dan lemahnya sistem keamanan alat transportasi (seperti rem blong) merupakan cerminan pengelolaan bisnis yang buruk. Pengusaha transportasi cenderung hanya menekankan pada keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang sekecil-kecilnya (doktrin utilitarianisme).

Spirit itulah yang membuat perusahaan lupa merawat alat transportasi secara intensif, menyejahterakan dan memberikan pelatihan rutin kepada pengemudi, serta membuat program penyegaran atau darmawisata bagi mereka. Dalam paradigma utilitarian, pemerintah hanya sibuk mengurusi pendapatan negara dari pajak maupun retribusi bisnis transportasi. Akibatnya, pengusaha transportasi kadang terpaksa menutupi biaya operasi dengan meminimalkan jumlah buruh serta memberikan upah seminim mungkin.

Paradigma keuntungan yang terbesar dari sumber daya yang sekecil-kecilnya sangat berbahaya dalam bisnis transportasi karena berimplikasi pada rendahnya jaminan keselamatan penumpang. Spirit yang hanya mengejar target setoran dan pendapatan akan memicu lahirnya kelalaian serta kecerobohan dalam menjalankan tugas. Sopir bus, misalnya, akan mengalami tekanan pekerjaan yang berat karena prestasi kerja, yang dihargai dengan upah maupun bonus, selalu diukur dengan pencapaian target, bukan kenyamanan dan keselamatan penumpang (kualitas produk jasa).

Bayangkan jika pengusaha transportasi sekadar berambisi meraih keuntungan berlipat ganda demi memperbesar omzet per tahun, bukankah hal itu juga bisa membahayakan keselamatan buruh dan penumpang? Sebenarnya, keuntungan terbesar yang hendak diraih pemerintah maupun pengusaha transportasi tanpa memperhatikan keadilan dan kesejahteraan bagi para buruhnya merupakan bentuk tirani ekonomi atau kemanfaatan yang menindas sekaligus membahayakan konsumen. Padahal, buruh merupakan elemen penting dari keselamatan dan kenyamanan para penumpang. Pengusaha transportasi terlalu pelit dalam mengalokasikan dana untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

Padahal, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menganut konsep hubungan industrial Pancasila (vide pasal 1 angka 16). Artinya, buruh bukan sekadar faktor produksi, melainkan merupakan manusia pribadi yang memiliki harkat dan martabat. Buruh perusahaan transportasi tidak seharusnya mengeluh atas penghasilan mereka yang minim saat menjalankan tugas yang vital karena menyangkut keselamatan nyawa banyak orang.

Tampaknya, pengusaha transportasi kita perlu mencontoh credo (komitmen) perusahaan Johnson & Johnson dalam memperlakukan buruh. Dalam credo-nya, perusahaan itu menyatakan: We are responsible to our employees, the man and women who work with us throughout the world. Everyone must be considered as an individual. We must respect their dignity and recognize their merit. They must have a sense of security in their job. Compensation must be fair and adequate, and working conditions clean, orderly and safe.

Jadi, kesejahteraan buruh merupakan tanggung jawab moral pengusaha transportasi. Artinya, pengusaha bisa saja memberikan upah minimum yang melampaui ketentuan pemerintah. Dengan begitu, kesuksesan bisnis transportasi bisa diraih melalui ketaatan pada prinsip keselamatan penumpang dan keadilan terhadap buruh. Ketentuan upah minimum dari pemerintah jangan dijadikan standar optimum bagi perusahaan. Kalau memang perusahaan sanggup membayar upah sebesar kelipatan dari upah minimum, buruh transportasi akan tenang, sejahtera, dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Sebaliknya, jika pengusaha transportasi tidak sanggup menyejahterakan buruhnya, pemerintah lebih baik mencabut izin usahanya daripada berisiko tinggi mencelakakan penumpang. Yang jelas, buruh transportasi yang sehat dan sejahtera berkewajiban moral untuk bekerja secara profesional dengan mengutamakan keselamatan serta kenyamanan penumpang. Mereka akan peka atau responsif terhadap kondisi alat transportasi yang butuh perawatan dan waspada terhadap perilaku penumpang yang bisa membahayakan alat transportasi.

Karena itu, demi keselamatan penumpang, pemerintah dan pengusaha wajib lebih dulu menjamin hak-hak dan kualitas hidup para buruh transportasi. Etika penentuan upah perlu didasarkan pada komitmen pengusaha yang berani berkata: Kami memperoleh keuntungan yang banyak karena kami membayar upah yang terbaik.

Sebaliknya, buruh transportasi tidak boleh sekadar menuntut kesejahteraan. Tapi, mereka harus berani berkata: Kami pantas mendapat upah yang layak karena kami bekerja dengan kualitas yang terbaik, terutama dalam menjamin keselamatan penumpang. ●

◄ Newer Post Older Post ►