Transparansi Penerimaan SDA


Transparansi Penerimaan SDA
Marwan Batubara, DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIES
Sumber : KOMPAS, 7 Februari 2012


Pemerintah mengakui tidak memiliki data primer pertambangan mineral dan batubara sehingga negara berpotensi dirugikan.

Sebelumnya, Dirjen Pajak mengatakan, guna mencapai target penerimaan pajak 2012 sebesar Rp 1.032 triliun, pemerintah akan mengintensifkan pemungutan pajak sumber daya alam (SDA), terutama migas, mineral dan batubara, serta kelapa sawit. Ditjen Pajak akan menunjuk surveyor independen untuk menyurvei sekitar 9.000 perusahaan tambang. Targetnya adalah memperoleh data primer industri tambang, seperti daftar perusahaan, volume produksi, volume ekspor, dan seterusnya, selain merupakan upaya meningkatkan pengawasan.

Rencana Ditjen Pajak ini menunjukkan buruknya pengelolaan penerimaan SDA selama ini. Hanya untuk membuat daftar semua perusahaan tambang berikut data produksi, keuangan, dan pajak saja, pemerintah tak becus. Mungkin juga karena ada oknum pejabat yang sengaja menyembunyikan data, terlibat KKN, di samping penyelewengan oleh oknum perusahaan. Tak heran, penerimaan negara jauh lebih rendah daripada seharusnya.

Penyebab Kerugian

Berdasarkan perhitungan teoretis, rata-rata penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara 25 persen terhadap pendapatan kontraktor. Karena itu, untuk produksi batubara 340 juta ton tahun 2011, semestinya negara memperoleh Rp 68 triliun. Ternyata, berdasarkan data Ditjen Pajak, penerimaan negara dari tambang emas, tembaga, timah, batubara, dan sebagainya hanya Rp 87 triliun.

Hal itu menunjukkan penerimaan negara dari pertambangan sangat rendah dan kontraktor mendapat bagian jauh lebih besar. Maka, Freeport pun berubah dari perusahaan gurem menjadi raksasa dunia. Menurut majalah Forbes (11/2011), 12 dari 40 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha batubara.

Ada dua faktor utama penyebab kerugian negara pada sektor SDA, yaitu aturan yang bermasalah dan moral hazard oknum pejabat dan pengusaha. Hal ini tampak pada sejumlah penyelewengan berupa kekurangan/penyembunyian data, transfer pricing, penggelembungan biaya (cost recovery), penyalahgunaan tax treaty, manipulasi self-assessment, transparansi/akuntabilitas yang rancu, serta inkonsistensi dan pelanggaran aturan. Sebagian bukti penyelewengan ada dalam laporan BPK.

Terkait penyembunyian data, Kementerian ESDM mengakui hanya menghitung hasil produksi batubara perusahaan tambang yang terdaftar di pusat dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) besar. Sementara kuasa pertambangan (KP) kecil tidak dihitung. Yang terdaftar di pusat sekitar 80 persen dari total perusahaan. Berarti ada ratusan perusahaan tidak terkena DMO.

Di sisi lain, pihak pemda juga tidak optimal mengawasi dan memperoleh pajak. Menurut perkiraan Kementerian ESDM, produksi batubara Indonesia 2012 adalah 332 juta ton. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyebutkan produksi bisa mencapai 380 juta ton. Selisih data ini jelas menunjukkan besarnya kerugian negara.

Terkait transfer pricing, mantan Direktur APBI Priyo BS mengungkapkan, pengusaha sering menggunakan kontrak lama guna menghindari pajak. Harga batubara yang dijual ke perusahaan terafiliasi di bawah standar, padahal acuan harga kontrak lama sudah tidak relevan. Akibatnya, setoran pajak jadi kecil.

Dalam hal penyelewengan cost recovery (CR), BPKP tahun 2006 pernah melaporkan potensi kerugian negara periode 2000-2005 sekitar Rp 9,37 triliun oleh 43 KPS. BPK (2007) juga melaporkan potensi kerugian negara dari penggelembungan CR periode 2000-2006 senilai Rp 18,07 triliun. Namun, hingga kini kedua kasus tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Padahal, hasil audit telah dilaporkan ke DPR dan pemerintah, termasuk kejaksaan dan kepolisian.

Beda Tafsir

Terkait tax treaty, perbedaan penafsiran tarif pajak adalah penyebab kecilnya penerimaan pajak migas. Tarif yang dipakai kontraktor adalah tarif PPh pada tax treaty (Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda/P3B) yang lebih murah daripada tarif pemerintah berdasarkan UU No 36/2008 tentang PPh 20 persen.

Solusinya adalah dengan menerapkan PPh ditambah pajak dividen dan royalti sehingga secara umum total pajak yang harus dibayar 44 persen. Sementara pajak PPN, PBB, dan PDRD dibayar oleh negara dengan mengambil dana dari bagian penerimaan migas. Namun, hal ini tak kunjung diselesaikan pemerintah. Padahal, berdasarkan laporan KPK (Juli, 2011), ada 14 perusahaan migas asing menunggak pembayaran pajak Rp 1,6 triliun.

Tentang self-assessment, reformasi perpajakan pada 1983 telah menetapkan penggunaan sistem self-assessment. Wajib pajak dipercaya menghitung dan membayar pajak sendiri sesuai data yang dimiliki. Berapa pun pajak yang dibayar dianggap benar sepanjang tidak ada data lain. Pemerintah tidak bisa menguji kebenaran perhitungan wajib pajak jika tidak memiliki data lain.

Sistem ini berpotensi ”dimanfaatkan” wajib pajak untuk membayar pajak sekehendak hati. Karena itu, pemerintah harus memiliki data sendiri.

Dalam hal transparansi data, pemerintah sengaja tidak menampilkan dan membuka secara transparan rincian penerimaan negara dari pajak mineral dan batubara dalam setiap penyampaian APBN. Padahal, sejalan dengan prinsip transparansi pendapatan industri ekstraktif (Perpres No 26/2010), informasi tersebut harus disampaikan ke publik sekaligus mencegah KKN.

Sebenarnya telah banyak UU atau PP baru guna meningkatkan penerimaan negara, seperti PP No 45/2003 tentang PNBP, UU No 28/2007 tentang KUP, serta UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

PP No 45/2003, misalnya, memerintahkan kenaikan royalti emas dan tembaga dari masing-masing 1 persen jadi 3,75 persen dan 4 persen. Namun, pemerintah takut memberlakukannya kepada sejumlah perusahaan besar seperti Freeport atau Newmont. Pasal 35A UU No 28/2007 memerintahkan pengumpulan data berbagai sumber guna pengujian data self-assessment pajak. Namun, PP turunan dari UU tersebut tak kunjung diterbitkan.

Yang paling mengecewakan, pelaksanaan UU No 4/2009. Meskipun sudah tiga tahun lebih ditetapkan, pemerintah belum juga mampu memberlakukan perintah UU tersebut kepada kontraktor besar, seperti Freeport, Newmont, KPC, dan Adaro.

Presiden SBY telah menyatakan pemerintah akan merenegosiasi kontrak-kontrak mineral dan batubara, tetapi hingga kini hasilnya belum tampak. Bahkan, beredar kabar bahwa renegosiasi akan dihentikan. Jika ini terjadi, berarti perintah UU dan konstitusi dilanggar dan kedaulatan negara dilecehkan. Mungkin penunjukan surveyor pajak juga akan bernasib sama.

Ke depan, aktivitas surveyor saja tidak cukup. Beberapa aturan harus diperbaiki dan peraturan yang berlaku harus dijalankan secara konsisten. Untuk itu, dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah. SDA negara seharusnya dimanfaatkan secara adil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan pengusaha dan pemburu rente. ●

◄ Newer Post Older Post ►