Sepatu dan Politik Identitas
Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Sumber : KORAN TEMPO, 7Februari 2012
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menenteng sepasang sepatu kets. Peristiwa itu terjadi setelah mengikuti rapat kabinet di Kemayoran (19 Januari 2012). Menteri itu tampak lelah. Dahlan Iskan mengucap, “Capek aku pakai sepatu.“ Kalimat itu diucapkan dengan wajah semringah tapi mengandung identitas dan adab politik seorang pejabat di mata publik. Sepatu justru dipilih oleh Dahlan Iskan untuk mengungkapkan kebersahajaan dalam melakoni politik.
Sepatu juga mengisahkan protes politik dan ketakutan. Kita bisa menengok ke Australia. Julia Gillard selaku Perdana Menteri Australia kehilangan satu sepatu saat berlari demi menyelamatkan diri dari kepungan para demonstran di Canberra (26 Januari 2012). Para demonstran itu mengumandangkan hak-hak suku Aborigin. Julia Gillard lekas berlari bersama para pengawal, tapi sepatu sebelah kanannya terlepas. Sepatu itu ditemukan seorang demonstran sebagai simbol “kemenangan“atas aksi protes politik.
Politik modern memang bisa “ditamsilkan“dengan sepatu. Kisah sepatu ala Dahlan Iskan itu merepresentasikan adab politik kebersahajaan. Kisah sepatu ala Julia Gillard adalah efek protes politik. Dua kisah ini bisa digenapi dengan kisah sepatu ala Gus Dur. Sosok humoris ini saat Orde Baru kerap membuat ulah kontroversial. Gus Dur cuma mau mengenakan sepatu jika sedang meladeni Soeharto selaku Presiden RI. Gus Dur tampak mau mengenakan sepatu sebagai laku etik-politik saat Muktamar Nahdlatul Ulama pada 1984 dan 1989. Gus Dur tak betah memakai sepatu. Memori sepatu ala Gus Dur itu adalah sajian identitas: santri di hadapan negara. Santri identik dengan sandal jepit dan negara tampil dengan sepatu.
Identitas
Sejarah identitas kita bergerak melalui sepatu. Pilihan bentuk, ukuran, dan warna sepatu memberi asupan atas permainan identitas mengacu pada orientasi kepribumian, Barat, atau keislaman. Sepatu mengandung serpihan-serpihan ideologis, menerakan biografi kaum pribumi meladeni modernisasi, dan merepresentasikan ikhtiar kenecisan dalam pergelaran politik-kultural.
Berita-berita di koran, novel, drama, dan iklan merekam penghadiran sepatu dalam arus pembaratan. Sepatu menjelma imajinasi kemodernan, jagat semiotik untuk diskursus politik-kultural, memicu curiga atas tendensi-tendensi agama dan etnis. Sejarah kultural, geliat identitas, satire politik, dan kekisruhan ideologis mengalir dalam sepatu. Kisah sepatu mengantarkan kita untuk meriwayatkan transformasi sosial-politikkultural pada masa kolonialisme, mengingatkan kita pada kegenitan mengkonstruksi identitas sebagai kaum terjajah.
Dokumentasi kisah sepatu bisa disimak dalam petikan tulisan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak (Nomor 1, Tahun 1914). Satire sepatu tampil sebagai aksentuasi ulah kepribumian me nafsirkan identitas diri di hadapan kuasa kolonialisme: “Ada seorang regent poenja penjakit nratap (hart-klopping?), sebab melihat seorang bangsanja (Djawa) memakai sepatoe jang berboenji: kijet-kijet.“Pengenaan sepatu oleh seorang Jawa dan efek bunyi itu menimbulkan kesan penolakan oleh aparat dalam arogansi kolonialistik.
Kontras peradaban ditampilkan dengan asumsi bahwa pribumi tak pantas menampilkan diri ala Eropa. Sepatu adalah simbol khas bangsa penjajah. Jadi kaum pribumi di negeri terperintah tabu atau haram saat mengidentifikasi, meniru, dan mendandani diri ala si tuan penjajah. Pengenalan sepatu di Hindia Belanda mengandung maksud agen pemberi identitas-superioritas, simbol modernitas, dan legitimasi kultural-rasialistik. Kondisi ini menyulut dilema saat pemerintah kolonial mengagendakan modernisasi bagi pribumi melalui pendidikan dan praksis sosial-kultural.
Sepatu pun dijadikan menu untuk pembentukan etik-politis dengan saluran elite keraton, kaum elite terpelajar, pengusaha, dan pegawai pribumi di jajaran pemerintahan kolonial. Sepatu mengejawantahkan kolonialisme dan modernitas, menggerakkan prosedurprosedur afirmasi identitas, serta mengusung diskursus politis dan kapitalis. Henk Schulte Nordholt (2005) memberi tamsil puitis: “Modernitas tidak singgah dalam sejarah Indonesia dengan bertelanjang kaki. Modernitas mengenakan sepatu.“Tamsil ini menyengat kesadaran kita akan arus sejarah resmi dalam dominasi politik dan ekonomi.
Jejak
Kultur kaki telanjang bagi pribumi berlangsung sekian abad. Thomas Stamford Raffles merekam hikayat ketelanjangan kaki itu dalam gambar dan foto di History of Java (1817). Pengenalan sepatu di Jawa pada abad XIX dan XX menimbulkan instabilitas identitas-kultural. Sejarah telanjang kaki mengalami godaan, pemaknaan rentan berubah, dan adonan identitas berlangsung melalui negasi-afirmasi. Hikayat sepatu mengubah persepsi atas Barat, mengoreksi kekakuan identitas, dan meleburkan diri pribumi dalam selebrasi modernitas dengan sentuhan-sentuhan lokalitas.
Telanjang kaki tidak mengandaikan inferioritas peradaban, keterbelakangan kultural, dan kesepelean etika sosial-politik. Ketelanjangan kaki orang Jawa justru mengentalkan anutan kosmologis. Kaki telanjang representasi intimitas dengan tanah, etik-ekologis, spiritualitas, dan adab. Makna ini diintervensi oleh kuasa kolonial melalui produksi wacana modern dan praktekpraktek persuasif. Sepatu diajukan seolah untuk pemartabatan kaum elite pribumi, pengentasan dari kegelapan peradaban, dan politisasi identitas.
Sepatu meninggalkan jejak-jejak politis, identitas, kelas sosial, iman, dan gaya hidup. Kuasa hikayat sepatu ini disikapi dengan kebersahajaan ala Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran dari Yogyakarta ini malah mengembalikan diri dalam pergumulan identitas lokal melalui pakaian dan ketelanjangan kaki. Ki Ageng Suryomentaram menanggalkan model hidup elite karena pertimbangan politik, kultural, iman, dan identitas.
Pilihan menjadi petani di desa adalah kontroversi atas konstruksi identitas dalam kuasa kolonial. Ki Ageng Suryomentaram pun identik dengan kostum celana pendek hitam, selendang batik yang dikalungkan di leher, dan kaki tanpa sandal atau sepatu. Prosedur ini dilakoni dan dipahami demi mengenali lagi diri manusia. Penampilan ganjil pada masa modern itu tak berubah saat Ki Ageng Suryomentaram memenuhi undangan Sukarno ke Istana Merdeka (1957) untuk memberi wejangan-wejangan hidup. Hikayat sepatu seolah tamat dalam sosok manusia bersahaja asal Yogyakarta.
Sepatu pun mengisahkan kita dan Indonesia dalam pergumulan politik dan identitas. Sepatu melampaui urusan kaki. Kita mafhum sepatu mengalami olahan makna untuk menguak kesejarahan dan nasib manusia. Sepatu meninggalkan jejak dan menggerakkan kita ke dunia bergelimang kisah. ●