Kebijakan Pengupahan dan Investasi


Kebijakan Pengupahan dan Investasi
Indrasari Tjandraningsih, PENELITI PERBURUHAN AKATIGA—
PUSAT ANALISIS SOSIAL, BANDUNG
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012


Tahun 2012 kita masuki dengan rangkaian gejolak rakyat kecil yang menuntut dan mempertahankan haknya: buruh menuntut kenaikan upah minimum, petani menuntut lahan, pedagang kaki lima mempertahankan lapaknya. Gejolak ini secara jelas memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam.

Pertama, pengabaian negara terhadap kesejahteraan warga negara. Dan kedua, pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik. Bagaimana menjelaskan ironi ini? Jawabannya ada pada kebijakan investasi yang ketinggalan zaman dengan menjual upah murah, di tengah tuntutan investor yang sudah jauh bergeser dari aspek upah murah ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah terhadap peraturan-peraturannya sendiri.

Secara resmi pemerintah Indonesia, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (http://www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara mencolok dinyatakan paling murah di antara negara-negara tersebut, yakni US$ 0,6 per jam (=Rp 5.400). Bandingkan dengan upah di Filipina dan Thailand serta Malaysia, yang masing-masing US$ 1,04, US$ 1,63, dan US$ 2,88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa, dari aspek biaya tenaga kerja,“upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India“.

Menjual tenaga murah di tengah persaingan global yang semakin sengit dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 merupakan cara yang terlalu primitif dan melukai harga diri bangsa. Apalagi kedatangan investor asing ke Indonesia paling utama didasarkan pada pertimbangan letak geografis Indonesia yang amat strategis untuk menjangkau pasar regional Asia yang kini semakin kuat dan kekuatan pasar domestik Indonesia yang makin menjanjikan keuntungan.
 
Dari titik ini, menjual murah tenaga kerja justru menjadi disinsentif bagi investasi, karena menurunkan daya beli buruh yang juga adalah sasaran pasar produk bagi investasi asing. Rendahnya upah yang menurunkan daya beli telah terbukti dari penelitian di tingkat mikro yang menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62 persen pengeluaran riil buruh, dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (Akatiga 2009).

Upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja--satu hal yang justru diakui menjadi keunggulan dan daya tarik bagi investor asing untuk berkegiatan di Indonesia. Berbagai manajer perusahaan besar multinasional mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh Indonesia jauh di atas yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh di Cina, Kamboja, dan Vietnam. Itulah se babnya, ketika investor Indonesia atau perusahaan multinasional lain melebarkan sayapnya ke negara-negara tersebut, mereka membawa serta tenaga-tenaga Indonesia untuk melatih dan menularkan keunggulan mutu kerjanya kepada buruh-buruh di negara-negara itu. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian Akatiga bersama ILO akhir tahun lalu menemukan para buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp 2,5 juta per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negatif terhadap produktivitas, karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan, hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.

Bahwa upah buruh--pun dengan kenaikan upah minimum setiap tahun--bukan persoalan utama bagi investor dan bagi usaha menggairahkan iklim investasi sudah berkali-kali dan secara rutin dinyatakan oleh berbagai survei berskala internasional maupun dan mikro. Laporan AD, misalnya, menyebutkan bahwa hambatan utama yang dihadapi investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya infrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung juga menyebutkan bahwa tiga hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapa pun yang ditetapkan pemerintah asalkan peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha.

Jelaslah hal tersebut menunjukkan bahwa masalah upah buruh hanya menempati urutan belakang dari deretan problem investasi. Maka, amat tidak adil dan tidak menjawab persoalan jika upah buruh terus ditekan dan dijadikan prioritas dalam pembenahan iklim investasi. Sebab, bukan di situ persoalannya.

Menekan upah buruh juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan taraf industrialisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Upah yang layak dan investasi untuk peningkatan sumber daya manusia menjadi penting, ketika Indonesia hendak menuju ke negara industri tahap ketiga yang mengandalkan sumber daya manusia berketerampilan dan pengetahuan yang tinggi.

Dari sisi regulasi, inkonsistensi aparat pemerintah dalam penerapan peraturan amat mengganggu operasi investasi. Sudah jamak ditemukan di lapangan bahwa peraturan dapat diperjualbelikan dan berlaku “semua urusan musti memakai uang tunai“, yang amat membebani usaha dan menekan upah buruh. Berbagai pengalaman di tingkat mikro menunjukkan perilaku aparat pemerintah yang longgar terhadap peraturan menyebabkan terjadinya trade-off dengan pengusaha yang menyebabkan semakin tertekannya upah. Temuan survei Akatiga (2007) terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung, misalnya, menunjukkan ketidakberdayaan pengusaha menghadapi pungutan-pungutan daerah dan, sebagai akibatnya, mereka harus menekan upah buruh agar pembiayaan dan kegiatan usaha dapat tetap berjalan.

Sudah semakin jelas dari fakta-fakta tersebut bahwa strategi untuk memenangi hati para investor bukanlah dengan menjual buruh dengan upah murah, melainkan dengan meningkatkan daya beli dan produktivitas buruh dengan memberikan upah yang layak. Pemberian upah layak akan berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas, karena buruh dapat bekerja dengan tenang.
 
Meningkatkan profesionalisme aparat pemerintah di daerah dan di pusat dan membenahi infrastruktur menjadi prioritas utama yang amat dinantikan oleh para investor. Menempuh ketiga langkah itu secara bersama-sama pasti akan semakin menggairahkan investasi, karena buruh akan semakin produktif, keuntungan pengusaha lebih pasti, dan gejolak hubungan industrial akan jauh berkurang. Ketiganya akan dapat dicapai dengan tampilnya para penyelenggara dan aparat negara yang konsisten dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan tugasnya menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh warga negara.

◄ Newer Post Older Post ►