Korban Kecelakaan Afriyani: Dibunuh atau Terbunuh?


Korban Kecelakaan Afriyani:
Dibunuh atau Terbunuh?
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012


Polisi dikabarkan berkonsultasi dengan pihak-pihak kompeten guna menjerat Afriyani pengemudi maut di kawasan Gambir dengan pasal-pasal pembunuhan. Langkah PMJ tersebut tampaknya merupakan respons terhadap opini publik yang menginginkan adanya sanksi hukum lebih berat terhadap Afriyani.
Terdapat beberapa pasal KUHP yang, menurut saya, dapat ditinjau dalam kasus Afriyani. Pertama, pasal 338: “Barangsiapa yang sengaja menghilangkan jiwa orang lain, karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.” Kedua, pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.” Ketiga, pasal 359: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”
Bisakah pasal-pasal tersebut dipakai untuk menyeret Afriyani ke hadapan hukum dengan status sebagai seperti kata orang pembunuh berdarah dingin?
Kata kunci pasal 338 adalah “sengaja”. Guna mengetahui seberapa jauh unsur kesengajaan itu terpenuhi, perlu ditakar niat atau motif Afriyani. Ini bisa dipahami dengan mencari tahu, antara lain, hubungan antara Afriyani dan para pejalan kaki yang ditabraknya serta tujuan atau manfaat yang diincar oleh Afriyani dengan menabrak korban-korban tersebut.
Dengan asumsi bahwa mereka tidak saling kenal serta tidak ada manfaat apa pun yang diperoleh Afriyani setelah menabrak para pejalan kaki tersebut, bisa saja niat atau motif tidak didukung dengan argumentasi yang memadai. Karena niat tampak nihil, unsur kesengajaan pada pasal 338 menjadi rapuh untuk ditegakkan guna memperkuat sangkaan bahwa Afriyani adalah pembunuh.
Pasal 340, dengan kata kunci “terencana”, lebih sukar lagi untuk ditegakkan. Kata kunci tersebut ditelisik lewat modus atau cara yang digunakan Afriyani untuk menghabisi nyawa para korban. Lazimnya, pelaku kejahatan melakukan kalkulasi ekonomis terhadap cara yang akan diterapkannya. Dari sekian banyak cara yang tersedia, si pelaku akan memilih cara yang paling ekonomis dengan risiko yang paling bisa dia kendalikan guna meraih manfaat maksimal.
Dalam kasus Afriyani, logika itu sulit ditemukan. Bahkan andaikan Afriyani memang berniat menghabisi para pejalan kaki di trotoar tersebut, cara yang ia pakai untuk melancarkan aksinya sungguh-sungguh berada di luar kalkulasi di atas. Menggunakan mobil, pada siang hari, di tempat terbuka, menurut saya, bukanlah modus yang baik. Jadi, unsur “terencana” pada pasal 340 justru sulit menemukan penguatnya.
Ketika unsur-unsur penentu dalam pasal 338 dan 340, berdasarkan uraian di atas, tampak lemah, barangkali hanya pasal 359 yang dapat dimanfaatkan untuk memidanakan Afriyani. Ia salah karena mengkonsumsi narkotik, dia juga bersalah karena mengemudi kendaraan di atas ambang batas kecepatan yang diperbolehkan, namun dia bisa jadi tidak benar-benar memiliki niat untuk menghabisi orang lain. Hilangnya nyawa orang lain, dengan demikian, adalah sebatas imbas dari dua kesalahan Afriyani tersebut.
Dengan nalar sedemikian rupa, tanpa mengurangi rasa simpati saya kepada para korban dan keluarga, sesuai dengan pasal 359, tragedi yang mereka alami dapat disetarakan dengan wrongful death. Para korban tewas karena mereka berada di tempat yang salah pada waktu yang salah, tanpa disertai adanya pelaku yang berniat mengincar apalagi menghabisi mereka.
Yang sekarang mengundang pertanyaan adalah keterlibatan 14 psikiater untuk memeriksa kondisi psikologis Afriyani. Dari perbincangan dengan salah satu psikiater pemeriksa, saya memperoleh informasi bahwa kepada Afriyani diterapkan psikotes dengan menggunakan Multiphasic Minnesota Personality Inventory (MMPI).
Apa gerangan yang menjadi tujuan penerapan MMPI? Untuk kepentingan klinis, yakni persiapan rehabilitasi Afriyani selaku pengguna narkotik? Mungkin saja. Namun mengapa sampai melibatkan sekian banyak psikiater dalam waktu berpekan-pekan? Ataukah untuk kepentingan hukum (forensik)?
Saya berspekulasi, ada keinginan kuat untuk mencari “sesuatu” yang bisa dijadikan sebagai pendukung didakwakannya Pasal 338 atau 340 KUHP terhadap Afriyani. Temuan MMPI berupa adanya kecenderungan berperilaku kekerasan (violent behavior) pada diri Afriyani bisa saja nantinya diinterpretasikan sebagai bukti (yang dipaksakan) bahwa Afriyani pada dasarnya adalah manusia ber-”pembawaan” keji. “Pembawaan” itulah yang, saya khawatirkan, akan disamaratakan sebagai niat yang melandasi “kesengajaan” Afriyani untuk “membunuh”.
Kelalaian Siapa?
Terlepas dari pasal apa pun yang hendak diterapkan oleh polisi dan jaksa terhadap Afriyani, fakta menunjukkan bahwa para korban tidak tewas pada saat itu juga di lokasi kejadian kecelakaan maut. Ada korban yang baru dinyatakan meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit. Kenyataan ini memberi sebuah gambaran situasi bahwa kelakuan Afriyani memang fatal, namun tidak sepenuhnya membuat (sebagian) orang lain meninggal. Pada beberapa korban yang tidak tewas pada saat itu juga di lokasi kejadian, terdapat kondisi lain yang barangkali menjadi penentu meninggalnya mereka.
Kondisi lain tersebut, yang juga perlu dicermati, adalah prosedur penyelamatan para korban. Patut kiranya diinvestigasi bagaimana polisi bisa sampai datang ke tempat kecelakaan, berapa menit yang dibutuhkan polisi untuk tiba di lokasi, berapa orang polisi yang datang ke lokasi, siapa dan apa yang dilakukan polisi di lokasi (berfokus pada kendaraan dan pengemudinya atau memprioritaskan menolong korban), apakah polisi sudah dan kapan memanggil bala bantuan lain semacam tim medis, dengan apa para korban dibawa ke rumah sakit, siapa yang menggotong tubuh korban yang cedera parah namun masih hidup, berapa menit yang ditempuh untuk mencapai rumah sakit, dan pertanyaan-pertanyaan lain terkait langkah penyelamatan korban.
Rangkaian jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi indikator kesiapan personel dan sistem bala bantuan yang ada dalam menangani situasi krisis. Semakin positif jawaban yang bisa diberikan, semakin profesional pula kinerja personel dan sistem pertolongan (rescue team, emergency handling system). Sebaliknya, jika sekali lagi jika terlalu banyak kebolongan dalam kerja aparat dan sistem pertolongan yang turun tangan sesaat setelah kecelakaan maut itu, maka, paling tidak, ini menjadi kondisi yang seharusnya dikelola lebih baik sesegera mungkin.
Pesan Keras
Indonesia sudah menjadi wilayah incaran sindikat narkotik internasional. Betapapun kampanye antinarkotik digencarkan, penyalahgunaan narkotik kian tinggi. “Berkat” kelakuan Afriyani, semakin tak terbantahkan kedahsyatan bahaya narkotik. Atas dasar itu, otoritas hukum nasional harus bekerja segigih mungkin agar dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan hukuman seberat mungkin kepada para penyalah-guna narkotik. Apalagi kepada penyalah-guna narkotik yang mengemudi secara liar sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa! ●
◄ Newer Post Older Post ►