Konflik dan Reforma Agraria


Konflik dan Reforma Agraria
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCA SARJANA DAN
DOSEN FH UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA  
Sumber : SINDO, 14 Februari 2012



Akhirnya SK Bupati Bima No 188 Tahun 2010 tentang Izin Pertambangan yang memberikan lisensi penambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara di Bima, NTB dicabut oleh bupati setelah mendapat rekomendasi pencabutan dari Kementerian ESDM.
Hal itu dilakukan setelah beberapa saat sebelumnya situasi Bima memanas dan puluhan ribu massa membakar sejumlah kantor pemerintah termasuk Kantor Bupati Bima. Di wilayah barat negeri ini sebelumnya juga terjadi sengketa lahan antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan warga Kampung Sritanjung,Keagungan Dalam, dan Nipahkuning di Mesuji Lampung.

Sengketa yang bermuara pada persoalan upah tenaga kerja juga pernah terjadi sebelumnya di PT Freeport Papua yang menimbulkan konflik berkepanjangan di Bumi Cenderawasih tersebut. Akar masalah konflik-konflik antara warga masyarakat atau pekerja pertambangan dan korporasi pengelola tambang/ sumber daya alam (SDA) jika ditelusuri umumnya berakar dari disparitas penguasaan lahan dan pengelolaan SDA yang cenderung merugikan rakyat/pekerja.

Berbagai permasalahan di seputar konflik agraria tersebut kini kian meluas dan semakin menjadi gerakan sistematis yang menggugat ketimpangan dalam struktur produksi dan pengelolaan SDA. Sistem saat ini hanya menempatkan mayoritas warga masyarakat sekadar sebagai sarana untuk semakin melanggengkan ketimpangan dalam struktur agraria. Dalam pandangan Anthony Giddens dengan teori strukturasi tindakan sosialnya, interaksi yang berulang dan terpola dalam jangka waktu tertentu dan dalam ruang tertentu akan menghasilkan struktur.

Struktur agraria yang timpang terbentuk karena ada pola penguasaan lahan yang tidak adil. Interaksi antara pemilik lahan/ pengelola SDA dan rakyat yang bekerja sebagai buruh dalam struktur yang timpang tersebut telah memicu berbagai konflik dalam skala yang cenderung semakin meluas. Jawaban atas permasalahan tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan kembali pada gagasan yang pernah dimunculkan sejak 1960 melalui UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dengan melakukan penataan kembali sistem kepemilikan tanah (landreform).

Para pendiri republik ini sedari awal telah menyadari bahwa untuk melaksanakan program pembangunan yang memihak rakyat banyak perlu didasarkan atas penataan kembali masalah pertanahan. Hal itulah yang mendasari pernah dibentuknya Panitia Agraria pada 1948 untuk memikirkan secara serius berbagai masalah agraria.

Kegagalan pemerintah semasa Orde Baru yang melakukan apa yang oleh Christodoulou (1990) disebut sebagai bypass approach dalam bentuk misalnya Revolusi Hijau tanpa landreform, pembangunan sistem ekonomi tanpa memikirkan keadilan sosial,dan seterusnya telah menghasilkan sistem pembangunan tanpa transisi sosial (development without social transition).

Hal itu rupanya masih terus berlanjut hingga saat ini dengan eksploitasi SDA atas nama akumulasi modal dengan mengabaikan struktur agraria yang timpang. Isu konflik bisa bermacammacam seperti masalah ganti rugi, izin tambang, pelecehan hak-hak adat, dan lain-lain yang jika ditelusuri akar masalahnya sebenarnya bersumber dari kesenjangan pemilikan tanah dalam struktur agraria yang tak adil.

Penguasa negeri ini perlu menyadari bahwa puncak-puncak gunung es konflik agraria tersebut membutuhkan kemauan negara didukung kesadaran dari semua pihak untuk mengintegrasikan kembali keadilan sosial dalam struktur agraria dan pola pengelolaan SDA. Di sinilah sebenarnya titik mula untuk mengingatkan kembali relevansi gagasan negara kesejahteraan dalam perlindungan sosial bagi rakyatnya.

Perlunya Reforma Agraria

Kata “reforma agraria”yang gencar disuarakan (kembali) di muka publik akhir-akhir ini sesungguhnya bukan hanya varian dari sebuah kebijakan sektoral semata-mata. Kata itu sebenarnya merujuk pada sebuah paradigma penataan ulang penguasaan, peruntukan, dan penggunaan tanah melalui apa yang dalam kosakata bahasa Inggris dikenal sebagai agrarian reform/landreform
atau dalam bahasa Spanyol sebagai reforma agraria.

Reforma agraria sering dikaitkan dengan keadilan sosial yang untuk mewujudkannya dilakukan melalui sebuah perubahan kebijakan (policy change) dan perubahan hukum (law reform) dengan didasarkan atas asumsi bahwa semua hukum merupakan ekspresi dari rasa keadilan rakyat.Ada pula yang mengaitkan reforma agraria dengan perubahan sosial, karena melaluinya jalur utama transformasi pertanian dari pola ”eksklusif” (terpisah dari industri) ke pula ”inklusif” (menyatu dengan industri).

Dalam konteks tersebut, reforma agraria merupakan prakondisi bagi proses industrialisasi dan perkembangan ekonomi lanjut. Warisan masa kolonial berupa diferensiasi sosial (proses penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal terutama tanah) dan proletarisasi (proses separasi petani dari alat produksinya yaitu tanah,menuju terbentuknya buruh tani) yang membentuk struktur agraria hingga saat ini merupakan hambatan utama untuk melaksanakan reforma agraria.

Pencanangan kebijakan reforma agraria di Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur dua arus kebijakan yang harus dilaksanakan secara serempak. Pertama, di satu sisi, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sewa dan gadai.

Kedua, di sisi lain, pengaturan batas minimal pemilikan tanah dengan tujuan agar petani tidak hidup dengan luas lahan yang kecil yang berakibat kecilnya pendapatan. Saat ini pemerintah perlu menginisiasi kembali gagasan reforma agraria guna melakukan penataan ulang penguasaan lahan/tanah berdasarkan asas keadilan.

Hal itu tentu membutuhkanpemikirankonseptual yang komprehensif untuk melakukan perubahan kebijakan (policy change) agar pola dan struktur penguasaan lahan secara adil mampu mewujudkan amanah Pasal 33 UUD 1945 untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di negara kesejahteraan (welfare state) ini.

◄ Newer Post Older Post ►