Komitmen Melawan Korupsi
Taufiequrachman Ruki, KETUA KPK PERIODE 2003-2007
Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan lalu mengucapkan untuk kesekian kali jargon kampanye sebagai calon presiden, yakni akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Kali ini janji itu disampaikan di depan tokoh-tokoh LSM penggiat antikorupsi dalam satu kesempatan di Istana Negara, Jakarta.
Sebagai kemauan politik, pemberantasan korupsi memang berkali-kali digaungkan oleh Presiden pada berbagai kesempatan. Dalam kehidupan kesehariannya, tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditujukan kepada pribadi dan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak banyak. Kalaupun ada, masih isu dan rumor yang lebih banyak sensasi dan dipolitisasi daripada faktanya.
Persoalannya, bagaimanakah pelaksanaan dari memimpin pemberantasan korupsi seperti jargon kampanyenya? Jawabannya: masih pada kemauan politik, belum sampai kepada tindakan nyata sehingga hasilnya pun hanya sampai wacana.
Faktanya indeks persepsi korupsi Indonesia masih di kelas bawah, political economy risk country kita juga masih seperti kata Yudoka: katame waza alias main bawah. Artinya, pelaku bisnis di dalam dan di luar negeri—juga orang-orang yang bersentuhan dengan birokrasi di Indonesia—masih menganggap korupsi di negeri ini masih seperti dulu.
Wakil Presiden Boediono ketika masih Menteri Koordinator Perekonomian pernah berujar di depan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa untuk memberantas korupsi diperlukan strong and sustainable commitment dari pemimpin. Daniel Sparringa, ketika masih sebagai pengajar di Universitas Airlangga, juga pernah berucap, terjadinya korupsi itu bukan hanya akibat adanya bad people, melainkan juga akibat wrong system, bad system and weak system.
Harus Pimpin Langsung
Di negara mana pun sampai kini tidak pernah ada lembaga ad hoc sejenis KPK yang berhasil memberantas korupsi sampai tuntas, termasuk di Hongkong, Korea Selatan, atau Perancis. Fungsi lembaga ad hoc itu terbatas pada trigger mechanism-nya. Keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada komitmen, kemampuan, dan keberanian dua pemimpin negara, yaitu Presiden dan Ketua Mahkamah Agung.
Mengapa Presiden? Karena sebagai kepala pemerintahan sesungguhnya, pada Presidenlah segala upaya penindakan terhadap korupsi berawal. Di sinilah, sesuai jargon kampanye SBY, yakni akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.
Dalam pelaksanaannya, bidang pencegahan sangat bergantung pada pembantu Presiden, yakni menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan. Karena itu, kriteria untuk memilih pembantu ini harus diawali dari penilaian terhadap komitmen dan kemampuan untuk menata sistem yang eksis di kementerian/lembaganya. Langkah ini harus diikuti keberanian untuk membersihkan perilaku koruptif pada kementerian/lembaga yang dipimpinnya.
Namun, yang terjadi, Presiden memilih pembantunya dengan pertimbangan utama adalah alokasi posisi menteri dan pimpinan lembaga negara untuk partai politik koalisi dan gelar akademis yang dimilikinya. Sudah terbukti, orang yang dipilih dengan kriteria itu tidak berani dan tidak berbuat apa-apa, bahkan justru terlibat dalam korupsi di lembaga yang dipimpinnya.
Hal itu terjadi bukan karena mereka adalah pribadi yang buruk, melainkan sebagian karena tak menyadari masuk ke dalam putaran sistem yang buruk dan salah. Bukan regenerasi koruptor, melainkan pejabat baru pun, jika masuk ke dalam lingkaran sistem yang salah, akan terdorong menjadi koruptor. Apalagi, sistemnya tidak ditinjau sejak awal.
Pada sisi represif, Presiden punya dua institusi yang sesungguhnya memiliki kewenangan dan kapasitas yang bagus untuk memberantas korupsi, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Namun, semua kembali berpulang kepada ketepatan Presiden memilih orang yang ditugasi untuk menjadi Kapolri dan Jaksa Agung. Keduanya memang harus orang yang luar biasa.
Selain dituntut mampu membersihkan institusinya yang dikenal tercemar berat oleh korupsi, Kapolri dan Jaksa Agung juga harus jadi raja tega serta berani menyidik dan menuntut setiap kasus korupsi yang dilakukan oleh sesama pejabat—pusat dan daerah—serta kolega satu korps, bahkan oleh petinggi negara yang mungkin atasannya. Komitmen dua pejabat ini harus benar-benar kuat.
Kalau popularitas dan harapan rakyat kepada Presiden turun, penyebabnya mungkin pembantu Presiden yang diharapkan rakyat—punya komitmen kuat, kemampuan yang baik, dan keberanian yang boleh diuji untuk memberantas korupsi—ternyata mengecewakan.
Hakim juga Berperan
Hakim juga berperan menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi. Sebab, akhir dari pemberantasan korupsi sebagai upaya penegakan hukum adalah vonis pengadilan. Vonis yang keras dan progresif akan menimbulkan efek pencegahan terhadap terjadinya tindakan pidana.
Contohnya, putusan pengadilan yang ringan dalam kasus narkotika diduga menjadi penyebab maraknya penggunaan, peredaran, dan pemasukan narkotika di Indonesia. Penyelundup dan pengedar narkotika sangat menghindari Singapura dan Malaysia karena hukuman mati menunggu mereka di sana.
Vonis terhadap pelaku korupsi di Indonesia, baik hukuman badan, hukuman denda, maupun hukuman tambahan, sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membawa kasus korupsi ke pengadilan. Juga tidak seimbang dengan biaya yang mereka keluarkan untuk kasus itu, apalagi jika diukur dengan rasa keadilan masyarakat.
Bayangkan, ada putusan di satu pengadilan negeri yang hanya menjatuhkan hukuman kepada koruptor di bawah satu tahun penjara. Pelaksanaannya pun masih akan dikurangi remisi. Putusan yang lunak ini sangat tidak mendukung harapan masyarakat dan aparat yang menghendaki korupsi diberantas. Sebaliknya, ia memarakkan praktik korupsi.
Memang tidak boleh Ketua MA mencampuri kewenangan majelis hakim yang sedang menyidangkan sebuah kasus. Hakim harus bebas dan mandiri dalam menjatuhkan putusannya. Namun, tidak salah juga apabila Ketua MA mengeluarkan surat edaran yang merupakan kebijakan umum dalam pemberantasan korupsi, yakni agar hakim pengadilan tindak pidana korupsi menjatuhkan hukuman maksimal jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Hal ini adalah bagian dari pelaksanaan UU.
Rendahnya komitmen dan keberanian hakim inilah penyebab vonis rendah dalam menjatuhkan hukuman terhadap koruptor yang terbukti secara sah di pengadilan. Ini pula yang kemudian membuat penggiat pemberantasan korupsi menjadi frustrasi dan aparat buang batu sembunyi tangan, mencari kambing hitam, yaitu menyalahkan pengadilan yang membebaskan pelaku korupsi. Padahal, mungkin saja kasusnya dipaksakan dengan bukti dan tuntutan yang lemah. ●