Lembar Baru Kasus Nazar


Lembar Baru Kasus Nazar
Febri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN ICW  
Sumber : SINDO, 15Februari 2012


 
Belum usai persidangan Nazaruddin dengan dakwaan menerima suap di Pengadilan Tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan mantan bendahara umum Partai Demokrat ini sebagai tersangka dengan menggunakan UU Pencucian Uang (13/2).

Fakta persidangan, kesaksian Yulianis yang mengatakan bahwa dana Permai Group senilai Rp300 miliar digunakan untuk pembelian saham Garuda Indonesia, tampaknya menjadi salah satu dasar penyidikan tersebut. Seberapa signifikan pengaruhnya untuk pemberantasan korupsi? Jika sudut pandangnya hanyalah untuk menjerat orang perorangan seperti Nazaruddin, dengan mudah kita bisa mengatakan, penetapan tersangka ini sia-sia.

Akan tetapi, tujuan pemberantasan korupsi tentu saja tidak semata menangkap orang dengan strategi follow the suspect, tapi juga asset recovery melalui strategi follow the money. Apalagi, ini kasus pertama KPK yang menggunakan kewenangannya sebagai penyidik tindak pidana asal (predicate crime) menurut UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Kendati terhitung lama sejak UU TPPU ini disahkan pada 5 Oktober 2010,langkah KPK ini patut diapresiasi.

Serangan Ganda

Betapa tidak, terobosan KPK ternyata bukan hanya penggunaan pidana pencucian uang dengan predicate crime korupsi, melainkan sekaligus menerapkan ketentuan tentang pidana korporasi. Sesuatu yang juga belum pernah dilakukan KPK sejak lembaga ini berdiri, bahkan belum pernah diterapkan oleh penegak hukum lainnya dalam kasus korupsi.

KPK menyatakan menggunakan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 UU Pencucian Uang untuk menjerat Nazar terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia Airways Indonesia. Jika diurai, kita bisa memahami bahwa KPK sudah masuk pada dua tahapan pencucian uang yaitu placement dan layering. Artinya, pembelian saham Garuda dari kas Permai Group tersebut dianggap sebagai penempatan hasil kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan (Pasal 3), dan upaya menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul kekayaan tersebut (Pasal 4).

Berdasarkan fakta persidangan, mantan bawahan Nazaruddin atau wakil direktur keuangan Group Permai mengungkapkan pernah disuruh Nazaruddin pada Januari 2011. Saat itu dana Rp300 miliar dialokasikan untuk membeli saham dengan menggunakan nama lima perusahaan lain. Bagaimana konstruksi pencucian uangnya? Tentu tidak bisa dipisahkan dari asal-usul dana yang digunakan untuk membeli saham tersebut.

Dalam kesaksian di bawah sumpah, Yulianis juga mengatakan, selama 2009 dan 2010 Permai Group mencatatkan keuntungan Rp400 miliar dari komitmen fee proyek dan Rp1,2 triliun (masing-masing Rp600 miliar) dari pengerjaan proyek. Sedangkan kelaziman penerimaan fee dari proyek yang “dibantu” Nazaruddin berkisar 13–20%.

Untuk proyek Wisma Atlet saja, yang sekarang sedang berjalan,komitmen fee-nya sebesar 13% dan sisanya dibagi pada sejumlah aktor di Kemenpora dan daerah. Di sinilah salah satu urgensi penggunaan UU Pencucian Uang. Jika KPK hanya menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi, tentu sangatlah sulit menjerat perbuatan menempatkan dana hasil kejahatan untuk pembelian saham atau objek lainnya.

Pidana Korporasi

Selain memperluas wilayah kerja KPK, penggunaan Pasal 6 UU Tipikor juga merupakan catatan pertama sejak pemberantasan korupsi pernah dilakukan, yaitu penerapan pidana korporasi. Di sana dikatakan dalam hal dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.

Meski demikian, tentu saja tidak mudah membangun konstruksi hukum tersebut hingga membuktikannya di persidangan kelak. Karena itu, menjadi penting bagi kita, akademisi hukum pidana, PPATK, dan masyarakat yang berkomitmen dengan pemberantasan korupsi, untuk mengawal dan membantu KPK menangani skandal besar ini. Bisa diperkirakan, potensi serangan balik terhadap lembaga antikorupsi ini akan menjadi kian besar.

Tidur Nyenyak?

Apakah pengertian korporasi? Mengacu pada Pasal 1 angka 10 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang dan Pasal 1 angka 1 UU 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, pengertian korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi,baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pertanyaan berikutnya, siapa saja yang dapat disebut korporasi? Permai Group? Garuda Indonesia? Bagaimana dengan partai politik? Poin terakhir itulah yang menurut saya akan membuat para politisi dan pembesar partai tidak bisa tidur nyenyak.

Jika terbukti ada aliran dana pada partai, konsekuensinya tidak sederhana. Hal ini memang sudah dibantah oleh Partai Demokrat dengan mengatakan, kalaupun ada aliran dana, itu tanggung jawab personal dari pengurus partai. Kita mencatat pernyataan berulang tersebut dengan baik, yang sekaligus mengingatkan kita pada keterangan sejumlah saksi tentang aliran dana ke kongres partai sebesar Rp30 miliar dan USD5 juta yang dikatakan Nazaruddin sebagai dana pemenangan ketua umum Demokrat.

Dari sudut pandang penggunaan pencucian uang, aliran dana tersebut kita bisa mencocokkannya dengan Pasal 5 UU TPPU, yaitu perbuatan menerima, menguasai pemberian, sumbangan,hibah,atau menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan. Masih banyak kelebihan yang bisa dimanfaatkan oleh KPK ketika menggabung kan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang seperti pembalikan beban pembuktian dan proses yang cepat untuk pemblokiran dan penyitaan. Karena itulah, saya melihat jalan yang jauh lebih panjang ke depan dari satu langkah KPK yang mulai “berani” membuka lembaran baru menggunakan UU Pencucian Uang di kasus Nazaruddin.

◄ Newer Post Older Post ►