Pengabdian Taat Asas


Pengabdian Taat Asas
BS Mardiatmadja, ROHANIWAN
Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012


Banyak media memaparkan catatan penting mengenai tuntutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang syarat untuk lulus sarjana, magister, dan doktor serta untuk kenaikan pangkat dosen, baik sebagai opini maupun berita. Hampir semua menegaskan: tuntutan itu mustahil dilaksanakan.

Pantas dihormati hasrat orang yang menginginkan peningkatan keilmiahan hasil akhir proses persekolahan kita. Peningkatan itu perlu dilakukan dengan taat asas, secara berdaya guna, dan akhirnya berhasil guna.

Berita dan opini-opini dalam media menunjukkan bahwa tuntutan Kemdikbud hampir pasti tidak akan berhasil guna. Pertanyaannya, apakah berdaya guna dan taat asas?

Keduanya erat berkaitan. Sesuatu di bidang pendidikan hanya berdaya guna apabila taat-asas, yakni sesuai dengan tujuan pendidikan. Tuntutan Kemdikbud itu menonjolkan gambaran tugasnya sebagai pengurus lembaga persekolahan. Itu pun hanya dari sudut administratif (yang bertahun-tahun tidak terlaksana dengan baik juga), bahkan menjadikan evaluasi administratif itu disempitkan menjadi kuantitatif (kalau tidak malah meminggirkannya menjadi bersifat ”justru tidak ilmiah dan tidak edukatif”).

Mangunwijaya, sekitar 25 tahun lalu, mengajarkan kepada saya: seorang calon penulis harus banyak kontak dengan dewan redaksi media. Ini agar tulisannya yang mungkin bermutu itu dapat diperkenalkan dengan penjelasan lisan. (Kelak apabila sudah dikenal, redaksi akan dapat percaya pada mutu tulisannya, yang tentu saja harus dipertahankan terus).

Keilmiahan tidaklah cukup untuk pemuatan tulisan dalam media. Harus ditambah banyak faktor, misalnya aktual, dipaparkan dengan bahasa yang sesuai dengan pembaca, dan tidak melampaui panjang tertentu.

Ketiga faktor itu tidak selalu dibutuhkan untuk diluluskan dalam ujian skripsi. Apalagi, skripsi, tesis, dan disertasi dilengkapi pertanggungjawaban lisan (yang tidak terjadi dalam pemuatan di media). Karena itu, banyak sarjana yang tulisannya diluluskan, tetapi tak pernah diterbitkan media. Di sini, tuntutan Kemdikbud tak akan berhasil guna.

Ambisius vs Logika yang Keliru

Keilmiahan adalah sesuatu yang majemuk. Karena itu, sangat mungkin penemuan baru sulit dipahami oleh dewan redaksi media sehingga tidak diterbitkan karena jurusnya baru dan kebaruan merupakan salah satu hal penting dalam penulisan disertasi. Tuntutan Kemdikbud berakibat pencegahan aspek kebaruan yang menyuburkan ilmu, tetapi tidak senantiasa terpahami dalam pemasaran media.

Kebaruan itu juga dapat menyebabkan ”media baru” tidak mendapat akreditasi dari Kemdikbud sehingga kegagalan terbit justru didasarkan pada kelemahan Kemdikbud. Namun, bisa dipahami kalau Kemdikbud tidak mungkin ”memuat segala ilmuwan dari dunia ilmu sehingga sulit memahami keilmiahan penemuan-penemuan baru”. Ataukah Kemdikbud mau mensponsori terbitnya media ilmiah dari segala jenis ilmu tanpa peduli mutu?

Tuntutan Kemdikbud ”memutlakkan penerbitan karya ilmiah” seakan dapat dipahami, tetapi tidak dapat dibenarkan jika mengingat bahwa kita tak punya media sebanyak yang diperlukan untuk calon sarjana. Sementara dunia permediaan tidak dapat memiliki ahli-ahli penilai (”tim bijak bestari”) yang siap menilai segala jenis ilmu atau penulisan baru (teolog Karl Rahner ditolak disertasinya, yang kemudian justru menjadi best seller di dunia, begitu pula banyak tokoh lain). Tuntutan itu ambisius, tetapi tak memperhitungkan realitas kemanusiaan yang umum di seluruh dunia (tak ada negara yang mewajibkan lulusan sarjana untuk memublikasikan karyanya sebagai syarat kelulusan).

Tuntutan Kemdikbud menyimpan harapan agar lulusan bermutu lahir lebih banyak lagi. Dilupakan bahwa untuk kelahiran itu diperlukan bahwa sekolah-sekolah (tinggi-universitas) tidak dibuat ”impoten” dan penerima ”benih keahlian” sungguh ”subur”. Namun, tuntutan Kemdikbud justru membuat perguruan kena bahaya ”impotensi” karena memindahkan kewenangan meluluskan dari sidang ujian internal ke kewenangan publikatores, yang penghitungannya tidak hanya keilmiahan dan Kemdikbud berpretensi mampu menentukan kriteria kelulusan.

Dunia publik kita, yang menjadi kancah para publikatores, tidak sedang subur karena remuknya situasi politis, mahakuasanya uang, dan bengkoknya banyak logika. Tanpa logika yang tepat, sulit lahir ilmuwan tangguh. Salah satu logika yang keliru adalah ”memprasyaratkan penerbitan karya sebagai syarat kelulusan sarjana”, bukannya merangsang keilmiahan dengan menyuburkan pembentukan istilah keilmuan, penghargaan kepada peneliti, evaluasi perguruan tinggi secara mendalam (ini malah dengan menekankan aspek administratif).

Seorang ahli metodologi ilmu, Lonergan, mengajak kita meningkatkan keilmuan dengan pendalaman metodologi ”dalam masing-masing disiplin ilmu”, bukan dengan ”berpamer keluar” walau lingkup luar dapat menjadi sarana komunikasi keilmiahan universal. Komunikasi lintas ilmu dapat merangsang pendalaman keilmiahan, tetapi tidak dapat senantiasa dituntut. Itulah masalahnya ketika Kemdikbud memaksa semua sarjana hanya diluluskan kalau karya tulisnya diterbitkan oleh media. Tuntutan itu justru menafikan disiplin keilmuan yang beraneka.

Alat Coba-Coba

Setiap orang yang berkecimpung di dunia ilmu mafhum bahwa masa studi awal adalah masa mengenali cara kerja dasariah. Baru kemudian perlahan-lahan orang dapat menguasai bidangnya dan singgungan dengan ilmu-ilmu lain, lalu berkembanglah penguasaan keilmuannya untuk dihidangkan kepada publik. Pada waktu itulah media-media ilmiah siap menampung luapan keilmiahan orang.

Dengan pengertian itu, tuntutan Kemdikbud adalah cara baik untuk merosotkan mutu media-media ilmiah, dengan menerima tulisan-tulisan yang masih merupakan awal masa bakti ilmuwan. Alih-alih meningkatkan keilmiahan bangsa, tuntutan Kemdikbud justru memandang rendah keilmuan dan karena itu menurunkan derajat media ilmiah sebagai alat coba-coba.

Dalam pada itu, pasti ada sejumlah ”calon lulusan” sarjana kita yang bermutu: kita persilakan setiap perguruan tinggi menilai mereka. Siapakah kita yang mampu menilai ratusan ribu halaman dan mengecek ”catatan kaki” dan ”daftar bacaan” sehingga akurat dan tidak hanya merupakan copy-paste dari internet. (Apalagi orang Kemdikbud yang amat sibuk sehingga bahkan sulit membaca sekian ribu halaman laporan setiap perguruan tinggi kita sampai sering meminta laporan lagi walau isinya akan mirip dengan yang dilaporkan sekian tahun yang lalu). Sementara itu, peraturan negara mengizinkan perguruan tinggi tertentu tidak lagi mewajibkan skripsi dan memilih cara lain untuk meluluskan mahasiswanya.

Tidak terbayangkan gunung pekerjaan yang timbul dengan adanya peraturan baru ini. Gunung itu tidak hanya secara kuantitatif tak teratasi, tetapi secara kualitatif juga mustahil sehingga pewajiban ini sulit disebut ”taat asas”. Jadi, nonedukatif juga! ●

◄ Newer Post Older Post ►