Membubarkan Ormas Anarkistis

Membubarkan Ormas Anarkistis
Biyanto, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL;
KETUA MAJELIS DIKDASMEN PW MUHAMMADIYAH JAWA TIMUR
Sumber : SINDO, 16Februari 2012



Tuntutan sebagian kelompok masyarakat untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) anarkistis harus segera direspons pemerintah.Tuntutan itu jelas ditujukan pada ormas yang selama ini sering terlibat aksi kekerasan dalam kasus-kasus bernuansa agama.

Front Pembela Islam (FPI) menduduki peringkat pertama ormas yang dituntut untuk dibubarkan karena dianggap sering terlibat aksi kekerasan. Kasus penolakan delegasi FPI oleh masyarakat Kalimantan Tengah (11/2) harus dipahami sebagai wujud dari keinginan membubarkan ormas anarkistis. Beberapa komponen masyarakat di Jakarta juga telah melakukan demo anti- FPI (14/2).

Sangat mungkin demo anti-FPI akan terus menggelinding di beberapa daerah. Jika ini terjadi, pemerintah harus segera bertindak. Ini karena FPI dengan jaringan yang dimiliki dan ormas pendukungnya sangat mungkin tidak akan tinggal diam. Keinginan pemerintah untuk membubarkan ormas anarkistis pernah mengemuka seiring dengan meningkatnya gejala radikalisme sosial bernuansa agama.

Salah satu kasus yang sempat menjadi perhatian nasional adalah kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di Pandeglang, Banten.Kekerasan sosial bernuansa agama juga pernah terjadi di Temanggung dan Pasuruan. Kasus mutakhir adalah kekerasan terhadap kelompok Syiah di Sampang yang juga menjadi atensi nasional. Beberapa kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat ternyata belum siap dengan perbedaan paham keagamaan.

Masyarakat juga begitu mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan. Ironisnya, aparat keamanan yang seharusnya hadir untuk memberikan rasa aman bagi warga terkesan kurang tegas. Secara yuridis pemerintah sejatinya memiliki sandaran hukum untuk menertibkan ormas anarkistis seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Keormasan. Persoalannya, beranikah pemerintah menertibkan atau bahkan membubarkan ormas anarkistis? Jawaban terhadap persoalan ini tentu tidak sederhana karena jika pemerintah salah mengambil langkah, pasti akan dikatakan telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

Wajah Islam Indonesia

Diakui atau tidak, wajah Islam di Indonesia telah diwarnai perdebatan dan persaingan antara kelompok Islam fundamental dan Islam moderat. Fenomena tersebut memang bukan sesuatu yang baru. Jika dilihat secara historis, pergumulan kelompok Islam fundamental versus Islam moderat telah terjadi sejak 1970-an. Saat itu kelompok Islam moderat melalui tokoh utamanya, Nurcholish Madjid (Cak Nur) terlibat perdebatan dengan kelompok Islam fundamental.

Kelompok Islam fundamental adalah penentang gagasan Cak Nur tentang sekularisasi, Islam yes partai Islam no, kebebasan berpikir (intellectual freedom), ide tentang kemajuan (the idea of progress), dan pentingnya sikap terbuka (inklusivisme). Perkembangan Islam fundamental sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari krisis yang hampir merata di dunia Islam.

Krisis tersebut bersifat menyeluruh; sosial-ekonomi, politik, budaya, psikologi, dan spiritual. Situasi krisis multidimensi ini telah menghadirkan semangat baru bagi kelompok Islam fundamental dengan berbagai variannya. Meski bervariasi, jika diamati, dapat dikatakan bahwa umumnya kelompok Islam fundamental selalu menekankan ajaran Islam yang bersifat formal-simbolik.

Salah satu ciri yang menonjol dari kelompok Islam fundamental ditunjukkan melalui cara berpakaian dan tampilan fisik lainnya. Islam fundamental juga menekankan prinsip kesatuan agama dan negara (al-din wa aldawlah). Fenomena ormas keislaman bercorak radikal juga menunjukkan ada karakteristik polycentrism (banyak pusat). Karakter ini dapat diamati dari banyaknya organisasi keagamaan yang menunjukkan ideologi fundamental seperti FPI, Laskar Jihad, Jama‘ah Islamiyyah,Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Ikhwanul Muslimin.

Yang menarik, setiap ormas ini secara organisatoris tidak saling berhubungan. Karakter lain yang patut didalami adalah sikap yang militan, gigih, ulet, dan tidak pernah mengenal kata menyerah.Dalam fase tertentu kelompok Islam fundamental ini bahkan membenarkan perjuangan secara fisik (jihad). Dalam perkembangannya, terutama sejak era reformasi, tampak sekali ada upaya dari sebagian kelompok Islam fundamental untuk memperluas wilayah dakwah dengan terjun dalam ranah politik praktis.

Inilah fenomena yang menarik diamati dari kelompok Islam fundamental karena mereka telah berupaya untuk menyinergikan perjuangan melalui jalur kultural dan politik kekuasaan. Karena telah bercampur dengan kepentingan politik kekuasaan inilah, kelompok Islam fundamental berubah menjadi kian radikal dan reaksioner.

Alternatif Solusi

Berkaitan dengan keinginan untuk membubarkan ormas anarkistis, yang terpenting untuk dilakukan adalah jangan sampai pemerintah memberikan kesempatan (window of opportunity) bagi munculnya tindakan anarkistis. Keinginan membubarkan ormas anarkistis akan sia-sia jika pemerintah tidak berusaha untuk meminimalisasi faktor-faktor pemicunya (triggering factors).

Termasuk dalam kategori faktor pemicu di sini adalah ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum,tersumbatnya partisipasi politik, tersedianya persenjataan,serta kepentingan elite politik. Selain itu, pemerintah juga harus meminimalkan faktor sosial-budaya,yang berpotensi untuk membentuk karakter seseorang/kelompok menjadi fanatik dan militan.

Untuk itu, pemerintah perlu melibatkan sebanyak mungkin kelompok masyarakat guna membina umat sehingga memiliki pemahaman keagamaan yang moderat dan terbuka. Peran ini sejatinya dapat dimainkan ormas seperti Muhammadiyah dan NU yang telah teruji menjalankan tugas sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
◄ Newer Post Older Post ►