MOU Dewan Pers-Polri


MOU Dewan Pers-Polri
Agus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERS
Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012



Pada 9 Februari 2012, Dewan Pers dan Kepolisian RI meresmikan nota kesepahaman yang sangat penting untuk pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia.
Perjalanan pembahasan nota kesepahaman (MOU) ini cukup panjang dan berliku. Kedua pihak butuh waktu lebih dari tiga tahun—melewati sekali momen pergantian Kapolri dan keanggotaan Dewan Pers—untuk mereduksi perbedaan-perbedaan pandangan tentang bagaimana semestinya kasus-kasus pers diselesaikan.

Penyelesaian Jurnalistik

Nota kesepahaman ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian tentang proses penanganan kasus-kasus pers. Sebagian pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Namun, tidak sedikit pihak dengan masalah yang sama memilih mengadu ke polisi. Sebagian pihak memperkarakan kinerja pers berdasarkan UU Pers. Sebagian pihak lain tidak mau tahu dengan duduk perkara UU Pers dan menggunakan UU lain untuk memeja-hijaukan media atau jurnalis. Pada titik ini sering muncul perbedaan pendapat antara penegak hukum di satu sisi dan Dewan Pers serta unsur-unsur media pada sisi lain.

Terjadi benturan tafsir tentang perlindungan nama baik dan ketertiban umum dengan prinsip-prinsip universal kemerdekaan pers. Dalam ketakpastian ini, peristiwa kriminalisasi terhadap insan atau institusi pers beberapa kali terjadi dan memicu kontroversi yang tak kondusif bagi hubungan antara komunitas pers dan penegak hukum. Berangkat dari situasi inilah, Polri dan Dewan Pers kemudian menjajaki kemungkinan membangun saling pemahaman dan kerja sama dalam menyelesaikan kasus-kasus pers yang diadukan ke polisi.

Nota kesepahaman Polri-Dewan Pers pertama-tama menegaskan bahwa sengketa jurnalistik semestinya diselesaikan secara jurnalistik. UU Pers No 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik telah menyediakan penyelesaian secara jurnalistik ini dengan mekanisme hak jawab, hak koreksi, permintaan maaf secara terbuka, mediasi Dewan Pers, serta sanksi pidana bagi media yang tidak mematuhi ketentuan hak jawab.

Dalam konteks ini, jika Polri menerima pengaduan langsung tentang pers, Polri akan terlebih dahulu meminta Dewan Pers menilai apakah pengaduan itu tentang perkara jurnalistik atau bukan. Jika pengaduan tersebut sepenuhnya perkara jurnalistik akan diselesaikan oleh Dewan Pers. Sebaliknya, jika pengaduan itu ternyata tentang perkara non-jurnalistik menjadi kewenangan Polri untuk menyelesaikannya.

Penyelesaian secara jurnalistik dapat saja tak menyelesaikan masalah. Misalnya, karena hak jawab tidak dipenuhi oleh media atau karena media mengulangi kesalahan yang sama setelah memuat hak jawab. Jika ini terjadi, Dewan Pers tidak menghalangi upaya pihak-pihak untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan delik pers.

Namun, untuk menangani kasus seperti ini, polisi harus berpedoman pada UU Pers, bukan UU lain. Polisi juga akan memastikan, sebelum menempuh jalur hukum, pengadu telah terlebih dahulu menempuh prosedur penyelesaian secara jurnalistik: hak jawab, hak koreksi, atau mediasi Dewan Pers. Polisi juga berkomitmen untuk mengarahkan pengadu menempuh jalur hukum perdata. Dalam proses penyidikan perkara delik pers pada tahap selanjutnya, polisi akan selalu berkonsultasi dengan Dewan Pers.

Kriminalisasi Pers

Guna mengevaluasi pelaksanaan nota kesepahaman, Dewan Pers dan Polri akan melakukan pertemuan koordinasi sekurang- kurangnya enam bulan sekali. Koordinasi ini sangat penting untuk memperbaiki kualitas penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Selama 2011, Dewan Pers mencatat 85 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk: penganiayaan, perusakan, intimidasi, pengusiran, hingga penghilangan nyawa. Pelakunya pun beragam: pejabat publik, pegawai pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman suruhan pihak tertentu. Masalah yang menonjol dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah belum ada koordinasi yang memadai antara Polri sebagai penegak hukum dan Dewan Pers sebagai lembaga pelindung kebebasan pers untuk secara sigap dan secepatnya mengambil langkah-langkah penyelidikan dan penanganan masalah.

Kemerdekaan Pers

Nota kesepahaman ini secara teoretis merupakan terobosan penting untuk mengeliminasi kriminalisasi dan kekerasan terhadap pers yang masih marak terjadi di Indonesia. Nota kesepahaman ini akan jadi pedoman bagi jajaran Polri, khususnya di daerah, yang sering menerima pengaduan tentang kinerja pers, tetapi belum sepenuhnya memahami mekanisme penyelesaian perkara jurnalistik.

Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Polri. Kemauan baik Polri untuk memberikan kesempatan kepada komunitas pers, yang direpresentasikan oleh Dewan Pers, untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri melahirkan optimisme bahwa ke depan, tingkat kriminalisasi terhadap pers akan semakin menurun. Dengan sendirinya kemudian Indonesia akan semakin dikenal sebagai negara dengan pemerintahan yang mempunyai komitmen terhadap kemerdekaan pers.

Dewan Pers di sisi lain dihadapkan pada keharusan untuk meningkatkan kapasitas dalam menangani kasus-kasus pers secara sigap, adil, dan imparsial. Tantangan Dewan Pers adalah sanggup senantiasa bertindak tegas dan tidak kompromistis terhadap institusi atau insan pers yang tidak profesional dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers perlu membuktikan bahwa fungsinya tidak sekadar melindungi kemerdekaan pers, tetapi juga menegakkan Kode Etik Jurnalistik tanpa pandang bulu. Hal ini demi menegakkan martabat pers itu sendiri serta untuk memberikan rasa keadilan bagi berbagai pihak. ●

◄ Newer Post Older Post ►