Soal Pelaksanaan Konstitusi


Soal Pelaksanaan Konstitusi
Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
Sumber : SUARA KARYA, 14 Februari 2012



Sistem bernegara kita mirip sistem Perserikatan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). PSSI semestinya menjadi panggung bagi pemain untuk berkompetisi meraih prestasi puncak paling tidak di tingkat Asia. Ternyata PSSI hanya panggung bagi pengurus untuk saling cakar-mencakar. Pengupayaan prestasi pemain diabaikan.

Sistem bernegara kita semestinya taat asas konstitusi, fokus mewujudkan tujuan bernegara dengan mentaati aturan main yang diamanatkan konstitusi. Dalam pelaksanaan, konstitusi yang sebenarnya sudah cukup baik malah dimanipulasi. Kemudian konstitusi sudah diamandemen menjadi lebih baik, tapi masih juga dilanggar.

Rakyat mengharap para elite bangsa bersatu memedomani dan menaati konstitusi. Namun, di usia Indonesia merdeka menjelang 67 tahun, para elite bangsa masih menyuarakan pendapat yang saling bertentangan. Bagaimana mungkin tujuan bernegara untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat terwujud, jika elite bangsa masih berbeda pendapat tentang konstitusi?

Pendapat pertama, UUD 1945 yang asli sudah cukup baik. Namun, fakta-fakta menunjukkan penguasa rezim Orde Lama dan Orde Baru memanipulasi konstitusi. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto masing-masing boleh menjadi presiden seumur hidup selama 36 tahun. Untuk mengamankan kekuasaan otoriter, penguasa rezim ABRI diberi fungsi melakukan politik praktis.

Tujuan bernegara bukan untuk kepentingan umum, memajukan dan menyejahterakan bangsa, tetapi demi kepentingan penguasa rezim, keluarga, pendukung dan kroni-kroninya. Implementasi kemerdekaan, kecuali bagi pendukung rezim, dicabut, yang berani melanggar dibredel dan, atau dipenjarakan. Sesuai idiologi negara Pancasila, HAM Indonesia dihormati, tetapi ABRI boleh melanggar HAM demi stabilitas kekuasaan. Hukum pun tunduk kepada kehendak penguasa rezim.

Pendapat kedua, empat amandemen konstitusi jauh lebih baik. Dalam acara Pekan Konstitusi bertemakan UUD 1945, Amandemen, dan Masa Depan Bangsa, di Jl Dempo Jakarta (30/1/2012), Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menegaskan konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik dibanding UUD 1945 yang asli. Di akhir pembahasan perubahan konstitusi (10/8/2002), perumus amandemen menegaskan, perubahan itu bertujuan selain untuk mengoreksi penyimpangan oleh rezim sebelumnya juga untuk memperkuat kedaulatan rakyat.

Dalam bukunya, Manusia Indonesia (1977), wartawan kawakan Mochtar Lubis menulis antara lain, manusia Indonesia memiliki kemampuan seni. Sepertinya Mochtar Lubis ingin mengatakan manusia Indonesia pandai merumuskan, lemah dalam praktik. The founding fathers pandai merumuskan UUD 1945 tapi lemah melaksanakannya. Demikian juga di era reformasi ini, MPR 1999-2002 pandai merumuskan amandemen konstitusi. Namun, penyelenggara negara mengabaikannya.

DPR terkesan memperdagangkan kewenangannya dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran, dan melupakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Jumlah anggota dewan yang menjadi tersangka dan dipenjarakan pun semakin banyak. Aparat pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat, tetapi penjara dipenuhi mantan walikota, bupati, gubernur, dan sejumlah menteri, karena mengorupsi dana pembangunan bangsa. 
Sebagai negara hukum, praktik pengadilan mengalami public trust, karena jual-beli putusan dan suap yang lazim disebut dengan mafia pengadilan (Muh Busyro Muqqodas).

Pendapat ketiga, sejumlah elite bangsa menyalahkan amandemen konstitusi. Dalam acara Pekan Konstitusi itu, mantan Wapres Try Soetrisno berpendapat, empat amandemen itu menyimpang dari cita-cita kemerdekaan Indonesia dan membuat bangsa Indonesia kurang merdeka, kurang bersatu, kurang berdaulat, kurang memperoleh keadilan dan kemakmuran. Dikhawatirkan adanya intervensi asing dalam proses amandemen itu. Pada kesempatan itu Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengemukakan, amandemen itu telah membuat ekonomi Indonesia dikuasai modal asing.

Dalam dialog kenegaraan yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta (8/2/2012), Ketua Dewan Pembina Komite Restorasi Indonesia (KORI) Prof Dr M Dimyati Hartono berpendapat, amandemen konstitusi itu keliru. Hasilnya ternyata tidak memberi kemaslahatan bagi bangsa dan negara, karena itu sistem bernegara perlu ditata ulang.

Pendapat keempat, Indonesia perlu amandemen ke-5. Usul DPD agar amandemen ke-5 memberi kewenangan kepada DPR dan DPD menjadi sama-sama a law making body patut dipertimbangkan. Namun, terkait kebebasan pers, usul perubahan DPD justru kembali ke konsep Orba, yang mengekang dan mengendalikan pers.

Pendapat kelima, konstitusi sudah benar, pelaksananya tidak benar. Dalam seminar konstitusi di Makassar (31/1/2012), Ketua MK Mahfud MD menyatakan, saat ini terdapat 167 kepala daerah terlibat korupsi. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara ditangkap karena korupsi. Ketiga pilar demokrasi, legislatif, eksekutif, yudikatif dalam kondisi buruk. Hal itu terjadi karena kondisi buruk itu bukan kesalahan Pancasila dan UUD 1945. Yang salah adalah manajemen pemerintahan dan penegakan hukum yang moralitasnya terlepas dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. (Suara Karya, 1/2/2012)

Sejalan dengan pendapat Jaksa Agung di era pemerintahan Presiden Gus Dur, Baharuddin Lopa bahwa betapa pun baiknya konstitusi dan UU, jika pelaksananya buruk, hasilnya pasti buruk. Betapa pun buruknya konstitusi dan UU, jika pelaksananya beritikad baik dan jujur, hasilnya pasti baik.

Akhirnya, jika penyelenggara negara masih berkultur melanggar dan mengabaikan konstitusi, dan elite bangsa hanya sibuk menyalahkan konstitusi, arah NKRI pasti menuju negara gagal. Jika elite bangsa bersatu membangun sistem bernegara taat asas konstitusi, berorientasi mengupayakan realisasi tujuan nasional dengan mempedomani aturan main konstitusi, hasilnya pasti sukses.

◄ Newer Post Older Post ►