Bola Api Turbulensi Partai Demokrat
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012
Tidak berlebihan kalau dikatakan kedigdayaan Partai Demokrat seakan mampu menundukkan kemustahilan. Sebagai parpol yang berumur di bawah lima tahun, pengurusnya belum lengkap, dan mesin partai belum bekerja penuh, Partai Demokrat mampu merebut hati pemilih sehingga mendapatkan dukungan 7 persen dalam pemilu legislatif tahun 2004. Bahkan, lima tahun kemudian kemenangannya hampir 300 persen dari pemilu sebelumnya. Kemampuan melawan anomali dan mengalahkan kemuskilan tersebut adalah daya tarik pendiri, penggagas, sekaligus Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Ia tokoh populis yang berkat perilaku yang amat santun berhasil memesona rakyat sehingga pemilih percaya kepada janji-janjinya.
Publik semakin kepincut karena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyatakan dengan tegas sanggup menjadi panglima perang melawan kejahatan luar biasa yang disebut korupsi. Citra sebagai partai yang memusuhi korupsi masih melekat di pelupuk mata publik melalui akting beberapa kader terbaik di televisi, seperti Anas Urbaningrum, Ibas, Andi Mallarengeng, dan Angelina Sondakh, yang dengan lantang mengucapkan kata-kata: ”nyatakan tidak terhadap korupsi”. Suara itu masih terngiang di telinga masyarakat. Partai Demokrat dengan SBY-nya menjadi darling-nya publik.
Namun, ternyata citra dan reputasi bukanlah kenyataan. Imaji dan fantasi hanya bayang-bayang. Mereka itu bukan hakiki yang mempunyai watak. Politik tanpa karakter serta hanya mengandalkan sensasi dan eksploitasi daya tarik ilusi dan mimpi ternyata tidak tahan uji. Kasus dugaan korupsi wisma atlet yang melibatkan secara langsung kader-kader penting Partai Demokrat, dan kemungkinan besar juga melibatkan kader-kader partai lain, telah merontokkan reputasi yang dibangun atas dasar fiksi.
Pamor Partai Demokrat pudar dan buram. Berbagai survei menunjukkan tingkat popularitas partai ini (bahkan mungkin tingkat elektabilitasnya kalau dilakukan pemilu saat ini) merosot dari sekitar 20 persen menjadi lebih kurang 13-14 persen saja. Kemelut partai ini tentu akan dimanfaatkan partai lain. Namun, tidak sesederhana itu mengingat kredibilitas parpol kompetitor tak lebih baik daripada Partai Demokrat. Tak ada jaminan pemilih partai ini akan lari ke partai lain. Kemungkinan mereka justru tidak memilih.
Sejalan dengan merosotnya pamor Partai Demokrat, meluncur pula gengsi dan reputasi SBY. Bukan disebabkan pudarnya partai ini, melainkan akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan yang dipimpinnya. Popularitas SBY meluncur dari sekitar 60 persen menjadi 50 persen. Memang tidak sedramatis kemerosotan partai, tetapi hal itu juga menunjukkan kegagalan pemerintahan memenuhi harapan publik.
Rakyat bersuara dengan nyaring meskipun letih bahwa peran negara nyaris nihil, negara autopilot, dan ungkapan sejenis yang menunjukkan rakyat sangat kecewa dengan kinerja pemerintah. Namun, yang menyedihkan, tiada tanda-tanda negara mempunyai niat sungguh-sungguh mengelola kekuasaan yang dipercayakan rakyat secara amanah.
Oleh karena itu, tanggung jawab SBY dalam mengatasi gonjang-ganjing Partai Demokrat tidak cukup hanya berkisar menyelamatkan partai atau secara lebih sempit terfokus kepada nasib ketua umum. Urusan Anas Urbaningrum bagi SBY seharusnya sangat sederhana. SBY sebagai pemimpin beberapa lembaga internal Partai Demokrat, seperti Majelis Tinggi, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pembina, kapan saja dapat dengan mudah menentukan nasib Anas. Melalui institusi-institusi tersebut, SBY dapat secara elegan mengundurkan ketua umum tanpa dituduh sewenang-wenang oleh pendukung Anas. Namun, dengan syarat, SBY harus adil, tegas, dan bermartabat. Siapa pun yang melanggar etik dan hukum harus ditindak.
Kemelut Partai Demokrat kali ini tidak dapat diatasi dengan manuver taktikal dan kutak-kutik politik. Langkah itu hanya cara mengakali kematian partai yang hasilnya akan sia-sia.
Namun, isu yang jauh lebih serius dan mencemaskan yang dipicu oleh dugaan skandal korupsi wisma atlet tidak hanya mengakibatkan kredibilitas lembaga negara dan politik semakin merosot, tetapi juga dapat dipastikan kepercayaan publik terhadap demokrasi bertambah melorot. Tertib politik yang secara intrinsik mengandung nilai-nilai peradaban akan ditinggalkan publik.
Kegagalan pemerintahan yang demokratis dapat dipastikan. Mereka yang semula yakin dan bahkan mati-matian mempertahankan demokrasi akan semakin berkurang. Akibat yang membuat miris, masyarakat akan memilih tatanan politik lain yang dianggap dapat memenuhi harapan publik. Padahal, pilihan hanya satu: kembalinya sistem otoritarian atau anarki sosial. Pilihan yang mematikan.
Skenario akan semakin apokaliptik karena merebaknya berbagai konflik vertikal dan horizontal telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bersama. Peristiwa itu juga mengungkapkan kenyataan merosotnya tingkat saling percaya sesama warga. Modal sosial yang semula dapat dijadikan bantalan perubahan transformasi akhir-akhir ini tergerus oleh reformasi yang disesatkan elite politik.
Oleh karena itu, dalam mengelola musibah Partai Demokrat, SBY diharapkan dapat melakukannya dengan perspektif kepentingan bangsa dan negara. Membiarkan kemelut Partai Demokrat menjadi bola api liar sama saja dengan membumihanguskan demokrasi di Indonesia. ●