Mempersoalkan Konglomerasi New Media


Mempersoalkan Konglomerasi New Media
Firdaus Cahyadi, KNOWLEDGE MANAGER FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT,
ONEWORLD-INDONESIA
Sumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012


Hari masih pagi. Namun gerbong kereta rel listrik Commuter Line rute Bogor-Jakarta sudah mulai penuh. Ada beragam cara para penumpang KRL Commuter Line melepas kejenuhan menunggu keberangkatan KRL. Beberapa penumpang tampak sedang asyik mendengarkan musik, bermain game, dan merambah Internet melalui telepon seluler, iPad, dan laptopnya.

Apa yang terjadi di gerbong KRL Commuter Line tersebut menunjukkan betapa perkembangan information and communication technology begitu pesat akhir-akhir ini di Indonesia. Jumlah pengguna Internet pun melonjak dari tahun ke tahun. Tren baru itu juga membawa perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media di negeri ini. Hasil survei Media Index yang dilakukan oleh Nielsen Media Survey pada 2009 menunjukkan jumlah pembaca koran konvensional menurun, sedangkan pengguna Internet mengalami kenaikan.

Data itu juga dikuatkan oleh riset yahoo.comdan TNS mengenai tren pengguna Internet di Indonesia pada 2010. Riset itu menyebutkan bahwa telah terjadi lonjakan yang signifikan dalam pengaksesan berita online, 28 persen pada 2009 dan 37 persen pada 2010. Di sisi lain, jumlah pembaca media cetak terus menurun.

Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap media itu segera ditangkap oleh pemilik modal di sektor media massa. Mereka tentu tidak ingin struktur konglomerasi media yang telah ada digilas oleh perkembangan tren teknologi baru ini. Dan kini dapat kita lihat bersama, hampir semua konglomerasi media memiliki portal berita online.

Lengkap sudah kepemilikan media oleh para konglomerat itu. Dari cetak, radio, televisi, hingga online telah mereka miliki. Bahkan tak jarang pula berita dari media cetak, radio, dan televisi bisa dinikmati sekaligus di portal berita milik konglomerasi media tersebut. Penggabungan ini sering disebut sebagai media baru atau new media.

Struktur konglomerasi media konvensional telah bertransformasi menjadi konglomerasi new media. Beberapa pihak menilai ini sebuah keniscayaan. Efisiensi proses produksi berita menjadi argumentasinya. Di era new media ini, seorang wartawan bisa meliput suatu peristiwa yang hasilnya bisa ditampilkan secara bersamaan di media dengan platform yang berbeda. Hasil liputan wartawan bisa ditayangkan di televisi, disiarkan di radio, dan diunggah atau upload di Internet. Biaya produksi dapat dipangkas, dan itu berarti efisiensi ekonomi bagi pemilik modal di industri new media.

Namun persoalan konglomerasi new mediaini bukanlah sekadar persoalan efisiensi ekonomi. Konglomerasi new mediaini juga merupakan persoalan dominasi wacana di ranah publik. Dominasi wacana ini tentu sangat berbahaya, terlebih bila pemilik modal industri konglomerasi new media itu juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pemilik modal dari konglomerasi new media dengan dominasi wacana di publik bisa dengan mudah mengarahkan sebuah kebijakan publik sesuai dengan kepentingannya.

Di era digital ini sebenarnya dominasi wacana publik dari konglomerasi new media bisa dilawan oleh publik. Publik secara individual atau bersama-sama dapat menuliskan perlawanannya itu melalui blog dan website pribadi atau organisasinya. Publik juga dapat melawan melalui video yang di-upload di situs jejaring sosial di Internet.

Namun potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana oleh konglomerasi new media di Indonesia masih lemah. Riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight tentang aspirasi dan perilaku anak muda di enam kota besar di Indonesia pada awal 2010 menunjukkan pengguna Internet yang aktif hanya 4,4 persen. Pengertian pengguna Internet yang aktif dalam riset itu adalah mereka yang memiliki dan menulis artikelnya di blog pribadi mereka dan juga di forum-forum online.

Celakanya, dari sedikit pengguna Internet yang aktif itu, sebagian tulisan mereka masih berkisar pada isu-isu yang didorong oleh industri konglomerasi new media. Penelitian Merlyna Liem, seorang peneliti new media dari Arizona State University, mengungkapkan bahwa topik yang ramai dibicarakan pengguna Twitter di Indonesia adalah persoalan gaya hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh media arus utama (mainstream).

Di sisi lain, masih menurut Merlyna Liem, isu-isu yang terkait dengan persoalan masyarakat pinggiran, seperti isu tentang kasus Lapindo dan Ahmadiyah, juga tidak banyak muncul di blog-blog milik para bloggerIndonesia. Sebagian besar blogger Indonesia lebih suka menulis soal isu yang menyangkut persoalan artis atau selebritas, seperti kasus munculnya video mesum mirip artis Ariel dan Luna Maya.

Celakanya, lemahnya perlawanan publik pengguna Internet di Indonesia terhadap dominasi wacana dari konglomerasi new media itu semakin diperlemah oleh berbagai kebijakan telematika yang ada atau yang sedang dirancang pemerintah. Setidaknya ada dua kebijakan dan rancangan kebijakan yang berpotensi semakin memperlemah potensi perlawanan publik terhadap dominasi wacana di ranah Internet.

Pertama, masih dipertahankannya pasal karet pencemaran nama baik dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penggunaan pasal karet itu berpotensi membungkam publik pengguna Internet yang kritis. Setiap saat pengguna Internet yang kritis terancam terkena hukuman 6 tahun penjara dari UU ITE.

Kedua, Rancangan Undang-Undang Konvergensi Telematika. Dalam RUU Konvergensi Telematika disebutkan bahwa setiap penyelenggara layanan aplikasi penyebaran konten dan informasi wajib mendapatkan izin dari menteri dan membayar biaya hak penyelenggaraan.

Ketentuan izin dari menteri tentu tidak jadi masalah bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media. Namun, bagi website yang dikelola oleh organisasi yang selama ini kritis terhadap pemerintah, ketentuan itu akan berpotensi mempersulit mereka. Begitu pula kewajiban membayar biaya hak penyelenggaraan. Bagi pemilik modal di industri konglomerasi new media, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun, bagi organisasi kecil yang mengelola website, hal itu akan menjadi sebuah persoalan besar.

Singkat kata, pertarungan wacana antara publik dan konglomerasi new media adalah sebuah ajang pertarungan yang jauh dari seimbang. Kebijakan telematika yang dikeluarkan pemerintah pun justru memperlemah potensi perlawanan publik yang sejak awal sudah lemah. Jika sudah demikian, hal yang bisa dilakukan publik adalah mendesak pemerintah melakukan perubahan terhadap serangkaian kebijakan telematika, dan tentu saja membuat kebijakan baru yang membatasi gurita industri konglomerasi new media di Indonesia. ●

◄ Newer Post Older Post ►