Kereta Api untuk Siapa?


Kereta Api untuk Siapa?
Suwardjoko P Warpani, PEMERHATI ANGKUTAN DAN LALU LINTAS;
DOSEN TRANSPORTASI PWK, ITB
Sumber : KOMPAS, 13 Februari 2012



Kereta api melayani semua penduduk. Sebagai angkutan jarak jauh dan menengah, kereta api memperlancar mobilitas orang—umumnya golongan menengah ke bawah—dan barang.

Dengan demikian, tujuan operasi kereta api (KA) dan juga moda angkutan lain terutama adalah melayani kebutuhan mobilitas. Beda antara KA dan moda angkutan lain adalah pada aspek finansial.

Operasi layanan KA di mana pun tidak bisa mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket untuk menutup biaya operasional. Dengan kata lain, jangan mengharapkan laba dari jasa operasi KA. Pendapatan lain bisa diperoleh dari subsidi sebagai konsekuensi tarif yang ditetapkan oleh pemerintah dan komersialisasi nilai aset KA, seperti ruang stasiun KA.

Gagasan memanfaatkan ruang stasiun KA sebagai ruang komersial sebagaimana di bandara bukan gagasan yang salah. Yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan layanan jasa KA, karakter layanan KA, dan pangsa pasar jasa layanan KA yang tidak identik dengan angkutan udara.

Moda Tiri

Kebijakan pembangunan prasarana angkutan di Indonesia masih sangat berpihak kepada angkutan jalan raya. Sistem angkutan jalan raya lebih banyak mendapat porsi pembangunan prasarana (jalan raya) sehingga moda angkutan jalan (kendaraan bermotor) berkembang pesat melampaui kapasitas jalan.

Bandingkan dengan prasarana dan sarana angkutan jalan rel yang ibarat anak tiri. KA kurang mendapat perhatian walau kewajiban yang diembannya cukup berat. Rel yang sudah uzur, gerbong tua, ataupun lok renta masih diwajibkan mengangkut banyak penumpang. Bagaimana KA bisa berbenah jika untuk menaikkan tarif saja—karena subsidi jauh dari kebutuhan—pemerintah tidak mengizinkannya.

PT KAI dituntut memberikan layanan prima, tetapi kebutuhannya tidak dipenuhi. Akibatnya, PT KAI mencipta berbagai upaya menghimpun dana dari berbagai sumber sampai-sampai melupakan sektor usaha lain yang sebenarnya membantu kenyamanan layanan jasa KA. Para ”pegel” (pedagang golongan ekonomi lemah) di stasiun KA bukannya dibina agar berkembang menjadi usaha yang mapan dan maju, melainkan akan digusur dan digantikan pemodal besar semacam mart.

Lebih celaka lagi, penempatan tapak usaha ini tepat di depan tangga jalur jalan penumpang. Dari sisi pengusaha, barangkali ini tapak ideal karena seolah memasang ”jaring” di tempat ikan lewat. Akan tetapi, dari sisi keamanan dan kenyamanan penumpang, penempatan ini justru sangat berbahaya pada saat terjadi bencana. Jika terjadi bencana, arus penumpang yang panik turun melalui tangga akan terhambat keberadaan mart.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Bisa diduga bahwa mart yang mampu membayar sewa lebih mahal akan dapat memilih tempat. Lantas, bagaimana nasib kebijakan pemerintah daerah yang membatasi mart agar tidak mematikan usaha ”pegel”?

Ruang Terminal

Selama ini, anggaran pemerintah melalui Ditjen Bina Marga hanya untuk membangun jaringan jalan, sedangkan pengadaan wahana angkutan bukan tanggung jawab pemerintah. Berbeda halnya dengan angkutan jalan rel. Anggaran pemerintah (melalui PT KAI) bukan hanya untuk membangun jalan rel, melainkan juga untuk terminal/stasiun, rambu dan sinyal, serta lok dan gerbong, termasuk pemeliharaan dan perawatannya.

Sebagaimana komersialisasi di sepanjang koridor jalan (raya), ruang bandara, ruang pelabuhan, tidak salah jika ada gagasan komersialisasi ruang stasiun KA karena di sepanjang jalan rel justru harus bebas hambatan. Yang perlu menjadi pertimbangan adalah sifat layanan jasa KA dan pangsa pasar jasa KA.

Gagasan membuat stasiun KA seperti bandara tidak mungkin sekadar mencontek. Jasa ”pegel” jelas tetap dibutuhkan masyarakat pengguna jasa angkutan KA. Keberatan pada ketidaktertiban mereka bisa diatasi dengan ketegasan, kejelasan aturan, dan konsistensi penertiban.

Pendekatan revitalisasi dengan cara menggusur ”pegel” jelas berisiko. Revitalisasi seharusnya justru memberdayakan ”pegel” dan jadi bagian tak terpisahkan dari layanan jasa KA. Sasaran utama sama: memberikan kenyamanan kepada penumpang dan membuat usaha ”pegel” bisa tumbuh ideal. Bantu ”pegel” agar mampu membantu operasi KA.

Sumber dana lain bagi PT KAI yang selama ini tampak terabaikan adalah aset berupa lahan. Di Pulau Jawa dan Sumatera, aset lahan KA luar biasa besar, tetapi telah berpuluh tahun tidak dikelola serius. Dalam hal ini, negara harus ”turun tangan”.

PT KAI, sejak zaman Djawatan Kereta Api sampai menjadi PT KAI, tidak mampu menguasai aset tanah ini, bahkan tidak terhitung yang sudah lepas dari dokumen KA. Aset PT KAI adalah aset negara, tetapi siapa yang akan peduli jika negara juga tidak peduli?

KA adalah moda angkutan yang melayani kebutuhan mobilitas sehari-hari di daerah perkotaan semacam Jabodetabek dan angkutan jarak jauh yang murah bagi masyarakat pada umumnya. Sangat disayangkan jika kelas ekonomi dihapus hanya karena memburu laba finansial, tetapi ”tidak memperhitungkan” keuntungan nonfinansial dan keuntungan turunan dari operasi jasa KA.

Tulang punggung sistem transportasi pulau khususnya pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sebagian Papua) seharusnya bukan hanya jalan raya, melainkan justru KA yang perlu diutamakan. Angkutan jalan raya seharusnya diposisikan sebagai angkutan alternatif dan angkutan pengumpan.

Perlu Konsekuen

KA adalah jasa pelayanan guna memperlancar mobilitas orang dan barang. Jasa angkutan ini mengharapkan keuntungan tidak langsung berupa efek rambatan dari terselenggaranya jasa angkutan jalan rel.

Pemerintah harus konsekuen melaksanakan konsep dana subsidi atau public service obligation (PSO) agar layanan jasa angkutan jalan rel dapat beroperasi dengan baik. Sumber dana selain subsidi melalui PSO adalah komersialisasi ruang terminal.

Pemerintah juga harus segera turun tangan untuk mengembalikan aset negara berupa lahan yang secara historis adalah aset KA. Dengan demikian, PT KAI memiliki sumber pendanaan lain guna mendukung operasi layanan jasa KA.

Komersialisasi ruang terminal (stasiun) harus tetap memperhatikan porsi bagi para ”pegel” sebagai bagian tak terpisahkan dari jasa layanan KA. Hal ini mengandung makna memberi ruang hidup bagi usaha kecil mengingat pangsa pasar jasa KA adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Sasaran revitalisasi ruang stasiun seharusnya adalah (terutama) memberdayakan ”pegel” serta menciptakan kepastian dan ketenangan usaha, bukan ”menggusur” mereka dan menggantikan dengan pemodal kuat. ”Pegel” dan pemodal kuat dapat beroperasi berdampingan secara damai, bukan yang kuat ”mematikan” yang lemah. ●

◄ Newer Post Older Post ►