Konflik dan Semangat Korsa Kepolisian


Konflik dan Semangat Korsa Kepolisian
G Ambar Wulan, DOSEN KAJIAN ILMU KEPOLISIAN PASCASARJANA UI
Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012



Polisi kembali mendapat sorotan tajam masyarakat terkait dengan serangkaian aksi kekerasan yang terus terjadi. Sepanjang 2011 tercatat ada 92 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di sejumlah wilayah Indonesia (Kompas, 30/12/2011).
Selain itu, ada sejumlah kasus konflik lahan di mana aparat polisi terlibat melakukan kekerasan. Semua ini mencederai semangat pengabdian korps kepolisian yang menempatkan Tribrata sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas di lapangan. Polri pada hakikatnya bertugas mewujudkan masyarakat yang Tata-Tenteram-Karta-Raharja (Kunarto, 1997).

Kepekaan terhadap lingkungan internal dan eksternal seharusnya menjadi kebutuhan urgen bagi polisi dalam melaksanakan tugas hingga tingkat wilayah yang terkecil. Tugas polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sulit dicapai tanpa adanya kepekaan dalam melaksanakan intelijen, terutama di wilayah-wilayah yang berpotensi konflik sosial. Tanpa itu, polisi lebih banyak bertindak represif dibandingkan dengan preventif.

Persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat tampaknya masih menjadi persoalan dalam mengembangkan kerukunan antaragama, suku, dan budaya.

Di samping meningkatkan kerja sama dengan instansi-instansi terkait, baik di pusat maupun daerah, Polri dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Yang utama adalah bagaimana mengontrol penggunaan wewenang agar tidak lagi terjadi kekerasan oleh aparat polisi dalam menghadapi unjuk rasa, seperti kasus Mesuji (Lampung) dan Bima (NTB).

Pengelolaan Organisasi

Polri sebagai organisasi besar dan kompleks—dilihat dari tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, serta luas wilayah dan jumlah penduduk—harus bisa menangani peningkatan kerawanan yang bermuatan politik, ekonomi, budaya, radikalisme agama, dan lain lain. Untuk itu, dibutuhkan penguatan terhadap kontrol yang terstruktur, peningkatan kualitas SDM melalui pengetatan rekrutmen, serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guna menyiapkan tenaga yang dibutuhkan, terutama tenaga teknis profesional khas polisi.

Selain itu, kepemimpinan di Polri perlu tegas, terutama dalam melepaskan anggota-anggotanya dari ikatan-ikatan yang bersifat politis dan ekonomis yang meminggirkan tugas pokoknya sebagai pelayan publik. Artinya, kepolisian tidak lagi dikaitkan dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat, tetapi menjadi pelayan publik yang mengatasnamakan pada semua golongan.

Pekerjaan Polri yang diperuntukkan bagi pelayanan publik menuntut komitmen dan integritas serta transparansi sebagai kapital untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Tanpa hal-hal tersebut polisi akan kehilangan empati dalam menjalankan pekerjaannya.

Meskipun sejumlah keberhasilan telah dicapai Polri dalam mencegah terorisme dan memerangi narkoba, tindakan kekerasan aparat akan kembali menurunkan ketidakpercayaan masyarakat kepada polisi. Di sisi lain, pembiaran konflik-konflik sosial itu bisa memicu munculnya hal serupa di daerah lain.

Pelanggaran disiplin atau kode etik kepolisian oleh aparat di wilayah konflik menunjukkan pentingnya semangat dan jiwa korsa polisi yang signifikan dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok yang mengutamakan kepentingan masyarakat.

Secara historis, jiwa korsa ini telah disadari oleh perancangnya, yakni RS Soekanto Tjokrodiatmodjo. Kepala Kepolisian RI pertama itu telah meletakkannya sebagai batu fundamen bagi bangunan kepolisian, yaitu wajib mengamankan, menertibkan, dan menegakkan hukum.

Selain itu, kontrol sosial dari masyarakat dibutuhkan pula, terutama dalam menilai sejauh mana implementasi reformasi yang dicanangkan sejak 2005 telah dilaksanakan? Grand Strategy Polri (2005-2025) yang telah berlangsung separuh jalan dengan sasaran membangun kepercayaan dan kemitraan perlu evaluasi dan pembaruan dengan pertimbangan rasional. Keberhasilan organisasi seharusnya diukur dari kinerja dalam mencapai visi, misi, serta pelaksanaan tugas pokok secara efisien dan efektif.

Pada akhirnya, penilaian masyarakat terhadap kinerja polisi apakah telah mencapai standar profesional atau belum, menandakan bahwa rakyat tetap peduli kepada polisi. Rakyat mendambakan Bhayangkara RI yang mengedepankan semangat dan jiwa korsa kepolisian dalam mengabdi pada kepentingan publik. Dengan demikian, kekerasan aparat yang memprihatinkan ini tidak terjadi lagi. ●
◄ Newer Post Older Post ►