Mohon Maaf, Saya Korupsi


Mohon Maaf, Saya Korupsi
Djoko Pitono, JURNALIS DAN EDITOR BUKU
Sumber : SUARA MERDEKA, 15Februari 2012



”SAYA memang telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketika saya mulai diperiksa oleh KPK bulan lalu, saya me-ngatakan bahwa saya tidak bersalah. Saya menyatakan dengan tegas, saya bukan koruptor. Mengapa saya mengatakan hal itu? Karena saya tidak kuat menghadapi kenyataan. Jadi saya terpaksa membohongi keluarga saya, staf saya di DPR, kawan-kawan, kolega, dan masyarakat, bahkan saya sendiri. Karena itu, saya benar-benar mohon maaf...”

Anda ingat kata-kata siapa itu? Siapa anggota DPR di negeri ini yang ditangkap KPK dan minta maaf atas tindakan korupsinya meskipun belum diadili? Tentu saja Anda bingung. Pasalnya, memang tidak ada koruptor di negeri ini yang begitu jantan mengakui perbuatannya lalu minta maaf.

Kata-kata itu adalah kutipan dari ungkapan (dengan sedikit perubahan) anggota DPR AS, Randall Harold Cunningham, yang ditangkap polisi federal pada 2005 karena korupsi, diadili, dan dihukum berat.

Dari begitu banyak pejabat di negeri ini dan kemudian diadili, sulit sekali menemukan kasus dengan terdakwanya meminta maaf. Bahkan setelah vonis, bahkan lagi setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hukumannya. Ungkapan penyesalan dan permintaan maaf tampaknya bukan budaya bagi pelanggar hukum, termasuk dalam kasus-kasus tipikor di negeri ini. Yang ada malah pemberian remisi bagi koruptor. Rasanya perlu penelitian, mengapa begitu. Mengapa pelanggaran tindak pidana luar biasa itu tidak membuat para pelaku luluh perasaannya. Mereka tampak tetap tebal muka, membantah, dan mengajukan banding atas putusan hakim.

Sebuah Pembelajaran

Padahal, apalah sulitnya meminta maaf dan menyampaikan penyesalan atas kesalahan yang dilakukan dan memberikan pembelajaran pada publik? Seperti yang dilakukan Randall Harold Cunningham? Ada banyak kasus korupsi, tidak pidana lain, dan pelanggaran etika yang melibatkan pejabat publik di AS,  serta kemudian yang bersangkutan meminta maaf.
Mantan Gubernur negara bagian Illinois AS, Rod Blagojevich (54), meminta maaf menjelang vonis awal Desember 2011 dalam persidangan atas tindakan korupsinya. Ia tetap dihukum berat, 14 tahun dan denda 20.000 dolar AS, dan akan dibawa ke penjara pada 16 Februari 2012.

Politikus Partai Demokrat AS itu diputuskan bersalah karena menerima 17 gratifikasi alias suap, termasuk mencoba menjual kursi Senat yang pernah diduduki Presiden Barack Obama.
Permintaan maaf kepada publik juga disampaikan mantan Ketua DPR negara bagian Pennsylvania John M Perzel menjelang vonis sidang korupsinya pada 31 Agustus 2011. Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada politikus Partai Republik AS tersebut. Namun kasus Cunningham paling dramatis. Cunningham (kini 70 tahun) adalah mantan anggota Partai Republik di DPR (House of Representatives) AS dari negara bagian California dari 1991 hingga 2005.

Cunningham mengundurkan diri dari DPR pada 28 November 2005 setelah mengaku bersalah menerima suap paling tidak 2,4 juta dolar AS dari kontraktor pertahanan dan menggelapkan pajak pada 2004. Mantan pahlawan Perang Vietnam itu terbukti bersalah dan pada 3 Maret 2006 dihukum 8 tahun 6 bulan dan membayar ganti rugi 1,8 juta dolar.

Yang istimewa, penyesalan dan permintaan maaf Cunningham disampaikan sebelum dia diadili. Pada intinya, dia mengatakan telah membohongi keluarga, staf, kawan-kawan dan koleganya, publik serta dirinya sendiri. .
Dia mengakui, dirinya telah melanggar hukum, menutupi tindakan-tindakannya, dan merendahkan jabatan tingginya. Dia mengatakan sadar bahwa dia akan kehilangan kebebasan, reputasi, harta milik duniawi, serta yang paling penting, kepercayaan kawan-kawan dan keluarganya.

Dia pun memberikan pembelajaran yang luar biasa dengan menambahkan, ‘’Dalam hidup saya, saya telah mengalami kegembiraan yang luar biasa dan kesengsaraan yang besar. Dan sekarang, saya menghadapi rasa malu yang besar. (Tapi) saya belajar di Vietnam bahwa ukuran sejati seorang laki-laki adalah bagaimana dia menghadapi kesulitan. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya lakukan. Tetapi saya dapat bertobat. Saya sekarang berusia hampir 66 tahun dan pada saat saya memasuki masa senja kehidupan saya, saya akan berusaha menggunakan sisa waktu yang diberikan Tuhan pada saya untuk bertobat.’’ 

Di negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang, meminta maaf kepada publik adalah etika dasar bagi politikus atau pejabat yang dinilai atau merasa bersalah dalam tugas dan tanggung jawabnya. Seringkali pula, permintaan maaf itu disertai tindakan bunuh diri, seperti mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun. Roh yang sedang diselidiki dalam kasus korupsi, bunuh diri dengan terjun ke jurang pada 23 Mei 2009.

Pengakuan Terpaksa

Dari ratusan kasus korupsi di Indonesia yang diamati penulis —setidaknya dari laporan media massa— nyaris tidak ada terdakwa yang menyatakan penyesalan dan meminta maaf. Pengamatan itu menyangkut kasus yang melibatkan berbagai kalangan, seperti mantan menteri, mantan gubernur, anggota DPR dan DPRD, bupati dan wali kota, jaksa, polisi, hakim, dan sebagainya.  Hampir tak ada di antara mereka yang secara jantan mengakui perbuatan korupsinya. Yang menonjol adalah bantahan terhadap dakwaan dan pernyataan tidak bersalah.

Sedikit perkecualian barangkali Urip Tri Gunawan (UTG), jaksa dari Kejaksaan Agung yang terbukti menerima suap Rp 6 miliar lebih dari Arthalita Suryani dalam kaitan kasus BLBI. Saat diadili pada 2008, Urip menyatakan menyesali perbuatannya. Namun hal itu terucap setelah dia mengajukan hukuman ringan dengan alasan anak-anaknya masih kecil dan istrinya sedang hamil. Ketika dia ditanya hakim apakah dirinya menyesal, jaksa Urip menjawab, ‘’Benar Pak Hakim, saya menyesal.”

Itu pun tidak ada permintaan maaf.  Mengherankan memang. Sudah jelas bersalah pun tak mau meminta maaf. Ada yang perlu dikaji, di mana letak permasalahannya. Apakah (lagi-lagi) kesalahan di sekolah kita? ●

◄ Newer Post Older Post ►