Menjadi Anggota DPR, Ngantre!

Menjadi Anggota DPR, Ngantre!
Mimi Raja Piliang, PENGAMAT SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK
Sumber : SUARA KARYA, 16Februari 2012



Pada suatu kesempatan dalam masa jabatannya yang pendek (23 Mei 1998 - 20 Oktober 1999) sebagai Menteri Koperasi dan UKM, Adi Sasono setengah bergurau mengungkapkan kekecewaannya pada era kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Menurut menteri era Presiden BJ Habibie ini, waktu itu susah sekali untuk menjadi anggota DPR RI. Waktu itu di Golkar mau menjadi calon anggota DPR harus masuk antrean panjang sementara politikus tua umumnya ingin bertengger terus di paling depan karena kekuasaannya.

Meskipun kemudian lolos di partai, masih belum tentu bisa dinyatakan sebagai calon anggota DPR-RI, karena masih harus mengikuti penyaringan khusus (screening) yang dibentuk oleh Presiden Suharto (Pak Harto). Terakhir, oleh Pak Harto sendiri semua calon dari Golkar diteliti satu persatu, ditanyakan anak siapa, dari lingkungan yang bagaimana. Pokoknya, menurut Adi Sasono untuk menjadi anggota DPR-RI di zaman Pak Harto sulitnya minta ampun.

Pengalaman selama Orde Baru inilah salah satunya yang mendorong banyak orang ingin mendirikan partai sendiri begitu Orde Baru tumbang dan berganti dengan Era Reformasi. Kebanyakan yang menjadi pelopor partai baru itu juga berasal dari orang-orang Golkar sendiri. Partai tumbuh bagaikan cendewan di musim hujan, dan Adi Sasono sendiri mendirikan Partai Merdeka. Bahkan dia mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 1999. Namun, suara yang diperolehnya dalam pemilu terlalu kecil dan akhirnya tidak lulus electoral threshold (pemilihan ambang). Partai Merdeka pun tamat bersama banyak partai gurem lainnya ketika itu.

Golkar kemudian berubah menjadi Partai Golkar (PG) dipimpin oleh Ir Akbar Tandjung. Walau dengan susah payah PG mampu bertahan dan menjadi pemenang kedua setelah PDI Perjuangan pada pemilu 1999. Saat itu sedang terjadi euforia reformasi dan banyak pihak meniupkan rasa permusuhan pada TNI dan PG. Bahkan, ada juga tokoh yang sempat dijuluki sebagai Bapak Reformasi, berusaha mencari popularitas dengan mengeksploitasi rasa benci kepada Presiden Soeharto.

Kondisi ini, mendorong petinggi PG merapat ke Poros Tengah yang dipimpin Amin Rais dari Partai PAN, dan memilih Abdurrachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden menggantikan BJ Habibie.

Dalam perjalanan bangsa ini Gus Dur pun pada akhirnya dilengserkan dan digantikan oleh Megawati dengan Wakil Presiden Hamzah Haz oleh Poros Tengah yang menjadi kekuatan dominan di MPR-RI ketika itu. Selanjutnya, sejarah politik Akbar Tandjung sepertinya stagnan, diawali dengan mundurnya HM Jusuf Kalla (JK) dari arena konvensi Penyaringan Calon Presiden dari Partai Golkar. Setelah keduanya lolos dan menjadi Presiden dan Wapres pada 1999 - 2004, JK pun berhasil merebut kursi ketua umum PG. Sementara, capres Partai Golkar Wiranto yang gagal terpilih menjadi presiden, dalam perjalanannya juga mendirikan Partai Hanura, sebagaimana calon capres Partai Golkar lainnya, Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra.

Dari sedikit kisah ini, saya ingin mengungkapkan bahwa bagaimana pun dalam perjalanan dan perkembangan politik di Indonesia, faksi-faksi di tubuh PG yang besar dan terkader sampai ke desa-desa selama lebih kurang 32 tahun kekuasaan Orde Baru, mereka juga yang banyak berkiprah dalam kancah perkembangan politik di Era Reformasi ini. Kecuali PDI-Perjuangan, hampir semua partai yang ada saat ini dihuni orang-orang Golkar atau kader Golkar.

Banyak juga di antara mereka itu tadinya adalah orang-orang yang sudah tak kuat lagi ngantre di barisan panjang Partai Golkar disebabkan oleh karena masih banyaknya tokoh tua ingin terus menjadi anggota DPR-RI sampai 2 - 3 bahkan 4 priode. Bahkan ada yang bercita-cita,jika dia menemui ajalnya, dia ingin meninggal saat masih menjadi anggota DPR-RI.

Tetapi, benarkan semua kader PG yang kemudian besar dengan bendera partai lain itu mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yaitu bangsa yang makmur sejahtera serta di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa?

Kelihatannya, kesejahteraan bangsa ini masih jauh dari harapan. Malahan, dari waktu ke waktu kekuatan bangsa ini terus merosot. Simak saja, berapa besaran utang luar negeri kita sekarang, tak kurang dari Rp 1.937 triliun, meningkat sebesar Rp705 Triliun dari masa Megawati sebesar Rp 1.232 triliun (pada 2003). Ironisnya, hasil mineral dan tambang, sebagian besar sudah terikat untuk diekspor. Padahal, dalam negeri sangat membutuhkannya. Semua ini terjadi, karena pemerintahan yang dikembangkan sejak awal reformasi memang cenderung lebih liberal dari negara kapitalis sekalipun, menyebabkan negeri ini sangat tergantung pada asing.

Cita-cita luhur pendiri bangsa, Soekarno-Hatta yang ingin agar Indonesia berjaya dan dipandang sebagai negara besar, rasanya makin jauh panggang dari api. Apa mungkin pemerintah mendatang setidaknya bisa melakukan koreksi dalam mengelola kekayaan sumber daya alam seperti sumber migas dan tambang yang diyakini bisa mengembalikan cita-cita bangsa ini ke relnya, hingga masyarakat bangsa bisa menikmati kekayaan yang terkandung dalam perut bumi negeri ini.

Ada benarnya juga tak sembarang orang bisa menjadi anggota Dewan Yang Terhormat (DPR), seperti di era Orde Baru. Hingga hanya orang-orang pilihan saja yang bisa menduduki kursi yang terhormat itu, hingga sepanjang Orde Baru tak terdengar ada anggota DPR-RI yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena korupsi. Dan perlu dipertanyakan juga niat orang-orang yang tadinya berada di antrean panjang di Golkar, lalu mendirikan partai baru dan berhasil menjadi anggota DPR-RI, menteri atau bahkan penguasa di negeri ini.

Hal yang terpenting menurut saya, dalam pemilu 2014 mendatang, sebaiknya setiap orang benar-benar menggunakan suaranya dengan kembali mengingat cita-cita luhur pendiri bangsa. Lepaskan pengaruh eforia yang berlebihan, apalagi orang yang tadinya dikira hebat dan mampu mewujudkan cita-cita bangsa, namun tak lebih sebagai pendongeng semata!
◄ Newer Post Older Post ►