Negara Gagal Mengelola Konflik
Novri Susan, SOSIOLOG KONFLIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber : KORAN TEMPO, 13Februari 2012
Selama dua bulan awal 2012 saja, frekuensi kekerasan dalam konflik di antara kelompok buruh, petani, dan masyarakat adat dengan negara atau swasta makin tinggi. Tingginya frekuensi kekerasan yang menyertai kasus-kasus konflik tersebut merupakan indikator bahwa negara telah gagal mengelola konflik secara demokratis.
Seperti pada kasus amuk massa dalam konflik pertambangan di Bima akhir Januari tahun ini. Menurut laporan media, puluhan ribu orang melakukan perusakan kantor Bupati dan fasilitas-fasilitas perkantoran Kabupaten Bima. Masyarakat menuntut dicabutnya Surat Keputusan Nomor 188 tentang izin eksplorasi tambang oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Setelah amuk massa tersebut, barulah Bupati Bima memenuhi tuntutan masyarakat dengan mencabutnya. Keputusan politik itu terhitung lamban sehingga harus ditebus dengan korban jiwa masyarakat dan kerugian fasilitas pemerintahan terlebih dulu.
Kasus konflik pertambangan di Bima, Mesuji, Lampung, sampai Papua merupakan contoh konkret tentang bagaimana negara gagal melakukan pengelolaan konflik yang berprinsip pada demokrasi. Pengelolaan konflik demokratis sarat akan upaya politik pemerintahan, yang mengarusutamakan proses dialog-negosiasi yang transparan, setara, dan responsif dalam menangani tuntutan publik. Maka dinamika kekerasan jarang terjadi di negara yang mengelola konflik secara demokratis.
Tuntutan Publik
Masyarakat luas secara dinamis akan menolak setiap kebijakan negara yang dipandang memberi konsekuensi buruk, tidak menawarkan keuntungan, dan mengancam keberlangsungan hidup kolektif. Pada usia demokrasi Indonesia yang tidak lagi muda, daya kritis masyarakat yang ditandai oleh kemampuan menilai kebijakan dan mengorganisasi tuntutan publik ternyata gagal dibaca secara reflektif oleh penyelenggara kekuasaan negara. Bahkan, kecenderungannya, terjadi pengabaian pada tuntutan publik oleh sebagian besar penyelenggara kekuasaan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Termasuk kasus konflik pertambangan di Kabupaten Bima, para pemimpin dalam pemerintahan daerah tersebut, terutama bupati, telah melakukan pengabaian politik terhadap gelombang tuntutan publik (public grievances). Pengabaian tersebut diperlihatkan oleh keengganan Bupati melakukan pencabutan kebijakan izin pertambangan yang diberikan kepada perusahaan swasta, walaupun pemerintah telah menghadapi gelombang aksi masyarakat seperti pada kerusuhan Sape, yang menyebabkan tiga warga meninggal dan lebih dari 30 orang luka-luka. Sikap politik tersebut, yang dalam literatur studi konflik disebut politik keras kepala (contentious politics), telah menyebabkan kondisi terdeprivasi secara kolektif di kalangan masyarakat. Yakni, situasi mengecewakan yang makin dalam akibat ekspektasi akan adanya perubahan sikap dan kebijakan satu kelompok atau pemerintah menemui kenyataan terbalik secara ekstrem.
Kondisi terdeprivasi secara kolektif selalu menjadi kimia sosial suatu kelompok untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan seperti amuk massa. Dalam kasus konflik pertambangan di Bima, tampaknya amuk massa merupakan cara terakhir memperjuangkan tuntutan publik di Bima dalam pencabutan izin eksplorasi tambang. Tindakan kekerasan masyarakat yang merasa terdeprivasi oleh politik keras kepala kekuasaan negara dirangsang oleh kondisi keterpaksaan. Kekerasan dalam amuk massa bukan merupakan preferensi cara yang humanis dan taat pada prosedur hukum, yang sering dikategorikan sebagai tindakan kriminal oleh negara. Masyarakat pasti menyadari konsep hukum tersebut. Tapi kondisi terdeprivasi kolektif mendorong timbulnya keberanian melanggar tata hukum positif tersebut. Bisa jadi, dalam konstruksi makna kolektif masyarakat, para pelaku amuk massa yang melawan politik keras kepala kekuasaan dilihat sebagai pahlawan yang mengorbankan diri. Mereka berani mempertaruhkan masa depan individual mereka dengan dijebloskan dalam penjara demi kebaikan hidup kolektif.
Demokrasi Responsif
Dinamika tuntutan publik dalam berbagai kasus konflik vertikal antara masyarakat dan negara atau swasta, yang diwarnai ekspresi kekerasan, merupakan indikator bahwa kekuasaan negara menjauhi konsep demokrasi responsif. Kenyataan ini merupakan ironi besar karena pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, sebagai penyelenggara negara, merupakan produk demokrasi itu sendiri. J. Rhee Baum (Responsive Democracy, 2011) memberi penjelasan bahwa demokrasi responsif ditandai oleh kelembagaan pemerintahan yang memiliki kecepatan dan kualitas respons yang baik atas berbagai tuntutan publik. Pemerintahan dalam demokrasi responsif membangun sistem dan kebudayaan yang memiliki ketanggapan kuat terhadap isu-isu dalam masyarakat tentang kebijakan pemerintahan, yang selanjutnya memasukkan isu-isu tersebut sebagai prioritas dalam upaya penyelesaian masalah. Prinsip utama penyelesaian dalam demokrasi responsif adalah demi kebaikan umum (common bonum).
Prinsip dasar menciptakan penyelesaian yang baik untuk umum adalah menyediakan dan meningkatkan kualitas partisipasi kelompok kepentingan secara transparan serta setara. Artinya, negara tidak sekadar menyediakan prosedur formal partisipasi, tapi juga mendorong kualitasnya. Dimensi dasar dari kualitas partisipasi adalah kontinuitas dialog atau negosiasi sampai terjadi kesepakatan atas konsep penyelesaian kasus tertentu. Contoh baik ini ditunjukkan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo ketika akan merelokasi pedagang kaki lima dengan melakukan 54 kali dialog. Kontinuitas dialog-negosiasi tersebut telah berhasil menciptakan penyelesaian masalah relokasi pedagang kali lima berbasis kebaikan umum, yang ditandai oleh proses damai dan dukungan masyarakat luas.
Dalam konflik pertambangan di Kabupaten Bima, secara ironis pemerintahannya memilih politik keras kepala dan menjauhi prinsip demokrasi responsif. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Bima tidak mampu menyediakan penyelesaian konflik pertambangan itu dengan berbasis pada kebaikan umum. Selanjutnya, aparat kepolisian dimandati kekuasaan untuk "mengamankan" kebijakan legal pemerintah, yang prinsipnya adalah represif.
Pengelolaan konflik berbagai kasus oleh negara, baik dalam isu pertambangan, pertanahan, maupun perburuhan, harus berprinsip pada demokrasi responsif. Prinsip tersebut menjadi penting jika misi utama pengelolaan konflik oleh negara merupakan pemecahan masalah yang mampu memberi kebaikan umum. Namun, ketika negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah lebih memilih politik keras kepala dan pengabaian terhadap tuntutan publik, fenomena kekerasan dan amuk massa akan terus direproduksi. Tentu saja kekerasan bukanlah prestasi yang membanggakan bagi bangsa Indonesia. ●