Budaya Sadar Berkonstitusi


Budaya Sadar Berkonstitusi
Zainul Mun’im, ANGGOTA PUSAT STUDI DAN
KONSULTASI HUKUM (PSKH) UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 14 Februari 2012



Dewasa ini, kesadaran berkonstitusi terhadap UUD 1945 mulai diabaikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya hal itu dapat kita lihat dari potret bangsa ini sepanjang tahun 2011, di mana dunia politik tidak mampu lagi mempersatukan seluruh warga.

Praktik politik yang selintas terlihat 'demokratis' tersebut bukannya mempersatukan seluruh warga dalam rangka membangun negara, justru semakin memperluas jurang perseteruan antar-sesama rakyat Indonesia. Begitu bahayanya pengabaian kesadaran berkonstitusi ini, sehingga tergambar dalam sebuah adagium 'salah satu penyakit lupa yang sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kesadaran berkonstitusi'.

Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya menghendaki agar UUD 1945 menjadi konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti harapan The Founding Fathers untuk mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam alinea Preambul UUD 1945.

Bagaimanapun budaya sadar berkonstitusi penting agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945. Untuk menumbuhkannya, tidak cukup hanya dengan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar konstitusi. Lebih dari itu, diperlukan pengalaman nyata (empirik) dalam menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi merupakan suatu upaya yang harus melalui beberapa proses.

Pertama, adanya ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mentaati aturan hukum ini merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab.

Hal ini sangat perlu, mengingat Indonesia sebagai negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.

Aturan Hukum

Namun demikian, prinsip supremasi hukum ini harus selalu diiringi dengan pelaksanaan prinsip demokrasi yang menjamin peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan rasa keadilan kepada masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/ atau hanya untuk kepentingan penguasa.

Tanpa adanya kesadaran mentaati aturan hukum, momentum politik yang sejatinya untuk membentuk pemerintah yang demokratis, justru akan tergelincir pada jurang konflik berkepanjangan, dan akhirnya merugikan masyarakat, bangsa dan negara ini.

Kedua, perlunya keterlibatan seluruh elemen bangsa dalam bentuk kesadaran, tidak hanya menuntut kesadaran elite politik saja, melainkan juga masyarakat luas. Hal ini mengingat konstitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Keterlibatan rakyat merupakan syarat mutlak, mengingat konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat, harus berdasarkan kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal ini-lah yang disebut oleh para ahli sebagai kekuatan konstitusi (constituent power) yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.

Ketiga, setiap warga negara dan penyelenggara negara diharuskan mempelajari dan memahami tentang konsep UUD 1945 secara menyeluruh, tidak hanya sekedar menghafalnya tanpa dihayati. Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan media berisi informasi tentang konstitusi yang dengan mudah dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.

Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka mereka pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang terjamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi.

Dengan kesadaran ini pula, momentum politik akan sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945. Yakni, dapat menjadikan pemerintahan Indonesia menjadi demokratis, dan pada akhirnya mampu mengantarkan Indonesia kepada kemerdekaan yang hakiki, makmur, adil, dan beradab. Amin.

◄ Newer Post Older Post ►