Pembangunan Sebagai Kemerdekaan
Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
Sumber : KORAN TEMPO, 15Februari 2012
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan: apa yang menjadi alasan fundamental yang telah menyebabkan transformasi ekonomi Indonesia tidak terwujud sesuai dengan teori ekonomi dan paradoksal dengan yang telah terjadi di negara-negara Asia Timur (lihat Pakpahan, Koran Tempo, 1 Februari 2012). Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk memberi inspirasi dalam mencari jalan keluar dalam mewujudkan cita-cita Negara Kesatuan RI dan mengatasi ketertinggalan dari negara-negara lain pada periode waktu yang akan datang.
Kasus Asia Timur ini menarik untuk menjadi bahan pembelajaran kita. Apalagi dengan menyimak kasus Jepang yang ternyata pada awal 1900-an masih dicap sebagai bangsa pemalas oleh Barat (Chang, 2008). Namun, setelah Perang Dunia II, kehidupan di negara-negara kawasan Asia Timur, termasuk RRC, melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya dan tak terkejar.
Sen, dalam Second Asia and Pacific Lecture on "Building Asia's Tomorrow: Promoting Sustainable Development and Human Security" (1999), menyampaikan paham atau pandangan tentang pembangunan cara Asia. Sen, sebagai pemenang Nobel dalam ilmu ekonomi (1998), pakar ekonomi yang lahir di dan sebagai keturunan India, yang kemudian menetap di Inggris, juga telah melahirkan konsep pembangunan yang berbeda dengan para pemikir ekonomi lainnya: development as freedom.
Penulis ingin menggarisbawahi kata freedom, yang terartikulasi dan lahir dari seorang ekonom berlatar pendidikan Barat, yang sangat memahami kapitalisme dan pasar, ternyata melahirkan landasan freedomsebagai roh dan napas pembangunan. Mungkin hal itu lahir karena Sen memang dilahirkan di negara yang mengalami penjajahan dan melihat serta merasakan sendiri akibat sistem ekonomi yang lahir dari penjajahan, yang ternyata menyebabkan ketidakmerdekaan (unfreedom).
Jauh sebelum Sen melahirkan teori pembangunan ekonominya, para pendiri NKRI ini sudah melahirkan paham yang kurang-lebih sama atau bahkan lebih mendasar lagi daripada yang diciptakan Sen. Menyadari ihwal sejarah bangsa-bangsa yang telah dijajah selama ratusan tahun, maka para pendiri Republik melahirkan NKRI ini dengan paham yang diajarkan oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur." Keseluruhan isi UUD 1945 adalah demi menjaga dan menciptakan NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa paham pembangunan sebagai pemerdekaan tidak berlangsung di Indonesia. Pembahasan untuk menjawab pertanyaan ini tentu memerlukan kajian yang mendalam. Pada tulisan ini, penulis lebih bersifat menyampaikan hipotesis besar yang kiranya dapat diteliti lebih lanjut. Sudut pandang yang digunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah teori Agnotology, yaitu ilmu pengetahuan yang mendalami pertanyaan mengapa hadir budaya tidak peduli atau ignorance(Proctor dan Schiebinger, 2008).
Sebagai ilustrasi, telah diuraikan penulis pada Koran Tempo, 1 Februari 2012, dan majalah Tempo 23-29, 2012 (edisi Inggris), hal yang terabaikan walaupun sudah menjadi pengetahuan yang sifatnya masif adalah guremisasi dan terkuncinya Indonesia pada struktur ekonomi kolonial yang berkelanjutan.
Salah satu permasalahan besar yang penulis pandang sebagai penyebab terabaikannya kedua hal yang sifatnya fundamental tersebut adalah tidak hidup dan berkembangnya nasionalisme serta patriotisme korporasi. Petani dan rakyat kebanyakan sudah menjadi patriot, tapi perusahaan besar malah banyak yang menjadi sebaliknya. Petani padi, misalnya, sudah berhasil melipatgandakan produktivitas hasil padinya dari 2 ton per hektare pada 1960-an menjadi lebih dari 5 ton per hektare 30 tahun kemudian, tapi perusahaan besar tidak beranjak dari menghasilkan komoditas primer dan yang bersifat rent seeker.
"Missing hero", kata Platt, adalah fenomena yang melanggengkan kondisi yang baik untuk individu tapi buruk untuk kondisi sosial, baik untuk hari ini tapi buruk untuk masa depan. Berkelanjutannya situasi tersebut akibat berkelanjutannya perangkap sosial (social trap). Apakah social trap itu tercipta dengan sendirinya atau dibuat pihak lain?
Pelajaran dari agnotology menunjukkan bahwa social trapitu lebih mungkin ada yang membuatnya demi pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan sepanjang sejarah. Trap tersebut bisa dibuat dalam berbagai bentuk, mulai adat kebiasaan, kata-kata yang diciptakan, peraturan perundangan yang bukan membangun tapi malah mengacaukan gerak sosial-budaya masyarakat, hingga berbagai wujud lainnya. Persoalan itu juga berakumulasi sepanjang sejarah kita.
Penulis menyampaikan pendapat bahwa pembangunan ekonomi perlu dilandasi paham pemerdekaan. Paham ini juga yang telah melandasi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar yang sekarang menjadi tulang punggung ekonomi negara-negara maju. Bahkan berdirinya VOC itu sendiri merupakan instrumentasi institusi korporasi yang diproteksi dan dilengkapi kewenangan-kewenangan negara yang juga demi kemakmuran dan kemajuan negara induknya. Morse dan Shive (2003) dalam Patriotism in Your Portfoliomenyimpulkan bahwa lebih banyak negara yang patriotik dan lebih banyak wilayah yang patriotik di Amerika Serikat yang menempatkan ekuitas perusahaannya di luar negeri lebih kecil daripada yang diperolehnya. Tanpa hidup dan berkembangnya paham pemerdekaan yang melahirkan patriotisme ekonomi, tidak akan pernah lahir keunggulan kompetitif dari institusi korporasi kita. ●