Dilema Penyidikan


Dilema Penyidikan
Marulak Pardede, AHLI PENELITI UTAMA BIDANG HUKUM
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM-RI
Sumber : REPUBLIKA, 14 Februari 2012


Tidak kunjung tuntasnya penyelesaian berbagai kasus megakorupsi yang       melibatkan orang orang penting di Republik ini, telah melahirkan skeptisisme di masyarakat mengenai penegakan hukum. Dewasa ini, masalah penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan, pada kenyataannya menimbulkan permasalahan hukum pada tataran implementasinya.

Betapa tidak, dalam kenyataannya, berbagai kasus tindak pidana tidak jelas rimbanya. Hanya berputar-putar dalam proses penyidikan dan penuntutan. Hal ini dapat terjadi karena memang tidak ada batas waktu kapan suatu penyidikan harus segera berakhir.
Masalah batas waktu penyerahan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum ini merupakan masalah yang sangat penting dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Batas waktu ini berguna untuk menjamin hak tersangka dalam penyidikan, menjamin kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan, dan mencegah kewenangan penyidik perkara. 
Namun, oleh mafia hukum, hal ini dianggap celah.

Tak Diatur

Menurut ketentuan Pasal 110 KUHAP, tidak ada batas waktu berapa lama suatu penyidikan berlangsung. Artinya, itu semua tergantung kepada penyidik, apakah penyidikan selesai dalam waktu satu bulan, dua bulan, satu tahun, atau lebih. Demikian juga setelah selesai penyidikan dilakukan, tidak ada batas waktu dalam jangka waktu berapa hari perkara itu harus sudah dilimpahkan kepada penuntut umum. Dalam praktik, tidak adanya batas waktu ini membawa konsekuensi berlarut-larutnya penanganan suatu perkara.

Apabila perkara sudah dilim pah kan kepada penuntut umum, maka ia sudah harus selesai me neliti berkas itu dalam waktu 14 hari karena apabila tidak, konse kuensinya penyidikan dianggap telah cukup dan lengkap. Atau, dalam waktu tujuh hari, penuntut umum sudah harus memberita hukan apakah penyidikan telah cukup atau belum kepada penyi dik. Dan, paling lambat dalam waktu 14 hari, berkas perkara ha rus dikembalikan kepada penyi dik apabila hasil penyidikan dianggap masih kurang lengkap.

Pemberitahuan bahwa hasil pe nyidikan telah lengkap atau de ngan perkataan lain, berkas perkara dan hasil penyidikan diterima dikenal sebagai PK-1. Se dangkan, pengembalian berkas per kara karena hasil penyidikan dianggap kurang lengkap disertai petunjuk dari penuntut umum di kenal dengan PK-3. Kemudian, pengantar untuk PK-3 itu dikenal dengan PK-2.

KUHAP tidak mengatur berapa kali penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara ke pada penyidik (PK-3). Demi kian lah, KUHAP juga tidak meng atur berapa kali penyidik dapat melimpahkan berkas perkara ke pada penuntut umum. Akibatnya, dapat saja berkas perkara itu bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum untuk beberapa kali atau tanpa batas.

Akan tetapi, bolak-balik suatu berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum guna menambah serta menyempurnakan pemeriksaan penyidik, jelas-jelas memperlambat penyelesaian penegakan hukum. Hal seperti ini ber tentangan dengan kepentingan tersangka serta berlawanan de ngan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Kekurangsempurnaan pemeriksaan penyidikan dan pengembalian berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan akan membawa akibat yang kurang baik bagi nama instansi penyidik sendiri. Masyarakat akan menilainya kurang mampu atau cara bekerjanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas oleh pihak penuntut umum kepada penyidik, itu akan memengaruhi kepercayaan masya rakat kepada penyidik.

Belanda menganut asas constante justitie (speedy trial). Sistem ini selaras dengan sistem acara pidana Eropa Kontinental yang hakim memutus karena jabatannya, bersifat tetap, langsung, dan independen. Penggunaan istilah hukum diusahakan bersifat fixed. Pencantuman peradilan cepat (constante justitie) dalam KUHAP sebenarnya merupakan penja baran undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan ha kim) merupakan bagian dari hakhak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.

Sistem peradilan cepat juga berkaitan dengan sistem hubung an antarinstansi, misalnya, antara penyidik dan penuntut umum. Jika perkara mondar-mandir antara penyidik dan penuntut umum, maka jelas merupakan rin tangan terlaksananya peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Oleh karena itu, lebih baik para jaksa diberi wewenang untuk menambah sendiri pemeriksaan untuk mempersingkat proses pidana.

Norwegia menyebut jaksa sudah sebagai semijudge karena dapat menghentikan penuntutan dengan syarat yang disebut potale ummlatese. Di Belanda, 50 persen perkara yang diterima jaksa tidak diteruskan ke pengadilan dengan alasan kurang bukti, perkara digabung dan penggunaan asas oportunitas.

Asas oportunitas di sana dija lankan berbeda dengan di In do nesia di mana hanya jaksa agung yang berwenang menerapkannya. Di Belanda, Jepang, dan wilayah Skandinavia, semua jaksa dapat menerapkan asas ini. Asas oportunitas dengan de mikian jadi ba gi an juga dari peradil an cepat, se derhana, dan biaya ringan.

Berkaitan dengan permasalah an batas waktu penyerahan berkas perkara oleh penyidik ke penuntut umum yang belum diatur dalam KUHAP, maka solusi yang dapat dilakukan, antara lain, mengubah KUHAP dengan memasukkan substansi tentang penentuan batas waktu penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum. Tentu saja, batas waktu ini dilengkapi toleransi waktu yang cukup dengan pertimbangan kendala-kendala riil di lapangan.

Jika ternyata penyidik memproses perkara yang dilaporkan melampaui batas waktu sebagaimana yang ditentukan tersebut, maka pelapor dapat mengajukan tuntutan praperadilan dengan putusan hakim yang isinya memerintahkan penyidik untuk segera menyelesaikan dan mengajukan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini, penyidik tidak mau menerima dan memproses suatu perkara pidana yang dilaporkan oleh masyarakat. Putusan diambil melalui praperadilan yang isinya agar penyidik yang bersangkutan menerima perkara yang dilaporkan dan menindaklanjuti nya sesuai ketentuan.

Sistem Terintegrasi

Meski dalam KUHAP jaksa tidak diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan, namun dalam undang-undang tertentu jaksa diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, antara lain, dalam kasus pelanggaran HAM berat, korupsi, serta pencucian uang. Di berbagai negara, kebijakan kriminal untuk bidang penyidikan dan penuntutan berada di tangan Kejaksaan Agung.

Kejaksaanlah yang pada akhirnya harus menentukan perkara untuk mendapat penilaian tentang kebenaran tindakan hukumnya dalam tahap praajudikasi. Sebaiknya jaksa dilibatkan sejak awal dimulainya penyidikan dan pemberkasan perkara.

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebaiknya diberitahukan kepada jaksa dan diregister oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Laporan polisi sebaiknya online dengan pihak kejaksaan dan lembaga eksternal lainnya, seperti KPK dan Komisi Kejaksaan sehingga dapat dikontrol kinerja dan profesionalitasnya agar asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan berlaku secara operasional dan bukan sekadar wacana. ●

◄ Newer Post Older Post ►