Politik dan Penjara


Politik dan Penjara
Komaruddin Hidayat, REKTOR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH  
Sumber : SINDO, 17Februari 2012



Hubungan antara politik dan penjara itu selalu berdekatan, bahkan berimpitan. Sejarah mencatat, banyak politikus yang pernah tinggal di penjara.Hanya saja, kualitas dan penyebabnya tidak selalu sama.

Dalam pengertiannya yang luas, politikus/politisi adalah mereka yang berjuang memperebutkan kekuasaan dalam struktur pemerintahan untuk mengatur dan menggerakkan mesin birokrasi negara demi memajukan dan menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu pada dasarnya karier politik itu terhormat dan mulia. Jadi, kalau sekarang ini partai politik dan politisi jelek citranya di mata masyarakat, adadua kemungkinan.

Pertama, masyarakat tidak tahu dan tidak menyadari bahwa politisi itu tengah berjuang membela rakyat sehingga sepantasnya rakyat menghargai dan menghormatinya. Kemungkinan kedua, telah terjadi degradasi, penyimpangan dan pembusukan dalam tubuh politik sehingga cita-cita mulia politik telah hilang, dirusak politisi.Ketika politisi tidak lagi secara transparan dan terbukti menyejahterakan rakyat, melainkan hanya sibuk menyejahterakan dirinya saja, maka logis bila rakyat tidak lagi respek.

Cita
-cita mulia politik dibajak oleh nafsu dan naluri primitif para aktornya. Dalam sejarah, banyak politikus yang kemudian tumbuh menjadi negarawan yang akrab dengan penjara karena dianggap mengancam posisi lawannya. Siapa yang tidak tahu Mahatma Gandhi,Nelson Mandela, Ayatullah Khomeini,Soekarno, Hatta,Hamka,Mochtar Lubis, dan masih banyak aktivis politik lain yang pernah tinggal di penjara, tetapi tetap dihormati dan dicintai rakyatnya?

Bagi mereka penjara merupakan simbol keteguhan jiwa dalam membela prinsip kebenaran dan kemerdekaan sekalipun harus dibayar dengan mendekam di kamar tahanan yang sempit dan pengap. Penjara adalah risiko yang mesti dihadapi demi mempertahankan prinsip dan cita-cita luhur perjuangan. Bagi pejuang kemerdekaan seperti Gandhi atau Mandela, penjara justru menjadi penghubung dengan rakyatnya agar terus berjuang, tidak menyerah terhadap penguasa yang merampas martabat dan kedaulatan bangsanya.

Fisiknya bisa saja terkurung di ruang sempit,tetapi jiwa dan pikirannya menyatu dengan rakyat untuk bersama-sama membangun bangsa, melawan kebatilan, seperti halnya yang dilakukan Ayatullah Khomeini yang menggerakkan rakyatnya untuk melawan Shah Reza Pahlewi dari pengasingannya di Prancis.Tembok penjara dan pengasingan tidak mampu memisahkan ikatan batin antara pemimpin dan pendukungnya. Tapi akhir-akhir ini yang berkembang di Indonesia adalah politik, korupsi, dan penjara.

Dulu para politikus berkorban dan berjuang demi membela rakyat, sekarang sebagian aktivis politik sibuk bergerilya mencari celah korupsi mengkhianati amanat dan harapan rakyat. Ironis dan menyedihkan.Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menemukan indikasi korupsinya, mereka beramairamai membuat pernyataan bahwa semua itu fitnah belaka. Maka tampillah wajah-wajah pembela hukum yang berusaha meyakinkan publik bahwa kliennya bersih.

Tugas mulia politisi dan pembela hukum lalu tercoreng oleh mereka yang hanya menjadikan dua profesi tersebut kedok semata untuk mencari keuntungan materi. Tidak hanya tercoreng, tetapi malah tenggelam dan babak belur. Kepercayaan rakyat merosot drastis terhadap politisi dan profesi penegak hukum.

Sekian banyak bupati,wali kota, gubernur, menteri, anggota DPR terbukti terlibat korupsi dan terancam penjara.Rakyat bertanya-tanya, yang tidak atau belum terlibat korupsi itu apakah memang benar-benar bersih ataukah hanya tidak tertangkap saja? Akibat yang muncul,wibawa pemerintah dan politisi jatuh.

Sementara potensi konflik baik secara vertikal maupun horizontal kian merebak sehingga mulai terjadi social disobedience (pembangkangan sosial). Rakyat mudah marah,merusak dan main keroyok, bahkan merusak simbol-simbol negara seperti kantor polisi dan kantor bupati.Kaum buruh pun ramairamai menutup jalan raya agar tuntutannya didengar. Konflik sosial terjadi di mana-mana,politisi jadi bulanbulanan media massa akibat korupsi, sementara pemerintah tidak cukup berwibawa.

Alih-alih mengantarkan lahirnya sosok-sosok negarawan, partai politik dan panggung politik melahirkan banyak koruptor yang mestinya memang tinggal di penjara, bukannya kantor pemerintah yang terhormat. Sekarang semakin sulit menemukan ruang tahanan yang dihuni pejuang politik dan negarawan seperti masa lalu.

Yang ada adalah koruptor, pembunuh,pengedar narkoba, dan sopir mabuk yang jadi algojo di jalan raya. Dulu, banyak politikus sebelum hidup layak tinggal di penjara. Sekarang banyak politikus tinggal di kantor megah dengan fasilitas mewah, lalu ujungnya pindah ke penjara.
◄ Newer Post Older Post ►