Merenungkan Kembali Demokrasi Kita
Satrio Wahono, SOSIOLOG DAN MAGISTER FILSAFAT UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 13 Februari 2012
Melihat berbagai berita media massa sebulan terakhir ini saja membuat kita muak dengan kebobrokan moral di negeri ini.
Mulai dari konflik agraria di Mesuji, persidangan remaja pencuri sandal jepit, tragedi dua remaja yang tewas akibat dugaan penganiayaan oleh polisi yang menginterogasi mereka, hingga deretan kasus suap dan renovasi berjumlah fantastis di DPR. Semua membuat kita mengurut dada dan bertanya: inikah buah dari reformasi dan demokratisasi selama hampir 14 tahun ini?
Kondisi memprihatinkan itu mengundang kita merenungkan kembali demokrasi yang sudah kita jalankan selama ini, demokrasi yang justru melahirkan para ”bandit politik dan hukum” yang kian merajalela.
Belajar dari Sejarah
Ada pemeo, ”demokrasi memang tidak sempurna, tetapi itu adalah sistem terbaik dari yang ada”. Demokrasi seolah-olah menjadi ”agama” karena jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang disalahkan adalah proses dan aktor-aktor demokrasinya, bukan demokrasi itu sendiri.
Sejarah bangsa kita menunjukkan, demokrasi liberal yang pernah kita jalankan pada Orde Lama ternyata memajan kita dengan masalah serupa dengan yang kita hadapi sekarang.
Bung Karno pernah begitu jengkel terhadap ulah partai-partai hingga dia ingin membubarkan partai politik. Dalam pidatonya, ”Marilah Kita Kubur Partai-partai” (1956), Soekarno mengungkapkan kegeramannya karena partai-partai saling sikut. Kebobrokan partai-partai menghasilkan ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara.
Bung Hatta juga jengkel melihat para politisi mempraktikkan ”ultra demokrasi” (”Demokrasi Kita”, Panji Masyarakat, 1960) yang cuma menghasilkan jatuh-bangunnya berbagai kabinet dalam hitungan bulan.
Hanya saja, kedua tokoh itu bersilang jalan soal cara mengatasinya. Apabila Soekarno menggagas Demokrasi Terpimpin sebagai solusi, Hatta memilih pembenahan partai. Solusi pertama terbukti gagal dalam sejarah, sementara solusi kedua sudah kita coba selama 13 tahun ini dan lagi-lagi belum memberi hasil menggembirakan.
Oleh karena itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk menjauh dari solusi ”Hattaian” yang mengedepankan pembenahan alias ”reformasi” di satu sisi. Sebagai gantinya, jangan-jangan bangsa kita memang lebih cocok dengan solusi ”Soekarnoian” yang mengutamakan pentingnya pemimpin kuat. Hanya saja, pelaksanaannya dalam bentuk Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno waktu itu tidak berjalan baik.
Demokrasi Terpimpin
Ismail Suny dalam disertasinya, ”Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” (1963),
mengungkapkan kejengahannya terhadap ketidakstabilan politik akibat pelaksanaan Demokrasi Parlementer. Suny berpendapat, demokrasi liberal telah gagal karena tidak cocok dengan kultur Indonesia.
Menurut Suny, Demokrasi Terpimpin secara ketatanegaraan adalah corak demokrasi terbaik bagi Indonesia, mengamini pemikiran integralistik Supomo yang menekankan kedaulatan sebagai kedaulatan negara bukan kedaulatan rakyat. Negara dianggap memiliki kapasitas sebagai bapak dan pengayom, yang mewujud dalam konsep Demokrasi Terpimpin dengan dipandu seorang Bapak (dan kuat seperti Soekarno). Maka kita paham melalui Suny bahwa kegagalan demokrasi liberal telah menyebabkan pendulum ketatanegaraan condong ke arah eksekutif (executive heavy) dan berlanjut ke era Soeharto hingga 1998.
Setali tiga uang dengan Suny, sosiolog senior Selo Soemardjan dalam ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita” (1961) mengatakan upaya penggantian sistem pemerintahan kolektif seperti dalam demokrasi liberal dengan pemerintahan terpimpin sebenarnya mudah diterima rakyat karena sejarah Indonesia memang lebih banyak dipenuhi oleh raja, sultan, dan penguasa absolut lainnya. Mereka dianggap masyarakat sebagai mediator dengan kosmologi penguasa kehidupan. Jadi, masyarakat memercayakan semua kekuasaan kepada penguasa absolut itu seraya mengharapkan kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan manusia.
Pendek kata, meski tak memungkiri bahwa Demokrasi Terpimpin—solusi ”Soekarnoian”—mencabut hak-hak dasar politik, Soemardjan menyatakan bahwa konsep primus inter pares (orang utama di antara para manusia yang setara kedudukannya) seperti Demokrasi Terpimpin lebih cocok untuk Indonesia.
Akhirul kalam, perjalanan sejarah kita telah memampangkan dua solusi bagi ”penyakit” dalam demokrasi, yang ternyata masih relevan bagi era ”kebanditan dan pembegalan politik” saat ini. Terpulang pada kita untuk tetap bertahan dengan solusi ”Hattaian” atau kita justru perlu memutar haluan menuju penerapan kembali solusi ”Soekarnoian”. Tentu dengan berbagai varian yang relevan. Semoga menjadi permenungan kita bersama yang ingin menyaksikan negara jaya. Tidak berkubang dalam dosa. ●