Kapitalisme Koroner dan Makanan Olahan


Kapitalisme Koroner dan Makanan Olahan
Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY, MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
Sumber : KORAN TEMPO, 16Februari 2012


Kegagalan yang sistematis dan meluas di bidang regulasi merupakan suatu tantangan besar bila kita berbicara mengenai upaya mereformasi kapitalisme Barat saat ini. Ya, banyak hal telah dibahas mengenai tidak sehatnya dinamika politik-regulasi-finansial yang menyebabkan terjadinya serangan jantung ekonomi global pada 2008 (yang saya dan Carmen Reinhart namakan “The Second Great Contraction”). Tapi apakah masalah ini cuma terdapat dalam industri keuangan ataukah ia merupakan contoh dari suatu cacat kapitalisme Barat yang serius?

Lihat saja industri pangan, terutama pengaruhnya terhadap nutrisi dan layanan kesehatan. Kegemukan atau obesitas terus meningkat di seluruh dunia. Walaupun, di antara negara-negara besar, masalah ini mungkin paling parah di Amerika Serikat. Menurut US Centers for Disease Control and Prevention, sekitar sepertiga dari jumlah orang dewasa di AS mengalami obesitas (diindikasikan oleh indeks massa tubuh seseorang di atas 30). Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, lebih dari satu di antara enam orang anak dan remaja menderita obesitas, suatu angka yang telah meningkat tiga kali lipat sejak 1980.

Persoalan yang dihadapi industri pangan telah disoroti dengan tajam oleh para pakar nutrisi dan kesehatan, serta sudah pasti oleh banyak ekonom juga. Dan ada berbagai contoh lainnya, pada berbagai jenis barang dan jasa, di mana kita bisa menemukan persoalan yang serupa. Walaupun demikian, saya ingin berfokus pada kaitan industri pangan dengan masalah yang lebih luas menyangkut kapitalisme masa kini (yang telah memfasilitasi ledakan obesitas di seluruh dunia) dan pada pertanyaan mengapa sistem politik AS tidak menunjukkan perhatian pada persoalan ini (walaupun Ibu Negara Michelle Obama telah melakukan upaya yang penting untuk meningkatkan kesadaran akan persoalan ini).

Obesitas dalam beberapa hal berdampak pada harapan hidup, mulai penyakit jantung sampai beberapa jenis kanker. Obesitas--pasti dalam wujudnya yang menandakan adanya penyakit--bisa berdampak pada mutu kehidupan seseorang. Ongkosnya ditanggung bukan hanya oleh individu bersangkutan, tapi juga oleh masyarakat--secara langsung melalui sistem layanan kesehatan, dan secara tidak langsung dengan menurunnya produktivitas, serta semakin tingginya ongkos transportasi (lebih banyak bahan bakar yang dihabiskan pesawat serta semakin besar ukuran kursi yang diperlukan untuk penumpang dalam pesawat, dan lain-lain.)

Tapi epidemi obesitas ini hampir tidak kelihatan sebagai pembunuh pertumbuhan seseorang. Produk-produk pangan olahan berbasis jagung yang menggunakan banyak aditif kimia terkenal sebagai pendorong utama bertambahnya berat badan. Namun, dari perspektif pertumbuhan yang konvensional, ia merupakan makanan yang hebat. Industri pertanian yang besar dibayar untuk menanam jagung (sering dengan subsidi pemerintah), dan industri pengolahan pangan dibayar untuk menambah berton-ton bahan kimia pada pangan, menciptakan produk yang menimbulkan ketagihan dan dengan demikian susah ditolak. Sementara para ilmuwan dibayar untuk menemukan campuran garam, gula, dan kimia yang tepat untuk memaksimalkan ketagihan makanan instan yang paling baru, perusahan iklan dibayar untuk menjajakannya, dan akhirnya industri layanan kesehatan menangani penyakit yang pasti timbul akibat makanan olahan itu.

Kapitalisme koroner itu fantastis bagi pasar saham, termasuk perusahaan-perusahaan di segala bidang industri bersangkutan. Makanan yang diolah ini juga baik untuk penciptaan lapangan kerja, termasuk lapangan kerja kelas atas di bidang penelitian, iklan, dan layanan kesehatan.

Jadi, siapa yang mau mengeluh? Pasti bukan politikus, yang dipilih kembali dengan bertambahnya lapangan kerja dam naiknya harga saham--dan menerima sumbangan dari semua industri yang berperan dalam produksi makanan olahan ini. Sebenarnya, di AS, politikus yang berani bicara mengenai implikasi yang ditimbulkan makanan olahan terhadap kesehatan, lingkungan, atau kebersinambungan dalam banyak hal bakal kehilangan dukungan sumbangan untuk kampanye pemilihannya.

Benar bahwa kekuatan pasar telah mendorong inovasi, yang pada gilirannya telah mendorong turunnya harga makanan olahan, sementara harga buah-buahan dan sayur-sayuran biasa terus meningkat. Memang adil tampaknya, tapi ia mengabaikan gagalnya pasar dalam hal ini.

Konsumen tidak diberi banyak informasi melalui sekolah, perpustakaan, atau kampanye kesehatan. Sebaliknya, mereka dibanjiri disinformasi lewat iklan. Keadaan ini merisaukan, terutama untuk anak-anak. Dengan tidak adanya sumber daya yang tersedia untuk saluran televisi publik yang berkualitas di sebagian besar negara, anak-anak dikooptasi oleh saluran televisi yang hidup dari pemasang iklan, termasuk pemasang iklan industri pangan.

Di luar disinformasi, produsen tidak punya insentif untuk menginternalkan ongkos yang harus dibayar atas kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Begitu juga, konsumen tidak punya insentif untuk menginternalkan ongkos yang harus dibayar untuk layanan kesehatan akibat makanan pilihan mereka.

Jika satu-satunya masalah yang kita hadapi adalah industri pangan sebagai penyebab penyakit jantung dan industri keuangan sebagai penyebab penyakit ekonomi, hal ini sudah cukup merisaukan. Tapi dinamika patologis regulasi-politik-ekonomi yang merupakan ciri dari industri-industri ini jauh lebih luas. Kita perlu mengembangkan lembaga-lembaga yang baru dan yang lebih baik untuk melindungi kepentingan jangka panjang masyarakat.

Sudah tentu, keseimbangan antara paternalisme dan kedaulatan konsumen sangat tipis sekali. Tapi kita pasti bisa mulai menciptakan keseimbangan yang lebih sehat daripada keseimbangan yang ada sekarang dengan memberikan kepada publik informasi yang jauh lebih baik di segala bidang, sehingga masyarakat bisa mulai melakukan pilihan konsumsi dan keputusan politik berdasarkan informasi yang benar. ●
◄ Newer Post Older Post ►