Jiwa yang Merajut Nusantara


Jiwa yang Merajut Nusantara
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA 
Sumber : SINDO, 16Februari 2012



Bertepatan dengan sukuran 50 tahun yang jatuh pada 11 Februari 2012, saya meluncurkan sebuah buku autobiografi sebagai sebuah bentuk keterbukaan kepada masyarakat luas.

Saya bersyukur buku yang berjudul Jiwa yang Merajut Nusantara tersebut mendapat sambutan hangat. Awalnya saya sama sekali belum memikirkan untuk menulis buku autobiografi. Karena kuatnya dorongan banyak pihak, staf, sahabat, kerabat, dan keluarga, saya menyerah juga untuk menulis buku tersebut. Buku itu mengisahkan banyak hal: tanah kelahiran, budaya masyarakat Minang, pendidikan,latar belakang keluarga, dinamika demokrasi sejak reformasi 1998, kelahiran DPD RI,dan tentu beberapa pemikiran kebangsaan untuk pembangunan.

Negeri Mukjizat

Ide penulisan buku ini sebenarnya berangkat dari pengalaman batin saya yang melihat betapa mukjizatnya Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang mampu menyatukan berbagai perbedaan (suku, ras, dan agama). Awal 2000, ketika saya sebagai anggota MPR Utusan Daerah,pada suatu momen resepsi diplomatik memperingati ulang tahun sebuah negara di Timur Tengah, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang diplomat senior.

Cerita itu sampai sekarang masih terngiang- ngiang di ingatan saya dan membuat saya terdorong untuk menuangkan pengalaman batin tersebut ke dalam buku itu. Diplomat senior itu bercerita bahwa di belahan bumi yang nun jauh di sana, di atas satu hamparan tanah yang luas, hidup satu suku bangsa yang berjumlah ratusan juta jiwa,bahkan mereka berbicara dalam bahasa yang sama dan penganut agama Samawi.

Namun, mereka sering terlibat konflik dan perang.Akibatnya apa? Mereka terpisah dan tercerai berai menjadi puluhan negara.Itulah tanah Arab,yang sekarang terbelah menjadi banyak negara. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang terdiri lebih ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan bahasa dengan latar belakang adat dan budaya serta agama yang berbeda. Tetapi mampu bersatu dalam semangat kebersatuan yang utuh.

Oleh diplomat senior itu, Indonesia dijuluki sebagai sebuah “Negeri Mukjizat”(the miracle nation). Saya teringat juga saat musim semi pada 1988 sewaktu masih menjadi mahasiswa S-2 di Amerika Serikat dan berkesempatan mengunjungi negara-negara Eropa Timur, yang dipisahkan oleh Tembok Berlin. Saat itu Eropa Timur sedang dilanda persoalan besar yakni ketimpangan, krisis ekonomi, dan krisis politik, yang melahirkan kebijakan glasnost (keterbukaan politik) dan perestroika(restrukturisasi ekonomi) serta perubahan dan demokratisasi.

Kenyataannya, kebijakan itulah yang menyebabkan runtuhnya imperium Uni Soviet yang terpecahbelah menjadi 16 negara baru. Disusul pula bubarnya negara Yugoslavia yang menjadi enam negara baru,atau yang dikenal dengan Balkanisasi. Sebenarnya bangsa kita nyaris punya pengalaman yang hampir sama akibat ketidakadilan, ketimpangan antarwilayah, kesenjangan ekonomi yang melahirkan gerakan reformasi 1998.

Namun, kita patut bersyukur tidak sampai menggoyahkan sendi-sendi dan pilar kehidupan bangsa dan negara. Inilah yang merupakan sebuah kemukjizatan di mana perbedaan dan keberagaman yang bagi bangsa lain menjadi sumber perpecahan, ternyata bagi bangsa kita adalah perekat persatuan.

Ikatan Kebangsaan

Kenapa Indonesia sebagai bangsa yang beragam multietnis dan agama bisa bertahan dan kokoh dari badai kehancuran seperti dua cerita pengalaman batin saya di atas? Ternyata kuncinya ada pada ikatan kebangsaan yang kuat. Dengan segala keragamannya, Indonesia memiliki modal spiritual, kultural, sosial, dan kesejarahan untuk bisa bersatu seperti dilukiskan secara tepat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah bangsa kita mengajarkan, keberagaman tidak mesti mengarah pada perpecahan dan permusuhan,tapi sebaliknya, bisa melahirkan kekuatan persatuan dan peradaban. Sejauh kita masih berpegang teguh pada semangat dasar dan karakter yang menghidupi bangsa ini yakni “gotong-royong”. Seperti dikemukakan oleh Bung Karno, “Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.

Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Dengan kata lain, gotongroyong memijarkan semangat kebersamaan,kerja sama, dan silaturahmi, yang tidak mengenal sekat-sekat perbedaan pandangan politik, ideologi, maupun agama,serta tidak pula dibatasi oleh keberagaman latar belakang suku, adat, dan budaya maupun perbedaan generasi. Semangat “gotongroyong” juga berarti semangat menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, suku, agama,maupun aliran politik.

Tantangan

Meskipun kita adalah negeri mukjizat, kita tentu tidak bisa lepas dari banyaknya persoalan. Negara-bangsa bukan sekadar imajinasi, melainkan harus hadir dalam kenyataan hidup setiap anak bangsa.Kita tentu apresiasi, selama satu dekade setelah reformasi, sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai.Kendati demikian, kita tentu tidak boleh menutup mata atas berbagai persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa kita dewasa ini.

Dalam konteks itulah, ke depan kita memerlukan penguatan demokrasi agar demokrasi yang sekarang sedang dibangun tidak terjebak hanya pada aspek-aspek prosedural. Kita butuh demokrasi yang substantif yang fokusnya adalah kesejahteraan, keadilan, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Melalui demokrasi yang substantif inilah, Nusantara yang luas ini bisa kita rajut dalam bingkai kebersamaan. Inilah yang menjadi impian saya untuk negeri mukjizat ini seperti yang tertuang dalam buku autobiografi Jiwa yang Merajut Nusantara.
◄ Newer Post Older Post ►