Penguasa (yang) Tak Acuh (118)



Penguasa (yang) Tak Acuh
Farid Muttaqin, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR DEPARTEMEN ANTROPOLOGI, BINGHAMTON UNIVERSITY STATE UNIVERSITY OF NEW YORK, AS
Sumber : KOMPAS, 15Februari 2012


Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menjadi tokoh sentral dan amat dominan dalam membangun dan menerapkan berbagai strategi politik. Lalu, lahir apa yang tenar disebut sebagai the silent majority, mayoritas (tetapi) diam.

Mereka sebagian besar, bahkan terbesar, rakyat Indonesia yang tak memiliki kemampuan berekspresi, mengungkapkan suara, serta keinginan atas negara terhadap pemerintah dan penguasa. Opresi negara (state’s oppression) yang dilakukan penguasa Orde Baru membuat rakyat negeri ini memilih diam daripada mempertaruhkan hidup jika mengekspresikan suara politik.

Lalu, kebobrokan di berbagai bidang selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru itu seperti sebuah kenormalan yang wajar, yang tak perlu mendapat reaksi selain dengan diam. Bahayanya, hampir semua orang, terutama yang punya pengalaman langsung hidup di bawah kepemimpinan Soeharto, tahu betapa banyak ketidakadilan dan kekerasan terjadi saat itu.

Era the silent majority sudah lewat. Ia secara ”alami” jadi usang dan karenanya menuntut perubahan. Artinya, gerakan reformasi pada 1998 sebenarnya bukan hanya reaksi dan respons politik atas kebobrokan akibat represi, opresi, dan totaliterianisme Orde Baru.

Gerakan itu merupakan reaksi ”alamiah” atas kebosanan dan ”hidup dalam keusangan” ala situasi akibat the silent majority yang tak dinamis dan tak berwarna. Gerakan reformasi yang ditandai gelombang deras suara publik menjadikan negara ini penuh kegaduhan, mengganti the silent majority menjadi the noisy majority, mayoritas yang berisik.

Situasinya tentu berbeda ekstrem. Jika yang pertama hanya berisi suara Presiden Soeharto, baik langsung maupun lewat para menteri dan kaki-tangannya yang lain, di era ini, koran, televisi, forum diskusi, seminar, internet, dan ruang komunikasi publik lain—termasuk kendaraan umum—hampir tak pernah sepi dari suara gaduh massa itu selama 24 jam. Talk show yang secara harfiah berarti ”pentas omongan” jadi acara paling sering ditayangkan di televisi kita, menandai dengan jelas era the noisy majority itu.

Apakah situasi yang tercipta lebih baik?

Seharusnya, era ”mayoritas yang berisik” ini dapat mengubah kondisi kekuasaan totaliter semacam Orde Baru menjadi kekuasaan yang lebih menggantungkan diri pada suara publik. Tidak hanya untuk mengontrol agar tidak jadi kekuasaan represif dan totaliter, tetapi juga untuk membuat program-program pembangunan yang lebih kreatif, inovatif, serta tentu saja partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan publik. Namun, hal ini tidak menjadi kenyataan di era the noisy majority sekarang ini.

Sikap Abai

Indonesia pasca-Soeharto menjadi negara dengan kebebasan berekspresi paling besar di dunia. Setiap warga bisa mengungkapkan pikiran, bahkan paling kritis atau paling ”kasar” sekalipun terhadap penguasa, tanpa khawatir akan ”digebuk” atau ”dilibas”.

Sekali lagi, apakah hal ini membuat kondisi menjadi lebih baik, dalam arti (penguasa) negara menjadi lebih berkenan mendengar serta mempelajari dan belajar dari suara rakyat nan gaduh itu? Ternyata tidak!

Sering sekali saya ditanya kolega dari beberapa negara sahabat tentang perkembangan kondisi kenegaraan di Indonesia. Saya hanya menjawab, ”Di Indonesia rakyat bebas bicara, diberi hak berekspresi tanpa batas, bahkan termasuk ungkapan yang sebenarnya ”menghina” kekuasaan, tetapi para penguasa juga merasa punya hak untuk mengabaikan suara-suara itu.”

The noisy majority ditanggapi sederhana dengan apa yang disebut the silent authority. Suatu sikap abai, tak acuh, dan tak menganggap penting suara-suara yang ramai diungkapan rakyat. Apalagi, untuk menjadikannya pertimbangan bagi keputusan dan kebijakan pembangunan.

Penguasa yang diam, abai, dan tak acuh ini tentu tak hanya merugikan dari segi kebijakan yang tidak responsif terhadap kepentingan publik. Sikap tak acuh ini justru mengancam fondasi kenegaraan, terutama ketertiban hukum, politik, dan sosial.

Tanda-tandanya sudah kian jelas: kekerasan massal semakin sering terjadi, pemerkosaan dan pelecehan seksual di tempat terbuka terjadi berulang, korupsi seperti terus melahirkan generasi baru. Di sana sama sekali tak terlihat rasa takut atau rasa hormat kepada hukum dan institusi negara yang merupakan salah satu fondasi utama bernegara. 

Jika ini terus terjadi, bisa dibayangkan akhir tragis negeri ini. Kita perlu sesegera mungkin melakukan langkah-langkah serius untuk mengubah kondisi the silent authority menjadi the responsive authority dan tidak menunggu rasa bosan memuncak. Sebab, perubahan akibat rasa bosan sering tak berujung pada kondisi yang lebih baik, seperti kita rasakan pada pengalaman gerakan reformasi. ●

◄ Newer Post Older Post ►