Terjepit di Antara Komunitas dan Kebebasan


Terjepit di Antara Komunitas dan Kebebasan
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 13 Februari 2012


Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.

Terdapat ketegangan yang terus-menerus terjadi antara dua hal berikut ini: komunitas dan kebebasan. Setiap komunitas biasanya tegak berdiri atas sekumpulan nilai dan norma yang mengikat anggota-anggotanya. Tanpa norma itu, komunitas tersebut tentu akan bubar. Tetapi, karena komunitas selalu berada bersama dengan komunitas-komunitas yang lain, dalam keadaan dan situasi sosial yang juga terus berubah, maka komunitas bersangkutan juga kudu sanggup melakukan perubahan, termasuk pada level norma yang ia ikuti.

Manakala komunitas itu gagal melakukan perubahan seperlunya, biasanya akan muncul sejumlah individu dari dalam dirinya yang melakukan “oto-kritik” atas norma yang sudah dianggap kurang relevan itu. Di sinilah, kita berjumpa dengan dilema antara kebebasan dan komunitas. Di manapun, komunitas biasanya tak suka pada individu-individu dalam “rahim”-nya sendiri yang melalukan kritik internal. Sebisa mungkin para tetua yang menjaga keutuhan komunitas tersebut akan berusaha untuk membungkam suara individu itu.

Sebaliknya, individu tersebut tentu akan melakukan segala daya upaya untuk melawan pembungkaman itu. Dia akan menuntut kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya. Sementara pihak-komunitas akan membalas balik tuntutan kebebasan itu dengan menekankan pentingnya menjaga keutuhan komunitas, meskipun harus dengan mengorbankan kebebasan individual.

Dilema semacam ini akan kita jumpai dalam masyarakat manapun, dan dalam lingkungan agama manapun juga. Para pengkaji sejarah pemikiran teologi biasa menyebut hal ini sebagai hubungan-penuh-tegang antara dua kutub: kutub ortodoksi yang biasanya menjaga norma komunitas yang dianggap benar, dan kutub heterodoksi, yakni suara lain yang menentang ortodoksi.

Saya, secara pribadi, mempunyai simpati pada dua kutub itu sekaligus, meskipun pada akhirnya saya lebih mencintai kebebasan individual. Saya menaruh simpati pada komunitas manapun, dan dari agama manapun, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga norma, tradisi dan identitasnya agar tak lebur dalam “panci mayoritas”. Kita semua tahu, komunitas yang kebetulan berada dalam posisi mayoritas akan cenderung memaksa semua komunitas lain yang kecil untuk menceburkan diri dalam “panci peleburan” (melting pot). Sebaliknya, komunitas-komunitas kecil itu sudah pasti akan melakukan perlawanan terhadap pemaksaan semacam itu.

Apa yang kita saksikan di Palangkaraya saat masyarakat Adat Kalimantan Tengah menolak kedatangan tokoh-tokoh FPI (Front Pembela Islam) dari Jakarta pada Sabtu (11/2/2012) kemarin adalah contoh saja dari penolakan minoritas atas pemaksaan kultural semacam itu. FPI tentu hanya simbol saja yang mewakili kekuatan komunitas besar, dalam hal ini Islam (dengan corak tertentu, tentunya), yang hendak memaksakan gaya hidup tertentu pada masyarakat adat.

Tetapi, hal serupa juga dialami oleh masyarakat Muslim di Eropa. Dalam makalahnya yang diterbitkan oleh ISIM, Amsterdam, beberapa tahun lalu, Bikhu Parekh, seorang political theorist terkemuka dari Inggris saat ini, melontarkan kritik terhadap regim sekular-liberal yang berlaku di masyarakat di Eropa yang cenderung “dismissive” atau meremehkan identitas-identitas khusus seperti agama.

Parekh berpandangan bahwa sikap myopik atau buta terhadap agama dalam masyarakat Eropa itu harus dikritik. Regim liberal-sekular di Eropa, menurut dia, haruslah mampu mengakomodasi agama dalam dirinya. Meskipun, pada saat yang sama, Parekh juga menekankan bahwa tindakan dari pihak Muslim sendiri untuk mengapresiasi tradisi liberal-sekular di Barat juga penting. Multikulturalisme, bagi Parekh, bukan relativisme kultural, seperti dikemukakan para pengkritik kebijakan itu selama ini di Eropa; tetapi dialog dua arah antara tradisi liberal-sekular dan identitas-identitas relijius. (Baca Bikhu Parekh, “European Liberalism and ‘The Muslim Question’”, ISIM Paper 9, 2008).

Jika di Indonesia, sejumlah masyarakat adat mencoba melawan untuk tidak lebur di dalam panci peleburan yang dibentuk oleh identitas komunitas besar, yakni umat Islam, maka di Eropa sebaliknya: masyarakat Muslimlah yang berusaha untuk melawan terhadap panci peleburan yang berbasis pada budaya liberal-sekular.

Dalam dua kasus itu, simpati saya ada pada dua kelompok tersebut—baik dalam kasus masyarakat adat di Indonesia, atau komunitas Muslim di Eropa. Saya menaruh simpati kepada dua komunitas itu, karena mereka memang memiliki hak untuk menjaga agar identitasnya tetap utuh dan dapat mereka wariskan kepada generasi kemudian.

Akan tetapi, ada sisi lain yang tak boleh dilupakan di sini. Baik dalam masyarakat adat tersebut, atau komunita Islam di Eropa, suatu kemungkinan berikut ini bukan mustahil akan terjadi: yakni, komunitas bersangkutan memaksakan norma dan gaya hidup tertentu kepada individu yang menjadi anggotanya.
 
Contoh vulgar dari pemaksaan semacam ini adalan tradisi honor killing (pembunuhan kerabat sendiri untuk menjaga kehormatan keluarga) yang ada pada komunitas Muslim imgran tertentu di Kanada dan Eropa. Kasus honor killing terakhir yang ramai diberitakan media adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Muhammad Shafia, seorang warga asal Afghanistan yang berimigrasi ke Ontario, Kanada, terhadap tiga puterinya dan isteri keduanya. Kasus ini baru saja diadili dan diputus oleh Pengadilan Ontario pada 30/1/2012 lalu.

Dalam kasus pembunuhan semacam ini, pola yang terjadi selalu berulang dari satu kasus ke kasus yang lain: konflik antara keluarga tradisional yang tinggal di masyarakat Barat yang sekular, dengan anak-anaknya yang mulai menyerap gaya-hidup masyarakat modern di sekitarnya. Pihak keluarga merasa bahwa tindakan semacam ini menyinggung kehormatan keluarga. Tindakan ekstrim muncul di sini: meng-eliminasi sama sekali individu yang melakukan penyelewengan semacam itu.

Dalam situasi semacam ini, jelas, simpati saya adalah untuk generasi baru yang mencoba gaya hidup baru karena tuntutan lingkungan yang berubah. Saya tak bisa membela pihak komunitas yang mencoba memaksakan norma tertentu pada anggotanya dalam situasi semacam itu, apalagi dengan cara keji seperti honor killing itu.

Dalam situasi yang pertama (kasus masyarakat Adat di Indonesia dan minoritas Muslim di Eropa), pihak komunitas berada dalam ancaman koersi atau pemaksaan yang berasal dari regim liberal-sekular. Dalam situasi kedua, pihak komunitas itulah yang melakukan koersi. Sesuai dengan prinsip liberal yang saya anut, saya berpihak kepada pihak yang kebetulan menjadi korban dari koersi, entah itu komunitas atau individu. ●

◄ Newer Post Older Post ►