Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria


Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria
Sidik Suhada, KETUA DPN REPDEM BIDANG PENGGALANGAN TANI,
AKTIVIS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
Sumber : SINAR HARAPAN, 13Februari 2012



Kasus traffickingatau perdagangan manusia kembali merebak di berbagai daerah. Baru-baru ini, Kepolisan Daerah Kalimantan Barat membongkar sindikat perdagangan perempuan di bawah umur yang akan dijadikan pemuas nafsu lelaki hidung belang di sejumlah hotel berbintang di Pontianak (Sinar Harapan, 9 Februari 2012).
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya juga berhasil membongkar kasus perdagangan manusia dengan korban delapan orang perempuan (Antara,27 Desember 2011).

Maraknya kasus traffickingjuga dapat dilihat dari data International Organization for Migration (IOM) yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal korban perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011 lalu, sedikitnya tercatat ada 3.909 korban perdagangan manusia dan sebagian besar korbanya kaum perempuan.

Kasus perdagangan perempuan semacam ini sebenarnya bukan hal baru yang ada di muka bumi ini. Modus operandinya beragam. Pertama, bisa menggunakan kedok PJTKI atau lembaga penyalur tenaga kerja.

Modus operandi yang kerap dilakukan lembaga ini juga beragam, mulai dari pemalsuan dokumen-dokumen seperti KTP, ijasah, akta kelahiran, dan surat izin orangtua atau yang berhak. Jadi sering kali identitas korban trafficking yang terbongkar tidak sama dengan alamat aslinya.

Modus operandi kedua, biasanya para penyalur tenaga kerja tidak menjelaskan isi perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja. Lebih parahnya lagi, para korban trafficking ini kerap dijual sebagai pemuas nafsu seksual di tempat-tempat hiburan. Mereka bukannya ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan pada awalnya.

Apapun kedok dan modus operandinya yang dipakai, lazimnya bermuatan iming-iming kerja enak, gaji besar, dan masa depan cerah. Pendek kata, semua hanya berupa embusan angin surga yang bermuatan penipuan.

Namun, dalam kasus ini tentu bukan kategori tindak pidana umum (pidum). Ini melainkan sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disejajarkan dengan tindak kejahatan korupsi dan terorisme.

Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, sudah sepatutnya sanksi hukum pelaku tindak pidana traffickingpun harus “luar biasa”, dalam arti hukuman terberat: pidana mati!

Akar Masalah

Selain memberikan hukuman berat pada pelaku tindak trafficking yang sering kali melibatkan lintas negara dan benua ini, pemerintah juga harus menyelesaikan akar permasalahan terjadinya trafficking.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dan bersifat mendasar. Pertama, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat (kemiskinan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan hingga September 2011 mencapai 12,36 persen atau sekitar 29,89 juta orang.

Dari sekian banyak jumlah kemiskinan yang ada itu, sebanyak 10,95 juta orang tinggal di perkotaan. Sisanya, sebanyak 18,94 juta orang tinggal di daerah perdesaan dan berprofesi sebagai buruh tani serta petani berlahan sempit.

Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan ini disebabkan adanya ketimpangan hak atas kepemilikan tanah.

Ketimpangan kepemilikan tanah ini setidaknya dapat dilihat dari data BPN-RI yang menyebutkan, sekitar 56 persen tanah di seluruh Indonesia saat ini hanya dikuasai sekitar 0,2 persen orang saja. Di sisi lain, sekitar 85 persen petani Indonesia adalah petani gurem dan tidak memiliki tanah alias buruh tani.

Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan juga dapat dilihat dari fakta desa tertinggal yang ada. Dari 65.554 desa yang ada di Indonesia, 51.000 desa masih berstatus desa tertinggal. Sebanyak 20.633 desa di antaranya adalah desa miskin dan terbelakang.

Kedua, tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan juga menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Agustus 2011 lalu, BPS mencatat sebayak 6,56 persen usia produktif berstatus sebagai penganggur terbuka. Banyaknya jumlah penganggur di usia produktif ini sebenarnya dapat diatasi apabila ada pemerataan hak atas penguasan tanah.

Pembaruan Agraria

Untuk dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus berani mencabut akar pokok dari masalah itu. Yakni, merombak total struktur kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan.

Ini karena ketimpangan kepemilikan tanah itulah sumber persoalan yang sebenarnya yang melahirkan kemiskinan, pengangguran, dan maraknya korban trafficking hingga hari ini.

Untuk dapat merombak itu, tentu tak ada cara lain selain menjalankan pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960. Hanya dengan jalan pembaruan agraria, pemerataan ekonomi yang berbasis pembangunan perdesaan berkelanjutan dapat dijalankan.

Bagi bangsa Indonesia, gagasan pembaruan agraria atau land reform sebenarnya juga bukan sesuatu hal baru. Ini karena sejak muda, Presiden RI pertama Soekarno sudah menyebutkan soal agraria dalam tulisannya pada 1933 dan menyinggung tentang buku “Die Agrarfrage” sebagai persoalan kaum tani.

Setelah Indonesia Merdeka, melalui pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960, secara tegas Bung Karno pun mengatakan bahwa, “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.

Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”

Meminjam kalimat Bung Karno itu, jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkehendak ingin mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, namun tidak mau melaksanakan pembaruan agraria sejati sebagaimana amanat UUPA No 5 Tahun 1960, tentu dapat disebut sebagai “gembar-gembornya” tukang penjual obat yang tidak bermakna apa-apa.

Hanya dengan jalan pembaruan agraria sejati, pemerataan pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan dapat diatasi. ●
◄ Newer Post Older Post ►