Basic Instinct ala Angie


Basic Instinct ala Angie
Ismatillah A. Nu’ad, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN
UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 16Februari 2012



COMMUNICATIVE act must always be attached to various relationships with the world. Kiranya, sitiran dari Jurgen Habermas itu cocok untuk menelaah kesaksian Angelina Sondakh di pengadilan tipikor kemarin (15/2) dalam kasus M. Nazaruddin. Angie -panggilan Angelina Sondakh- membantah habis-habisan perihal tuduhan percakapannya dengan Mindo Rosalina Manulang via BlackBerry Messenger (BBM).

Tindakan komunikasi seharusnya paralel dengan fakta-fakta yang ada. Namun, Angie tak melakukan hal yang sama. Padahal, sebelumnya, Mindo Rosalina mengakui percakapannya via BBM dengan Angie dalam sidang kasus yang sama. Dari Rosa, terbongkar istilah-istilah seperti apel Washington dan apel Malang untuk ''bos besar'' atau ''ketua besar''.

Dalam teori kriminalitas, si pelaku memang tak akan mungkin mengutarakan kejujuran perihal tindakan kejahatan yang telah diperbuatnya. Dia akan berupaya menutupi setiap celah kejahatan yang pernah dilakukan supaya tidak bocor. Karena itu, untuk menekan supaya si pelaku mengakui hasil kejahatannya, biasanya dalam teori kepolisian atau intelijen, melakukan interogasi selayaknya dalam film Basic Instinct. Orang yang dicurigai sebagai pelaku akan dimasukkan dalam sebuah ruangan tertutup. Hanya ada para interogator dan calon tersangka untuk menekan supaya dia mengakui kejahatannya. Tentu, interogasi dilakukan berdasar bukti-bukti yang sudah ada.

Sayangnya, kesaksian Angie dalam sidang tipikor memang tidak selayaknya diinterogasi di ruangan tertutup di kepolisian atau lembaga intelijen, yakni hanya ada para interogator di dalamnya. Karena itu, kesaksian semacam itu sangat rentan adanya kebohongan. Terlebih, dalam kasus Angie, pihak-pihak yang terkait adalah tokoh-tokoh sentral di pucuk pimpinan partai berkuasa, Partai Demokrat. Akan sangat sulit kasus semacam itu terbongkar secara telanjang dan kasatmata, terlebih ditayangkan secara langsung di layar televisi.

Ketua KPK Abraham Samad ketika ditanya perihal bantahan Angie bahkan secara terang-terangan menyatakan, jika penjahat mengakui kebohongannya, niscaya penjara akan penuh. KPK mungkin sudah mengantisipasi akan adanya kebohongan dalam sidang Angie. Tak mungkin mereka melimpahkan berkas Angie ke pengadilan tipikor dan menegaskan keterlibatannya sehingga menjadi tersangka baru dalam kasus Nazaruddin tanpa bukti kuat.

Selama ini, kasus Nazaruddin memang menarik perhatian publik sedemikian rupa. Sebab, kasus tersebut sebetulnya mempertaruhkan eksistensi partai berkuasa, apakah akan langgeng atau hancur dalam Pemilu 2014. Kesaksian Angie sebetulnya menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus wisma atlet dan Hambalang yang di situ Nazaruddin menjadi pemicu utamanya. Kejujuran Angie memang masih ditunggu publik. Boleh saja dia berbohong, tohbukti akan lebih berbicara dalam kasus-kasus hukum.

Semestinya, Angie membuka seluas-luasnya kasus Nazaruddin ke publik sehingga publik akan menaruh simpati kepada dia. Seharusnya ada korelasi yang sepadan karena Angie merupakan mantan Putri Indonesia -yang digambarkan sebagai sosok cantik, pintar, dan tentu seharusnya juga jujur. Kejujuran semestinya tak boleh dipisahkan dari sosoknya sebagai mantan Putri Indonesia. Harus berjalan seiring seirama.

Sebab, publik boleh saja nanti melekatkan predikat kepada Angie sebagai ''Putri Kebohongan'', menyusul predikat yang sama telah diberikan kepada Andi Nurpati dalam kasus pemalsuan putusan KPU dalam kasus pilkada Sulawesi Selatan. Dari sesosok paras wajah yang cantik dan ''innocent'', sangat disayangkan jika Angie akhirnya tak membuka kasus Nazaruddin secara terang benderang.

Memang, sangat sulit bagi si pelaku untuk menyatakan kejujuran, sehingga sering harus berbohong. ''Teologi kebohongan'' dimaksudkan untuk menutupi fakta yang terjadi sembari berupaya memperkecil nestapa pada dirinya. Tapi, seperti peribahasa, sepandai-pandai bangkai ditutupi, toh akan tercium jua baunya. Sebab, kita percaya, kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam. Kebohongan sulit dipertahankan karena harus konsisten ''mengarang''.

Untuk menepis bahwa kita bukan pembohong, jangan dibalas dengan kata-kata karena orang sudah tak percaya dengan omongan pembohong. Karena itu, tepislah dengan aksi nyata. Buktikan bahwa kita tak berbohong. Seperti teori komunikasi Jurgen Habermas (1954), ada paralelitas yang sesungguhnya harus dilakukan antara komunikasi yang ada dengan perbuatan dan aksi nyata. Ucapan komunikatif harus selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia.

Seseorang dikatakan telah berbohong karena tak ada paralelitas antara komunikasi yang ada dengan aksi nyata. Karena itu, mudah saja, supaya tak dikatakan sebagai pembohong, kita harus membuktikan secara nyata apa yang pernah kita ucapkan atau komunikasikan. Sebab, proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah juga konfirmasi (pembuktian). Pembuktian meliputi korelasi ucapan dengan dunia nyata secara objektif.

Selama ini, bukti-bukti telah menyudutkan keterlibatan hubungan yang dekat dan akrab antara Angie dan Mindo Rosalina, entah melalui komunikasi BBM atau bukti lain. Melalui kesaksian Angie itu, jelas bahwa dia telah mendapat tekanan politik, sehingga terpaksa ''berbohong'' atau tak mengakui kedekatannya dengan Rosa.

Satu hal yang semestinya diperhatikan, jika memang Angie telah melakukan upaya ''pembohongan'', hukum pun tidak akan buta. Kelak jika dia benar-benar terjerat, hukumannya pun boleh jadi bisa bertambah berat karena telah menghalangi penegakan keadilan.

Namun, kita masih tetap memiliki asa. Melihat paras cantik sang mantan Putri Indonesia, moralitas Angie pun dituntut untuk cantik. Layak kita mendambakan gelar mantan Putri Indonesia memiliki paralelitas positif yang berguna serta berharga bagi republik ini. Tidak sebaliknya, malah mengembangkan ''basic instinct'' yang patut diduga berbohong, sehingga keanggunan predikat Putri Indonesia hilang. ●
◄ Newer Post Older Post ►