Karya Ilmiah dan Mafia Gelar


Karya Ilmiah dan Mafia Gelar
Jusman Dalle, LEADERSHIP ISSUES RESEARCHER JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UMI MAKASSAR; PENGURUS PUSAT KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA (KAMMI)
Sumber : JAWA POS, 13Februari 2012


SCIENTIAest potentia. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan, kata Francis Bacon (1561-1626). Filsuf dan politikus Inggris ini tidak mengatakan kekuatan itu ada pada gelar, tapi ada pada ilmu pengetahuan. Knowledge is power tersebut relevan untuk menjadi renungan kita yang hari-hari ini berpolemik soal putusan Kemendikbud terkait kewajiban menerbitkan karya pada jurnal ilmiah sebagai syarat untuk lulus S-1, S-2, ataupun S-3.

Penolakan atas putusan yang ditandatangani Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso itu, baik oleh tokoh maupun yang mengatasnamakan institusi, adalah sketsa buram terhadap fobia hidup tanpa gelar. Padahal, semat gelar belum tentu linier dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki.

Padahal, tidak ada yang salah dengan kewajiban menerbitkan karya pada jurnal ilmiah sebagaimana tiga poin yang menjadi syarat lulus. Pertama, untuk lulus program sarjana, mahasiswa harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, untuk lulus program magister, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Ketiga, untuk lulus program doktor, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Keputusan tersebut justru akan meningkatkan kapasitas keilmuan dan kualitas serta kekuatan bangsa karena menstimulus insan-insan akademik untuk melakukan eksplorasi lebih terhadap gagasan-gagasannya. Jika pun merasa terpaksa, ada upaya membangkitkan kultur membaca, menulis, riset, ataupun diskusi.

Menurut Edison Munaf (2011), pada 2010, total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel; jauh dibandingkan Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti kita juga sangat rendah. Itu hanya mencapai 7,9 artikel per sejuta penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang menghasilkan 2.581 artikel, diikuti Malaysia (300), Thailand (201), Pakistan (39), Vietnam (20,9), Bangladesh (10,7), serta Filipina (9,2).  Padahal, jumlah mahasiswa, baik pada tingkat S-1, S-2, maupun S-3, kian tahun kian besar, yaitu 4,8 juta menurut Mendikbud Muhammad Nuh.

Dalam catatan LIPI, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000; hanya 4.000 jurnal yang terbit rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi (kompas.com). Dengan mensyaratkan penerbitan karya ilmiah sebagai syarat lulus dari universitas, jurnal-jurnal dan budaya ilmiah bisa kita harapkan bangkit.

Diakui atau tidak, gelar akademik yang mestinya "sakral" kini menjadi komoditas. Baik oleh pegawai yang ingin naik jabatan kemudian secepat kilat mengejar gelar maupun oleh politisi. Peraturan di instansi (pemerintah maupun swasta) sering kali mensyaratkan gelar untuk posisi tertentu. Hal ini membuka celah "pelacuran intelektual" obral gelar.

Pun, kini banyak politikus yang tiba-tiba memiliki jejeran gelar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Siapa tahu mereka ''membeli" gelar untuk kepentingan politik. Misalnya, menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Juga sekadar untuk gagah-gagahan agar terkesan intelek dan layak jual dalam pasar politik yang kian kompetitif dan kompleks.

Gelar instan tersebut tentu tetap melalui prosedur. Tetapi, prosedurnya telah dilicinkan dengan fulus; diperoleh dari perguruan tinggi swasta karena aturannya fleksibel. Mutu "industri gelar" itu sulit dipertanggungjawabkan di depan publik.

Bila aturan baru itu berlaku, konsekuensi atas pertanggungajawaban integritas gelar sebagai output menempuh pendidikan tidak hanya dipikul perguruan tinggi yang bersangkutan. Dikti atau LIPI sebagai lembaga yang mengakreditasi suatu jurnal, lembaga pengelola jurnal yang menerbitkan karya sang penulis, wajib ikut memberikan solusi. Dampaknya akan positif bagi kita semua. Pembuktian lewat karya ilmiah itu juga menjadi kontribusi para penyandang gelar sarjana, magister, ataupun doktor kepada dunia akademik dan masyarakat secara umum.

Kita harus tetap objektif bahwa tidak semua universitas memiliki infrastruktur yang mendukung untuk memberlakukan edaran Dikti tersebut. Tidak semua universitas memiliki jurnal ilmiah cetak. Maka, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemberlakuan secara bertahap dan fleksibel. Misalnya, membolehkan diterbitkan secara online (Mendiknas di Jawa Poskemarin) atau diterbitkan di media lain seperti majalah atau diringkas dalam bentuk artikel, namun tetap relevan dengan karya tersebut. Aturan fleksibel mengenai bentuk jurnal itu sekaligus menjawab keresahan akan terbatasnya jurnal cetak yang ada. ●

◄ Newer Post Older Post ►