Perubahan Konstitusi


Perubahan Konstitusi
Janedjri M Gaffar, SEKRETARIS JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Sumber : SINDO, 16Februari 2012



Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar pada awal reformasi.Perubahan UUD 1945 pada era reformasi memang belum cukup lama dilakukan,namun sudah ada pendapat yang memandang perubahan perlu dilakukan kembali.

Pendapat tersebut merupakan hal yang wajar karena sebagai hasil karya manusia tentu tidak lepas dari kelemahan atau kekurangan baik yang terjadi karena ketidaksempurnaan manusia itu sendiri maupun sebagai konsekuensi dari sistem yang dipilih. Selain itu, perubahan konstitusi juga menjadi kewajaran karena masyarakat memang senantiasa berkembang.

Ketika teks konstitusi dan konteksnya tidak lagi mampu mewadahi perkembangan masyarakat, perubahan pun diperlukan. Dari sisi politik, konstitusi merupakan resultan dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi pada saat pembentukan nya. Pada saat berbagai kekuatan itu mengalami perubahan besar, tentu dapat mendorong adanya perubahan konstitusi yang mengatur tatanan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan ini dapat terjadi, baik secara formal maupun melalui putusan hakim dan kebiasaan ketatanegaraan. Perubahan formal adalah perubahan terhadap teks konstitusi dengan prosedur yang diatur di dalam konstitusi itu sendiri.

Konstitusi Rigid

Konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land) tentu diharapkan berlaku dalam jangka waktu panjang dan tidak mudah usang dihadapkan dengan perkembangan masyarakat. Karena itu, mayoritas konstitusi negara di dunia bersifat kaku atau rigid, yaitu tidak mudah diubah. Konstitusi mengatur cara perubahan konstitusi melalui berbagai mekanisme khusus yang berbeda dengan perubahan undang-undang biasa.

Ketentuan cara perubahan yang lebih sulit dari pembentukan hukum biasa dimaksudkan agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang benar-benar matang, bukan pertimbangan sederhana apalagi hanya karena keinginan atau kepentingan kelompok tertentu. Mekanisme khusus juga dimaksudkan agar dalam proses perubahan konstitusi memberikan ruang dan waktu yang memadai bagi rakyat untuk menyampaikan pandangan dan terlibat dalam diskursus publik.

Dengan demikian, konstitusi akan benar-benar terwujud sebagai kesepakatan bersama seluruh rakyat, bukan produk elite politik semata. Karena itu, usulan perubahan konstitusi harus dilandasi oleh pemikiran mendasar dan penting. Pemikiran mendasar dimaksudkan bahwa perubahan tersebut dilandasi oleh perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat atau perubahan tersebut benar-benar dibutuhkan untuk memperbaharui tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.Perubahan juga harus bersifat penting, artinya tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain melalui perubahan secara formal.

Mekanisme Perubahan

Salah satu ketentuan yang diubah dalam Perubahan UUD 1945 pada 1999–2002 adalah ketentuan tentang perubahan yang diatur dalam Pasal 37. Perubahan Pasal 37 UUD 1945 membawa konsekuensi sifat rigid UUD 1945 semakin kuat karena syarat persetujuan yang lebih berat serta ada pembatasan terhadap materi perubahan. Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur tentang jumlah kuorum dan suara yang dibutuhkan untuk mengubah Undang-Undang Dasar.

Ditentukan bahwa untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR harus hadir dan putusan harus disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.Ketentuan tersebut cukup mudah karena tidak mengatur tentang mekanisme dan pembatasan perubahan, serta pada akhirnya cukup disetujui oleh 2/3 dari 2/3 anggota MPR yang berarti kurang dari setengah anggota MPR.

Perubahan Pasal 37 menentukan mekanisme yang lebih rinci, persyaratan yang lebih ketat, serta pembatasan materi perubahan.Mekanisme perubahan diatur tidak hanya melalui sidang MPR untuk mengambil putusan, tapi juga persyaratan pengajuan usul perubahan. Pasal 37 ayat (1) menyatakan usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 hanya dapat diagendakan dalam sidang MPR jika diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Pengajuan usul itu harus dilakukan secara tertulis dan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jika dibandingkan dengan ketentuan sebelum perubahan, ketentuan Pasal 37 UUD 1945 pascaperubahan juga mengatur mekanisme pengambilan putusan yang lebih ketat. MPR hanya dapat bersidang untuk membahas dan mengambil putusan terkait perubahan UUD 1945 jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

Jika sebelum perubahan ditentukan bahwa putusan mengubah UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari anggota yang hadir,Pasal 37 UUD 1945 setelah perubahan mensyaratkan lebih berat yaitu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.

Batasan Perubahan

Selain mekanisme dan persyaratan yang lebih ketat,UUD 1945 pascaperubahan juga menentukan batasan terhadap perubahan yang dapat dilakukan. Pasal 37 ayat (5) secara tegas bahwa mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.Ketentuan ini mengandung arti bahwa dua prinsip dasar negara tidak dapat diubah yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.

Batasan lain dituangkan dalam kata “pasal-pasal”yang selalu mengikuti kata “perubahan” yang diatur dalam Pasal 37. Kata “pasal-pasal” tersebut lahir berdasarkan kesepakatan bersama para perumus perubahan UUD 1945 yang meyakini bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan dokumen pernyataan kemerdekaan yang melandasi berdirinya negara Indonesia. Karena itu, Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah karena mengubahnya berarti membubarkan negara Indonesia.

Pemahaman kedudukan dan sifat Pembukaan UUD 1945 dituangkan dalam pasal perubahan dengan menegaskan bahwa usul perubahan dan putusan yang dilakukan sebatas pada “pasal-pasal” dan tidak mencakup Pembukaan.Dengan sendirinya prinsip-prinsip dasar yang terkait tujuan nasional dan dasar negara Pancasila juga tidak dapat diubah.
◄ Newer Post Older Post ►