Persidangan Umar Patek


Persidangan Umar Patek
Noor Huda Ismail, ALUMNUS NGRUKI DAN DIREKTUR EKSEKUTIF YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN, ORGANISASI PENDAMPING MANTAN KOMBATAN
Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012


Umar Patek, yang diduga sebagai pelaku terakhir peledakan bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan akhirnya ditangkap aparat, akan menjalani serangkaian persidangan.
Apa makna persidangan tersebut bagi penanganan terorisme di Indonesia yang sudah 10 tahun berjalan, tetapi belum jelas arah kebijaksanaannya?

Umar Patek adalah contoh klasik korban dari doktrin kelompoknya, yaitu ”sami’na wa atho’na” atau ”kami mendengar dan taat”. Di dalam kelompok ini, tradisi berpikir kritis terhadap keputusan amir atau pemimpin adalah tabu, bahkan bisa dianggap pengkhianatan terhadap nilai kelompok dan keluar dari agama (in and out group dynamic).

Dalam kasus pengeboman Bali pertama, ia terlibat dalam peracikan bahan peledak. Namun, ia bukan aktor utama seperti almarhum Ali Ghufron atau Imam Samudra. Keberhasilannya lolos dari sergapan polisi—baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara—dan tertangkap atau tewasnya para senior kelompoknya membuat Umar Patek meroket.

Amerika mematok harga kepalanya 1 juta dollar AS. Dalam berbagai laporan media, ia lalu digambarkan sebagai ”monster” yang sangat membahayakan.

Memaknai Sidang

Persidangan Umar Patek dapat dibaca sebagai berikut:
Pertama, persidangan dapat menjadi ajang pembuktian bahwa ia sosok penting untuk memahami jaringan Indonesia dan Asia Tenggara. Setelah peristiwa pengeboman Bali pertama 2002, Umar Patek bersama Dulmatin berhasil masuk ke Mindanao dan bergabung dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), kemudian Abu Sayyaf Group.
Berdasarkan pengakuan beberapa mantan kombatan dari Indonesia, ada banyak kombatan dari Malaysia, Singapura, bahkan Timur Tengah yang bergabung dalam kamp pelatihan militer di Mindanao. Jaringan mereka terjalin dengan baik hingga kini.

Kedua, fakta bahwa Umar Patek tinggal di Indonesia selama lebih kurang satu tahun bersama istrinya—asal Filipina Selatan—sepulang dari Mindanao menunjukkan bahwa jejaring Umar Patek sangat rapi dan loyal. Mereka tidak tergiur imbalan Amerika ataupun program deradikalisasi negara.

Setelah tewas dan tertangkapnya para senior kelompok, mereka sangat haus sosok pemimpin dengan ”CV” hebat di wilayah konflik seperti Umar Patek. Bagi kelompok ini, terlibat di wilayah konflik berarti jihad nyata. Mereka mendapat posisi khusus dibandingkan dengan para pemimpin yang hanya tahu teori jihad.

Maka, dalam pelatihan militer di Aceh oleh organisasi Lintas Tandzim, akhir 2009, ia ditawari menjadi salah satu pelatih. Ia menolak karena ada beberapa nama dalam pelatihan itu yang berisiko tinggi terendus aparat.

Ia memilih bergabung dengan jaringan jihad global di Pakistan. Lagi-lagi, jaringan Umar di Indonesia dan Pakistan mampu mengatur perjalanannya: mendapatkan paspor resmi untuk dirinya dan istri, berikut tiket penerbangan dari Indonesia ke Pakistan tanpa terdeteksi.

Ketiga, dalam persidangan ini, hendaknya pihak pengadilan tidak terpengaruh opini publik melalui media dan juga pernyataan-pernyataan para pengamat yang tidak mendudukkan masalah sesuai porsi.

Hukum dengan Bijak

Memberikan hukuman mati, seperti terhadap Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, bukan pilihan bijak. Umar dikenal sangat kooperatif selama proses penyidikan sehingga memudahkan polisi memahami jejaringnya di luar penjara. Hukuman mati bagi terdakwa teroris juga hanya memberi percepatan terhadap apa yang mereka inginkan: mati syahid (mati di tangan musuh).

Belum lagi kalau kita mempertimbangkan jarak antara keputusan hukuman mati dan eksekusi yang panjang. Artinya terdakwa akan dikurung dalam sistem penjara kita yang memprihatinkan, baik dari sisi sumber daya maupun fasilitas. Nyaris tidak ada pemahaman akan tingkat keterlibatan (level of engagement) pada setiap teroris, padahal perbedaan motif akan membedakan pula jenis teroris yang dihadapi.

Dalam kondisi seperti ini, penjara justru menjadi ”school of radicalization” atau lahan radikalisasi, terutama bagi narapidana ”mirip” teroris—karena peran mereka yang sangat pinggiran—menjadi teroris yang sebenarnya.

Pada peristiwa bom Marriott kedua, Juli 2009, seorang narapidana teroris yang semula tidak paham gambar besar dunia perteroran justru menjadi lebih yakin dengan pilihan jalan kekerasan. Setelah bebas, ia terlibat aksi bom Marriott kedua itu.

Radikalisasi juga terjadi pada dua sipir penjara Kerobokan dan Palembang. Mereka bukannya memengaruhi para narapidana teroris untuk berintegrasi ke dalam masyarakat dan merayakan perbedaan, justru larut dalam gerakan. Sipir Kerobokan menyediakan laptop bagi Imam Samudra yang diduga menjadi embrio lahirnya bom Bali kedua.

Persidangan Umar Patek harus ditangani dengan bijak agar menghasilkan ketetapan hukum yang tidak kontraproduktif.  ●

◄ Newer Post Older Post ►