Boros, Perselingkuhan “Ekselatif”
Mundzar Fahman, KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN BOJONEGORO
Sumber : JAWA POS, 14 Februari 2012
JIKA APBN harus dikuras hampir Rp 100 miliar per tahun untuk tunjangan perumahan anggota DPR (Jawa Pos,10/2/2012), siapa yang salah? Jika harus dianggarkan puluhan miliar per tahun dalam APBD hanya untuk kegiatan ngelencer anggota DPRD, siapa yang salah? Wakil rakyat yang salah ataukah pemerintah (eksekutif) selaku ''penentu'' anggaran wakil rakyat?
Selama ini, disediakan rumah jabatan bagi setiap anggota DPR. Saat rumah tersebut direnovasi pada 2010, setiap anggota diberi ganti cash Rp 15 juta per bulan. Setelah renovasi selesai, legislator dipersilakan menempati kembali. Tapi, ada yang lebih senang diberi fresh money Rp 15 juta per bulan daripada menempati rumah jabatan. ''Keinginan mereka mendapat uang sewa (rumah) benar-benar hanya cari keuntungan,'' kata Uchok Sky Khadafi, koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi/Fitra (Jawa Pos, 10/2/2012).
Dengan tunjangan perumahan tersebut, penghasilan tetap anggota DPR per bulan makin besar. Indonesian Budget Center (IBC) mengalkulasi, gaji anggota DPR mencapai Rp 62,441 juta per bulan (sudah dipotong pajak). ''Itu belum termasuk gaji ke-13, uang legislasi, uang lain-lain, serta fasilitas penunjang lain yang seluruhnya dibiayai negara,'' kata peneliti IBC Roy Salam (Kamis, 1/9/2009).
DPRD provinsi/kabupaten-kota juga mendapat fasilitas seperti itu. Nominalnya disesuaikan dengan kemampuan APBD masing-masing daerah. Ada daerah yang memberikan tunjangan perumahan Rp 3,5 juta per bulan untuk anggota dan Rp 7,2 juta untuk ketua. Namun, ada pula daerah yang memberikan lebih dari Rp 10 juta per bulan. Nominal itu diatur dalam peraturan bupati/wali kota.
Karena sudah diatur, tunjangan perumahan tersebut punya dasar legalitas. Yang patut dipertanyakan, mengapa eksekutif memberikan tunjangan perumahan sebesar itu? Tidak berlebihankah jika di kota-kota kecil tunjangan perumahan legislator hingga Rp 10 juta per bulan? Bukankah itu merupakan pemborosan yang dilegalkan?
Contoh lain adalah peraturan bupati/wali kota yang mengatur uang saku kunker dewan. Juga, uang makan, uang transpor lokal, serta uang penginapan bagi mereka. Nominalnya terlalu besar. Karena itu, wajar wakil rakyat menjadi makin bernafsu untuk melakukan kunker demi makin menebalkan saku.
Bayangkan, anggota DPRD Surabaya yang melakukan kunker di luar Jatim mendapat uang saku Rp 700 ribu per hari, uang makan Rp 350 ribu, dan uang transpor lokal Rp 500 ribu. Uang saku untuk pimpinan dewan lebih tinggi. Lama setiap kunker dewan rata-rata tiga hari. Dalam setahun bisa kunker puluhan kali. Selain itu, mereka mendapat jatah uang penginapan dan tiket pesawat/kereta api pergi-pulang (PP) sesuai harga tiket. Saking seringnya kunker, koran Duta Masyarakat Online (19/1/2012) menulis, anggaran kunker DPRD Surabaya 2012 mencapai Rp 43,019 miliar. Naik cukup besar dibanding 2011 sebesar Rp 36,557 miliar.
Kota Surabaya yang APBD-nya mencapai Rp 5 triliun mungkin tidak terasa berat meski harus menganggarkan Rp 43 miliar hanya untuk ngelencerno wakil rakyatnya. Tetapi, bagi daerah-daerah yang kekuatan APBD-nya baru berkisar Rp 1 triliun, tentu terasa tidak adil jika wakil rakyatnya harus dimanjakan dengan anggaran kunker yang sedemikian besar.
Besarnya uang saku, uang makan, dan uang transpor lokal itu bisa menjadi salah satu pendorong sangat bernafsunya wakil rakyat untuk berkunker-ria, walau rakyat tidak henti-hentinya mengkritik dan memprotes mereka. Rakyat menganggap kunker hanya pemborosan dan tanpa hasil.
Namun, terkesan, wakil rakyat kita cuek bebek saja. Sampai-sampai, pernah terjadi, sekelompok aktivis datang ke Bandara Juanda untuk bermaksud menggagalkan wakil rakyat yang hendak terbang kunker ke luar negeri.
Besaran tunjangan perumahan bagi wakil rakyat jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Begitu pula besaran uang saku, uang makan, uang transpor, dan lain-lain untuk wakil rakyat yang melakukan kunker.
Karena yang membuat peraturan itu adalah eksekutif, seharusnya yang bertanggung jawab adalah mereka. Logika sederhananya begini: Seandainya eksekutif tidak menetapkan standar uang kunker dewan secara berlebihan, tentu wakil rakyat akan ogah melakukan kunker. Misalnya, jika uang saku, uang makan, dan uang transpor lokal itu masing-masing hanya Rp 200 ribu per hari, tentu mereka tidak bergairah untuk kunker. Mereka akan males and ogah berkunker-ria.
Tapi, rasanya kurang adil jika kita hanya menyalahkan pihak eksekutif. Sebab, sangat mungkin peraturan-peraturan seperti itu muncul karena adanya tekanan-tekanan saat proses perumusan. Eksekutif mendapat tekanan. Sangat mungkin peraturan-peraturan seperti itu merupakan buah perselingkuhan eksekutif-legislatif (ekselatif).
Ada simbiosis parasitisme antara keduanya. Itu merupakan salah satu kelemahan sebuah sistem yang kita ciptakan. Lalu, siapakah yang mau dan bisa memperbaiki sistem itu? ●
Selama ini, disediakan rumah jabatan bagi setiap anggota DPR. Saat rumah tersebut direnovasi pada 2010, setiap anggota diberi ganti cash Rp 15 juta per bulan. Setelah renovasi selesai, legislator dipersilakan menempati kembali. Tapi, ada yang lebih senang diberi fresh money Rp 15 juta per bulan daripada menempati rumah jabatan. ''Keinginan mereka mendapat uang sewa (rumah) benar-benar hanya cari keuntungan,'' kata Uchok Sky Khadafi, koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi/Fitra (Jawa Pos, 10/2/2012).
Dengan tunjangan perumahan tersebut, penghasilan tetap anggota DPR per bulan makin besar. Indonesian Budget Center (IBC) mengalkulasi, gaji anggota DPR mencapai Rp 62,441 juta per bulan (sudah dipotong pajak). ''Itu belum termasuk gaji ke-13, uang legislasi, uang lain-lain, serta fasilitas penunjang lain yang seluruhnya dibiayai negara,'' kata peneliti IBC Roy Salam (Kamis, 1/9/2009).
DPRD provinsi/kabupaten-kota juga mendapat fasilitas seperti itu. Nominalnya disesuaikan dengan kemampuan APBD masing-masing daerah. Ada daerah yang memberikan tunjangan perumahan Rp 3,5 juta per bulan untuk anggota dan Rp 7,2 juta untuk ketua. Namun, ada pula daerah yang memberikan lebih dari Rp 10 juta per bulan. Nominal itu diatur dalam peraturan bupati/wali kota.
Karena sudah diatur, tunjangan perumahan tersebut punya dasar legalitas. Yang patut dipertanyakan, mengapa eksekutif memberikan tunjangan perumahan sebesar itu? Tidak berlebihankah jika di kota-kota kecil tunjangan perumahan legislator hingga Rp 10 juta per bulan? Bukankah itu merupakan pemborosan yang dilegalkan?
Contoh lain adalah peraturan bupati/wali kota yang mengatur uang saku kunker dewan. Juga, uang makan, uang transpor lokal, serta uang penginapan bagi mereka. Nominalnya terlalu besar. Karena itu, wajar wakil rakyat menjadi makin bernafsu untuk melakukan kunker demi makin menebalkan saku.
Bayangkan, anggota DPRD Surabaya yang melakukan kunker di luar Jatim mendapat uang saku Rp 700 ribu per hari, uang makan Rp 350 ribu, dan uang transpor lokal Rp 500 ribu. Uang saku untuk pimpinan dewan lebih tinggi. Lama setiap kunker dewan rata-rata tiga hari. Dalam setahun bisa kunker puluhan kali. Selain itu, mereka mendapat jatah uang penginapan dan tiket pesawat/kereta api pergi-pulang (PP) sesuai harga tiket. Saking seringnya kunker, koran Duta Masyarakat Online (19/1/2012) menulis, anggaran kunker DPRD Surabaya 2012 mencapai Rp 43,019 miliar. Naik cukup besar dibanding 2011 sebesar Rp 36,557 miliar.
Kota Surabaya yang APBD-nya mencapai Rp 5 triliun mungkin tidak terasa berat meski harus menganggarkan Rp 43 miliar hanya untuk ngelencerno wakil rakyatnya. Tetapi, bagi daerah-daerah yang kekuatan APBD-nya baru berkisar Rp 1 triliun, tentu terasa tidak adil jika wakil rakyatnya harus dimanjakan dengan anggaran kunker yang sedemikian besar.
Besarnya uang saku, uang makan, dan uang transpor lokal itu bisa menjadi salah satu pendorong sangat bernafsunya wakil rakyat untuk berkunker-ria, walau rakyat tidak henti-hentinya mengkritik dan memprotes mereka. Rakyat menganggap kunker hanya pemborosan dan tanpa hasil.
Namun, terkesan, wakil rakyat kita cuek bebek saja. Sampai-sampai, pernah terjadi, sekelompok aktivis datang ke Bandara Juanda untuk bermaksud menggagalkan wakil rakyat yang hendak terbang kunker ke luar negeri.
Besaran tunjangan perumahan bagi wakil rakyat jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Begitu pula besaran uang saku, uang makan, uang transpor, dan lain-lain untuk wakil rakyat yang melakukan kunker.
Karena yang membuat peraturan itu adalah eksekutif, seharusnya yang bertanggung jawab adalah mereka. Logika sederhananya begini: Seandainya eksekutif tidak menetapkan standar uang kunker dewan secara berlebihan, tentu wakil rakyat akan ogah melakukan kunker. Misalnya, jika uang saku, uang makan, dan uang transpor lokal itu masing-masing hanya Rp 200 ribu per hari, tentu mereka tidak bergairah untuk kunker. Mereka akan males and ogah berkunker-ria.
Tapi, rasanya kurang adil jika kita hanya menyalahkan pihak eksekutif. Sebab, sangat mungkin peraturan-peraturan seperti itu muncul karena adanya tekanan-tekanan saat proses perumusan. Eksekutif mendapat tekanan. Sangat mungkin peraturan-peraturan seperti itu merupakan buah perselingkuhan eksekutif-legislatif (ekselatif).
Ada simbiosis parasitisme antara keduanya. Itu merupakan salah satu kelemahan sebuah sistem yang kita ciptakan. Lalu, siapakah yang mau dan bisa memperbaiki sistem itu? ●