Kemana NU Menuju?


Kemana NU Menuju?
Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG
Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012


Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926.
Dalam perjalanan kesejarahan yang panjang, NU mengalami pasang surut dan dinamika luar biasa. Wajar jika sebagian warga NU khawatir akan masa depan NU. Ke mana NU menuju?

Pertama, NU adalah ajaran keagamaan. Kedua adalah ulama dan pesantren. Ketiga adalah keluarga dan warga. Keempat adalah organisasi. Ajaran NU sudah berabad-abad hidup dalam masyarakat Islam di wilayah Nusantara, jauh sebelum organisasi NU didirikan. Ajaran disebarkan oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, lazim disebut ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Namun, tidak semua penganut Aswaja bergabung dalam organisasi NU.

Ajaran itu mengakui empat mazhab fikih: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali; dalam masalah Tauhid mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi; dalam masalah tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.

Bertambahnya jumlah tamatan pesantren yang belajar ke negara Barat menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap ajaran Aswaja di kalangan NU. Muncul keinginan memperoleh ruang lebih besar bagi kebebasan berpikir. Yang paling bebas adalah mereka yang tergabung di dalam ”Jaringan Islam Liberal”. Dalam waktu 25-30 tahun ke depan, jumlah itu akan semakin banyak. Harus ada langkah nyata untuk menjembatani perbedaan itu.

Ulama dan Pesantren

Pengertian NU sebagai ajaran perlu ditambah ajaran masalah politik setelah Muktamar 1984 menerima Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu didasarkan dokumen historis Hubungan Islam dan Pancasila. Keputusan NU itu membuat pemilih NU jadi cair di dalam menentukan pilihan politik. Yang belum banyak dibahas, ajaran Aswaja dalam masalah ekonomi, padahal kebijakan ekonomi amat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat kelas bawah yang mayoritas warga NU.

Organisasi NU didirikan ulama pengasuh pesantren. Mereka mendidik umat Islam di Nusantara dan menyebarkan ajaran Aswaja. Penggagas berdirinya organisasi NU, KHA Wahab Hasbullah, yakin organisasi NU hanya berkembang jika didirikan ulama di bawah pimpinan Hadratus Syekh KHM Hasyim Asy’ari, guru para kiai terkemuka di Jawa termasuk Kiai Wahab.

Namun, Hadratus Syekh butuh waktu lebih dari setahun untuk setuju, dihitung dari setelah menerima pesan dan simbol berupa tongkat dan tasbih dari gurunya, Syaikhona Kholil, dari Bangkalan. Di awal berdirinya NU tak bisa lepas dari jaringan alumni Tebuireng, sebagian dari mereka mendirikan pesantren yang menjadi besar dan terkenal. Dengan cepat organisasi NU menyebar dan berkembang, khususnya di Jatim dan Jateng. Pesantren mampu mempertahankan keberadaan dalam dunia pendidikan, bahkan jumlah pesantren meningkat tajam beberapa tahun terakhir.

Survei berbagai lembaga 2001-2009 menunjukkan, sebagian besar umat Islam merasa jadi bagian komunitas NU. Tahun 2001 jumlahnya 42 persen, tahun 2009 jadi 39 persen. Namun, tak semua anggota organisasi NU. Sebagian besar warga NU mereka yang tertinggal dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan. Petani, pedagang tradisional, pedagang kaki lima, buruh termasuk buruh migran, pekerja rumah tangga. Mungkin lebih dari 50 persen mereka warga NU. Tampaknya, organisasi dan politisi NU belum banyak membantu warga NU yang belum sejahtera ini.

Ada warga masyarakat yang merasa jadi bagian komunitas NU karena berasal dari keluarga NU. Hasil survei ini tampaknya jadi acuan politisi sehingga mereka mendekati komunitas NU sebagai potensi pemilih. Namun, ternyata NU sebagai entitas politik sudah cair. Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan para tokoh puncak PBNU (secara pribadi) termasuk Gus Dur, pada puncak pencapaiannya (1999), hanya meraih 12-13 persen jumlah pemilih. Bandingkan dengan jumlah pemilih Partai NU pada pemilu 1955 yang 18 persen.

Organisasi NU didirikan bukan sebagai organisasi politik, tetapi ormas keagamaan. Sejak usia belasan tahun organisasi NU lekat dengan kehidupan politik dan di usia 26 tahun beralih jadi parpol pada 1952. Keberhasilan jadi pemenang ketiga Pemilu 1955 mengubah total jati diri NU. Muktamar NU 1984 mencetuskan Khitah NU kembali sebagai ormas keagamaan. Namun, harus diakui organisasi NU kini masih memakai paradigma parpol.

Organisasi NU sejatinya didirikan untuk membantu NU dalam tiga pengertian di atas: ajaran, ulama plus pesantren, dan warga NU, tetapi secara nasional belum banyak dilakukan. Mungkin di Jatim organisasi NU sudah baik, tetapi dibandingkan Muhammadiyah Jatim, masih banyak yang harus dilakukan. Syafii Maarif pernah mengatakan, ”Dibandingkan dengan mitra NU-nya, secara kuantitatif posisi Muhammadiyah jelas minoritas, tetapi tidak secara kualitatif. Apakah militansi Muhammadiyah Jatim ini didorong perasaan minoritas yang harus unggul dalam kerja pendidikan sosial keagamaan? Saya tak bisa menjawab.”

Tanpa ada organisasi NU, ajaran NU tetap bisa berkembang sebagai hasil dari para mubalig dan ulama yang tetap aktif membimbing warga NU. Mungkin organisasi NU bisa berperan menjembatani perbedaan ”kelompok liberal” dengan kelompok yang lain. Hanya organisasi NU yang bisa melakukan hal itu. Tanpa dukungan organisasi NU, pesantren tumbuh dan berkembang. Mungkin 70-80 persen pesantren didirikan dan dikelola warga NU. Jumlah pesantren meningkat pesat, kini sekitar 27.000.

Mungkinkah organisasi NU membuat pusat data pesantren yang akan merekam semua informasi tentang pesantren dan membantu pesantren yang tertinggal sehingga bisa maju? Badan otonom di lingkungan NU yang telah banyak membantu warganya adalah Muslimat NU, khususnya di Jatim dan Jateng. Di Jatim, keberadaan Muslimat NU terlihat sampai ke tingkat dusun. Banyak TK, sekolah, panti asuhan, klinik, rumah bersalin, dan rumah sakit didirikan. Di sejumlah kota di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, cukup banyak kerja nyata organisasi NU, tetapi belum memuaskan dibandingkan potensinya.

Peran Ideal, Mungkinkah?

Titik lemah NU adalah aspek organisasi. Banyak tokoh NU bergurau mengatakan bukan NU kalau organisasinya baik. Itu mitos yang harus dilawan. Contohlah organisasi Muslimat NU, yang menurut saya, ormas perempuan terbaik di Indonesia. Organisasi NU 1940-an dan 1950-an dikelola baik dan menunjukkan kinerja baik. Juga ada organisasi NU provinsi dan kabupaten yang berjalan dengan baik.

Organisasi NU harus fokus benahi diri supaya bisa jadi organisasi efektif. Paradigma parpol harus diubah jadi paradigma ormas berorientasi kerja nyata. Struktur NU harus melepaskan diri dari keterkaitan dengan parpol termasuk PKB. Bukan berarti NU antipolitik. Organisasi NU harus terlibat politik kebangsaan atau kemasyarakatan, bukan politik praktis atau politik kepartaian. NU harusnya tak mendukung calon tertentu dalam pemilihan. Organisasi NU harus jadi salah satu unsur utama masyarakat sipil dan memanfaatkan warga NU yang jadi anggota DPR/DPRD untuk bisa menghasilkan UU atau perda serta kebijakan pro rakyat. Berarti juga harus kritis terhadap UU dan kebijakan pemerintah/pemda yang tak pro rakyat. Mungkinkah NU memainkan peran ideal itu?  

◄ Newer Post Older Post ►