Uang Panas Nazaruddin
Donal Fariz, PENELITI DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN ICW
Sumber : KOMPAS, 13 Februari 2012
Uang M Nazaruddin mengalir sampai jauh. Dari kawan hingga partai, dari dalam negeri hingga luar negeri.
Uang panas cepat menguap. Istilah ini agaknya tepat untuk menggambarkan rotasi uang dalam kasus suap yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Fee yang ia peroleh dari perusahaan- perusahaan yang menggarap proyek pemerintah begitu fantastis. Begitu pula jumlah uang yang ia tebar untuk rekan sesama politisi, birokrat, hingga partai.
Gurita bisnis dan uang yang dimiliki Nazaruddin terungkap dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Para saksi yang juga bawahan Nazaruddin di Grup Permai, seperti Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis, menjelaskan permainan proyek maupun persekot yang diterima.
Nazaruddin berperan mengatur peruntukan fee. Istrinya, Neneng, berperan sebagai direktur keuangan perusahaan sekaligus memegang kendali brankas uang perusahaan tersebut.
”Fee” Besar-Besaran
Sebagai ilustrasi, untuk kasus proyek pembangunan wisma atlet di Palembang, Grup Permai memperoleh fee 13 persen dari proyek bernilai Rp 191 miliar ini. Bahkan sebelumnya Nazaruddin sempat menyebut angka 21 persen kepada PT Duta Graha Indah (PT DGI) melalui Rosa karena ia sudah belanja Rp 20 miliar untuk DPR terkait proyek tersebut.
Itu baru satu proyek PT DGI. Kesaksian Yulianis di persidangan mengungkap, PT DGI paling tidak memiliki 10 proyek yang dikerjakan pada tahun 2010 atas bantuan Grup Permai sehingga membayar fee kepada perusahaan milik Nazaruddin itu. Ini belum termasuk proyek 2009.
Nazaruddin tak hanya memiliki satu perusahaan. Setidaknya ia punya 10 perusahaan di bawah Grup Permai, di antaranya PT Mahkota Negara, PT Anak Negeri, dan PT Anugrah Nusantara. Ia juga memiliki setidaknya tujuh perusahaan pinjaman untuk menjalankan berbagi proyek. Jika pola-pola serupa dengan kasus wisma atlet juga diterapkan oleh perusahaan lain terhadap berbagi proyek, bisa dibayangkan betapa kayanya politisi muda ini.
Sebagian kekayaan Nazaruddin disimpan di luar negeri. Kesaksian Oktarina yang juga bekas anggota staf Nazaruddin menyebutkan, ada uang senilai 5 juta dollar AS, 2 juta euro, dan 3 juta dollar Singapura yang dikirim ke Ampi IT dan Talent Center di Singapura. Kedua perusahaan itu belakangan diketahui tidak melakukan apa-apa, sekadar untuk menyimpan uang.
Dengan tumpukan fee yang ia terima, tak aneh jika Nazaruddin rajin menebar uang ke partai maupun koleganya sesama politisi. Uang sebesar Rp 30 miliar dan 5 juta dollar AS ”disedekahkan” untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung. Uang dibawa langsung oleh Yulianis (Kompas, 25 Januari 2012).
Belum jelas sampai saat ini uang tersebut dipakai untuk biaya pelaksanaan kongres atau malah dijadikan ongkos pemenangan kandidat tertentu. Yang pasti, jika di persidangan nantinya terbukti, kedua motif tersebut akan punya konsekuensi yuridis karena menerima uang yang diduga berasal dari praktik korupsi.
Selain Partai Demokrat (PD), para politisi kerap disebut menerima sejumlah uang dari Nazaruddin. Termasuk di antaranya Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dalam penyelenggaraan Kongres Partai Demokrat di Bandung itu.
Khusus untuk wisma atlet, uang 1,1 juta dollar AS dialirkan ke Senayan untuk memuluskan proyek tersebut. Menurut keterangan Rosa, mereka yang turut menerima di antaranya Mirwan Amir, Angelina Sondakh, dan I Wayan Koster. Badan Anggaran pun diduga turut bermain.
Darah Kejahatan
Kasus Nazaruddin membuktikan kekuatan uang. Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan pelaku korupsi. Hasil kejahatan adalah life blood atau darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap (life blood of crime).
Tugas KPK memang tidak mudah. Selain mengejar para pelaku yang disebut-sebut dalam persidangan, pekerjaan rumah terbesar bagi KPK tentu saja adalah mengejar aliran uang Nazaruddin (follow the money) karena ada begitu banyak politisi hingga partai yang disebut-sebut menerima uang. Ini masih ditambah dengan begitu banyaknya perusahaan yang dimiliki Nazaruddin dan pernah menggarap proyek- proyek pemerintah.
Pada saat bersamaan, Nazaruddin juga bergerak aktif untuk mengaburkan asal-usul uang yang ia peroleh. Ia, misalnya, membeli saham Garuda hingga Rp 300 miliar atau bahkan memindahkannya ke luar negeri.
Oleh karena itu, KPK harus bergerak cepat untuk mengejar uang dan aset Nazaruddin serta memakai undang-undang pencucian uang sebagai senjata yang efektif. Secara teoretis, jika hasil kejahatan yang ia lakukan dikejar dan disita untuk negara, dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan itu sendiri.
Penyelesaian secara hukum dari sisi aktor dan uang menjadi dua indikator tuntas atau tidaknya kasus tersebut di tangan KPK. Jika tidak, uang panas Nazaruddin yang masih tersembunyi berpotensi memproduksi kejahatan yang sama pada masa mendatang. ●