Kotak Hitam Politik

Kotak Hitam Politik
Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN, ITB
Sumber : KOMPAS, 14 Februari 2012


Ruang politik dan hukum hari ini diramaikan dua gerakan masif terkait kebenaran hukum.
Di satu pihak, ada upaya lembaga hukum—khususnya KPK—membongkar ”kotak hitam” dalam beberapa kasus ”bencana” korupsi, dengan menangkap sejumlah petinggi politik yang diduga terlibat. Di pihak lain, ada ”perlawanan” gigih para elite partai mengubur ”kotak hitam” itu: menghilangkan jejak, mencari alibi, mendistorsi persepsi, dan menggiring opini sebagai cara ”melupakan” kejahatan.

Layaknya ”kotak hitam” pesawat terbang, penangkapan elite-elite kunci itu diharapkan dapat membuka seluruh mata rantai korupsi yang melibatkan parpol. Lembaga hukum, yang selama ini terbelenggu ”konsensus jahat” para elite politik, membiarkan yang tak tampak tetap tak tampak, yang tersembunyi tetap tersembunyi, yang kabur tetap kabur. Mereka justru menyuarakan yang tak perlu disuarakan, mengungkap yang tak penting diungkap, mengadili yang tak mendesak diadili—the evil consensus.

Keberanian KPK menangkap elite yang diduga terlibat korupsi adalah angin segar dalam melawan konsensus jahat yang menopang arsitektur politik dan hukum yang menyebabkan aneka kasus besar kejahatan dan korupsi tenggelam dalam gelombang peristiwa, isu, trik, dan permainan politik. Terbuka lebar pintu mengubah ”politisasi hukum” menjadi ”purifikasi hukum”, dengan melepaskan hukum dari segala konsensus politik dan membuka segala ”kotak hitam” kejahatan politik.

Politik Gaya

Kejahatan politik—seperti korupsi parpol—sering tumbuh subur bukan karena tidak ada kebebasan, melainkan karena salah memaknai dan mempraktikkan ”kebebasan”. Kebebasan melahirkan kejahatan ketika dalam sistem demokrasi belum dibangun basis etika ”tanggung jawab” dan basis hukum ”kedaulatan hukum”. Misalnya, era reformasi sebagai era terbukanya keran kebebasan justru menjadi era penuh kejahatan karena rapuhnya fondasi etika dan hukum demokratis.

Selain itu, seperti dikatakan Wendy Brown (State of Injury, 1995), kebebasan sering bersifat ”reaksioner”, yaitu sebagai reaksi terhadap aneka ”luka”, ”perih”, dan ”ketakberdayaan”, akibat rezim represif. Misalnya, ”luka” akibat Orde Baru yang korup, represif, dan penuh kekerasan. Rezim baru yang ingin melenyapkan semua kekuasaan penyebab luka itu (tiran, koruptor, militer) nyatanya sering mendaur ulang relasi kekuasaan yang ingin dimusnahkan dengan mereproduksi cara kerjanya. Karena itu, ”luka sosial” akibat sebuah rezim korup tidak otomatis menghapus habitus dan budaya korupsi ketika rezim kebebasan diperoleh karena sifat ”reaksioner” cenderung menampilkan semangat perlawanan secara ”permukaan”. ”Gaya politik” lebih dirayakan sebagai ekspresi perlawanan ketimbang mengurus perkara substansial kebijakan, hukum, prosedur, atau organisasi tatanan politik. Perlawanan terhadap korupsi cukup dengan penampilan ”gaya antikorupsi”.

Perlawanan terhadap korupsi dimanipulasi melalui ”gaya antikorupsi”, sementara korupsi sendiri telah telanjur menjadi bagian ”budaya politik”. Meminjam Bourdieu (The Logic of Practice, 1990), korupsi telah menjadi bagian habitus, yaitu seperangkat ”kecenderungan” (disposition) individu dan kelompok partai yang bertahan lama (durable) dan dapat diwariskan lintas generasi. Korupsi telah menjadi habitus di dalam struktur relasi kepartaian dan institusi negara.

Di sinilah kita menemukan ”keterputusan” antara sisi permukaan dan dalam, citra dan substansi, gaya dan jati diri para elite politik ataupun partai itu sendiri. Tak heran apabila sebuah partai yang dengan jemawa mencitrakan diri secara eksternal sebagai ”antikorupsi” dalam gaya kampanye, iklan politik, dan media komunikasi politik lain; nyatanya secara internal, struktural, dan habitual mereproduksi kebiasaan korupsi dalam aneka tindakan, relasi, dan transaksi mereka.

Ada jurang antara yang tampak (visible) dan tak tampak (invisible), yang dikatakan dan kenyataan, yang diklaim kebenaran dan kebenaran itu sendiri dalam tatanan politik bangsa. Ungkapan ”partai kami ’solid’, ’kompak’, ’bersih’, ’reformis’, dan ’menghormati hukum’!” merupakan konsensus tersembunyi untuk menutupi realitas kejahatan partai. ”Politik penyembunyian” bersifat kolektif dan konsensual ini salah satu faktor penyebab lenyapnya aneka kasus besar hukum dari pandangan publik—the politics of invisibility.

Politik Invisibilitas

Politik bagi Ranciere (Dissensus: On Politics and Aesthetics, 2010) adalah ”disensus”, yaitu ketaksepakatan terhadap segala konsensus tentang apa yang tampak atau ditampakkan sebagai pengalaman bersama, terhadap distribusi ruang dan waktu, serta hierarki pemisahan dalam kehidupan politik, dengan mengusung rekonfigurasi dan pembingkaian ulang atas relasi-relasi itu, untuk menghasilkan susunan, relasi, dan pengalaman baru. Tugas politik adalah menyingkap ”jurang” antara yang ditampakkan dan tak ditampakkan.

Akan tetapi, apa yang kita temukan dalam realitas politik bangsa hari ini adalah ”disensus palsu” (pseudo dissensus), yaitu ketaksepakatan palsu para elite politik terhadap pandangan umum kebenaran. Mereka seakan-akan menyingkap jurang antara yang ditampakkan dan tak ditampakkan, tetapi sesungguhnya menyembunyikan yang tak ditampakkan itu agar tetap tak tampak. Di permukaan mereka seakan mengungkap kebenaran, padahal memalsukannya.

Alih-alih mengungkap jurang kebenaran, para elite politik justru menampakkan yang tak seharusnya ditampakkan, mengatakan yang tak semestinya dikatakan, mengadili yang tak selayaknya diadili. Para elite politik melakukan sebuah rekonfigurasi yang tujuannya tidak untuk menghilangkan ”jurang” antara penampilan dan kebenaran, tetapi menciptakan jurang kebenaran itu sendiri, dengan merayakan citra kebenaran.

Kini kita menghadapi politik bermuka dua, yang membangun ”partisi” antara dunia luar (eksternal) dan dunia dalam (internal). Ke luar para elite politik menampakkan diri sebagai reformis, demokratis, bersih, jujur, antikorupsi, dengan membangun politik ”disensus (palsu)” melawan segala bentuk sikap antidemokrasi melalui aneka bentuk politik pencitraan. Ke dalam, para elite politik justru membangun ”konsensus jahat” menyembunyikan aneka bentuk kejahatan (korupsi, suap, pemerasan, politik uang).

Ada jurang antara yang tampak dan disembunyikan, antara citra dan realitas. Melalui strategi ”permainan persepsi”, politik hari ini menjelma taktik, trik, dan strategi ”kecepatan” menampakkan sesuatu melalui aneka media—inilah ”politik penampakan” (politics of appearance). Namun, menurut Virilio (The Aesthetics of Disappearance, 1991), politik penampakan dapat menjelma ”politik penghilangan” (politics of disappearance), yaitu politik ”pengalihan perhatian” untuk menghilangkan sesuatu dari ruang persepsi.

Strategi kecepatan menampilkan peristiwa, tindakan, atau citra media untuk mengalihkan perhatian dari peristiwa kejahatan (korupsi, suap, politik uang) adalah bentuk manipulasi ”ingatan kolektif”. Acara bantuan sosial, safari politik, tabliq akbar, doa bersama, atau umrah sering dimanipulasi sebagai bagian politik perseptual menghilangkan peristiwa kejahatan dari memori kolektif, dengan menampilkan ilusi peristiwa. Inilah ”politik pelupaan” (politics of forgetfulness).

Tugas politik sejati adalah melawan dua mata pisau kejahatan politik: ”disensus palsu” dan ”politik pelupaan” untuk menelanjangi jurang antara penampilan dan realitas, antara gaya dan substansi. Tugas hukum sejati adalah membuka ”kotak hitam” kejahatan—khususnya korupsi politik—dengan mengatakan yang selama ini dibungkam, mengungkap yang disembunyikan, mengadili yang tak teradili, untuk menutup pintu ”politik pelupaan”.

◄ Newer Post Older Post ►