Siswa Miskin di Sekolah Kaya


Siswa Miskin di Sekolah Kaya
Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR DI MUNTILAN, MAGELANG
Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012


Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitukah nasib siswa miskin di negeri ini?
Inilah ironinya. Kue pendidikan siswa miskin demikian kecil dibandingkan kue pendidikan siswa kaya di rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI). Sepotong kecil itulah yang masih harus diperebutkan sehingga siswa miskin harus berusaha ekstra untuk memperjuangkan nasib mereka.

Realitas ini terasa dalam porsi pendanaan RSBI/SBI oleh negara. Pada tahun 2011, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 289 miliar untuk RSBI/SBI. Sedangkan untuk sekolah standar nasional atau umum yang jumlahnya lebih banyak hanya Rp 250 miliar (Kompas, 17/2). Pemerintah tetap mengalokasikan dana atau subsidi bagi RSBI/SBI meski sekolah itu sudah bagus, bergedung mewah, dan sarananya lengkap pula.

Kuota Saja Tak Cukup

Seperti ditegaskan Mendiknas Mohammad Nuh, kesan eksklusif bahwa RSBI hanya untuk orang-orang kaya memang harus dihapus. RSBI harus menyediakan kuota 20 persen untuk siswa miskin berprestasi karena eksklusivitas RSBI hanya secara akademis, bukan secara sosial.

Sepertinya negara telah memperjuangkan keadilan kesempatan belajar bagi siswa miskin. Namun, realitasnya tidaklah demikian. Praktiknya, sejak tahap seleksi, pihak RSBI/SBI sudah menimbang kemampuan finansial orangtua siswa. Mereka masih memungut biaya tambahan, seperti uang pangkal, gedung, dan bulanan. Bahkan, untuk mengikuti ujian bertaraf internasional (standar Cambridge), siswa harus membayar sekitar Rp 1 juta per mata pelajaran.

Maka, meski berkemampuan intelektual tinggi, siswa miskin akan kesulitan untuk bisa belajar di RSBI/SBI. Target minimal 20 persen pun sulit dipenuhi. Tentu sekarang ini ada anak miskin di RSBI/SBI, tetapi fakta dinamika pendanaan RSBI/SBI menyiratkan bahwa proses pembelajaran mereka didominasi siswa mampu/kaya.

Dominasi akan menentukan pola relasi sosial. Siswa kaya memiliki pola komunikasi dan berpengetahuan. Ekspresi gaya hidup, cara berbahasa, berpikir, berbicara, atau bertindak mereka akan mewarnai habitus belajar. Siswa miskin sebagai yang minoritas, yang terdominasi, tunduk pada habitus siswa kaya. Dominasi habitus pembelajaran siswa kaya terekspresikan dalam dinamika pembelajaran di kelas, pendanaan, hingga pilihan studi lapangan, juga pernik-pernik aktivitas siswa, seperti seragam atau kegiatan keakraban.

Siswa miskin bakal terengah-engah mengikuti habitus siswa kaya. Niat baik negara memberikan ruang belajar berkualitas di RSBI/SBI bagi siswa miskin menjadi kemustahilan. Sama mustahilnya dengan memenuhi aturan kuota 20 persen itu bagi siswa miskin.

Komitmen Tegas

Jujur saja, mengurus siswa kaya jauh lebih menyenangkan ketimbang siswa miskin. Apalagi jika bisa memuaskan keinginan dan harapan orangtua siswa. Gizi dan tradisi studi yang baik serta didukung finansial orangtua siswa yang melimpah memungkinkan proses pembelajaran yang progresif.

Lain halnya jika mengurusi siswa miskin. Penulis pernah bekerja di sekolah yang mayoritas siswanya dari keluarga menengah dan kaya. Di sekolah semacam itu, komitmen guru/sekolah untuk memperjuangkan nasib siswa miskin diuji. Sering kali siswa miskin terbenam dalam ragam inferioritas. Akibatnya, prestasinya tidak optimal. Beberapa malah dikenal sebagai siswa bandel. Godaan untuk mengabaikan siswa miskin (lagi bandel) pun besar.

Syukurlah, yayasan berkomitmen memperhatikan siswa miskin. Sejumlah guru menunjukkan dedikasinya dengan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap siswa. Sekolah pun memikirkan dengan serius dinamika belajar dan nasib siswa-siswa miskin itu. Bentuknya dalam bimbingan konseling, kunjungan rumah, dan mencarikan bantuan dana untuk mereka.

Rasanya sikap demikian juga dilakukan banyak yayasan dan sekolah swasta lain yang sejak awal berkomitmen memperhatikan yang miskin. Komitmen awal ini merupakan penoreh nurani. Guru dan pengelola sekolah memiliki ruang, kepekaan, dan spontanitas untuk memperjuangkan siswa miskin, di sekolah kaya sekalipun. Di sekolah semacam ini, siswa miskin menemukan ruang ekspresi meski ada di antara siswa kaya.

Apakah sekolah-sekolah RSBI/SBI (yang kaya itu) sejak awal juga berkomitmen dan diabdikan bagi siswa miskin? Apakah guru dan pengelola sekolah itu juga disiapkan untuk berkomitmen memperhatikan siswa miskin di antara siswa kaya? Tersediakah sarana dan cara memperjuangkan siswa miskin bagi para guru dan pengelola sekolah itu? Atau waktunya habis untuk mempertahankan pamor dan kasta sekolah? ●
◄ Newer Post Older Post ►