Pertumbuhan Minus Kesejahteraan

Pertumbuhan Minus Kesejahteraan
Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA,
ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus menorehkan rekor-rekor baru di bidang perekonomian. Pekan pertama Februari, indeks harga saham gabungan kembali menembus 4.000. Pekan kedua Februari, suku bunga acuan (SBI) turun menjadi 5,75 persen, terendah sepanjang sejarah. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2011 ekonomi tumbuh 6,5 persen, inflasi bisa ditekan 3,64 persen, dan produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 7.427 triliun. Jika PDB itu dibagi jumlah penduduk, pendapatan per kapita penduduk Indonesia 2011 mencapai US$ 3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat 17,7 persen dibanding pada 2010, atau naik 3,2 kali lipat dari 2004.

Apa makna angka-angka itu? Benarkah capaian-capaian itu merupakan manifestasi "pertumbuhan inklusif yang berkeadilan" seperti sering disampaikan Presiden SBY? Benarkah hasil-hasil itu menunjukkan ekonomi berada di jalur yang benar, seperti empat strategi SBY: pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment? Tentu capaian itu menggembirakan. Masalahnya, pendorong pertumbuhan ekonomi tak berubah: disokong sektor non-tradable (yang tidak bisa diperdagangkan), seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.

Secara sektoral, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi (10,7 persen), diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran (9,2 persen), serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (6,8 persen). Sebaliknya, sektor tradable(pertanian, pertambangan, dan manufaktur) kinerjanya rendah atau di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Industri pengolahan tumbuh 6,2 persen, pertanian (secara luas) tumbuh 3,0 persen, serta pertambangan dan penggalian 1,4 persen. Ciri semacam ini sudah berlangsung beberapa tahun.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradablevs non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradablebersifat labour base. Karena karakteristiknya seperti itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil daripada sektor tradable.

Ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, meskipun ekonomi tumbuh tinggi, penyerapan total tenaga kerja tetap rendah. Pertambahan tenaga kerja hanya mengalir ke sektor tradable, terutama pertanian. Akibatnya, sektor ini kian gurem, dan alam rusak karena terjadi eksploitasi berlebihan.

Kedua, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir pelaku ekonomi. Yang terjadi kemudian, paradoks demi paradoks. Salah satunya bisa dilihat dari disparitas antara pendapatan per kapita dan upah buruh. Jika dikonversikan ke rupiah, pendapatan per kapita pada 2011 sebesar US$ 3.542 atau setara dengan Rp 2,56 juta per bulan. Tapi, pada saat yang sama, buruh di Kabupaten Tangerang mesti turun ke jalan berkali-kali menuntut kenaikan upah minimum regional dari Rp 1.379.000 menjadi Rp 1.527.000 per bulan. Tingkat pertumbuhan yang diikuti rendahnya penyerapan tenaga kerja dan ketimpangan ekonomi merupakan era pertumbuhan minus kesejahteraan: pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Ujung dari pertumbuhan minus kesejahteraan adalah melebarnya ketimpangan. Hasilnya seperti syair lagu dangdut: "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin". Ini terlihat dari meningkatnya indeks rasio Gini (semakin tinggi indeks, ketimpangan makin tinggi): naik dari 0,32 (2004) menjadi 0,37 (2010). Sebelum krisis ekonomi 1998, indeks rasio Gini tidak pernah mencapai lebih dari 0,33. Kesenjangan akut juga tampak dari penguasaan kue ekonomi. Pada 2010, kekayaan 40 orang terkaya Rp 680 triliun (US$ 71,3 miliar), setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin (Prakarsa, 2011).

Bila dilihat lebih jauh, hanya 0,02 persen penduduk terkaya akumulasi kekayaannya setara dengan 25 persen PDB (Winters, 2011). Kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu setara dengan akumulasi kepemilikan 60 persen penduduk atau 140 juta orang. Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk dibanding kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Saat itu kekayaan 1 persen penduduk setara dengan kekayaan 28 persen penduduk. Kekayaan kian terkonsentrasi. Konsentrasi kekayaan Indonesia kini dibanding negara tetangga lain kian parah: tiga kali lebih tinggi daripada Thailand, empat kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dibanding Singapura (Winters, 2011).

Kekayaan yang kian terkonsentrasi di secuil warga juga terjadi pada aset tanah. Sementara pada 1983 indeks Gini kepemilikan tanah 0,50, pada 2003 indeks Gini mencapai 0,72. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri ini amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Konsentrasi aset itu 62-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna-tanah (tak berlahan). Jadi ketimpangan ekonomi amat parah.

Narasi ini berujung pada konklusi: empat strategi SBY hanya pro-growth, tapi tidak pro-environment, apalagi pro-poor dan pro-job. Tidak ada yang salah mengejar pertumbuhan tinggi. Namun pertumbuhan hanyalah alat, bukan tujuan pembangunan. Demikian pula pertumbuhan pendapatan nasional. Tujuan pembangunan bukan hanya soal uang. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional tinggi jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman. Karena itu, sejumlah negara mengadopsi alat baru dalam mengukur kemajuan perekonomian. Beberapa di antaranya kemiskinan, pengangguran, kelestarian lingkungan, kesehatan, dan kepuasan hidup.

Sungguh menyejukkan apabila Presiden SBY berani menginisiasi dan mengadopsi ukuran-ukuran baru keberhasilan pembangunan. Pada saat yang sama, langkah itu dibarengi dengan pelaksanaan reforma agraria untuk merombak struktur sosial-ekonomi yang timpang, seperti penulis paparkan di Koran Tempo, 8 Februari lalu. Kemudian, untuk menekan pertumbuhan dan kemiskinan, prioritas diberikan kepada sektor tradable, terutama pertanian, dengan membangun industri perdesaan, seperti disertasi Presiden SBY di Institut Pertanian Bogor: "Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal". Jika itu dilakukan, secara gradual kita akan meninggalkan "pertumbuhan minus kesejahteraan". 
◄ Newer Post Older Post ►