Mahasiswa dan Dosen Kita (Tak) Bisa Menulis?

Mahasiswa dan Dosen Kita (Tak) Bisa Menulis?
Suyanto, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA;
PLT DIRJEN PENDIDIKAN DASAR KEMENDIKBUD
Sumber : SINDO, 22 Februari 2012


Mengapa kita bisa atau tak bisa menulis? Pertanyaan ini sengaja dibuat untuk menggambarkan bahwa menulis artikel (ilmiah) memang tidak mudah.
Meski ada sedikit yang bisa, sebagian besar dari kita—siswa, mahasiswa, dan dosen sekalipun— berada pada kategori kurang bisa sampai pada tidak bisa sehingga takut untuk mencobanya. Mudah sekali untuk membuktikan itu. Ketika Dirjen Dikti Kemendikbud membuat surat edaran yang mewajibkan semua lulusan perguruan tinggi baik jenjang S-1,S-2,maupun S- 3 untuk memublikasikan karya ilmiah (skripsi, tesis, atau disertasinya) sebagai syarat kelulusan, di antara mereka banyak yang kaget,“termehek-mehek” dengan reaksi yang beraneka ragam.

Semua reaksi itu merupakan gambaran bahwa kita semua, sebagian besar,tidak dan belum bisa menulis,kecuali mereka yang bisa,tetapi tidak mau. Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman mengapa sebagian besar kita tidak bisa dan sebagian kecil saja yang bisa menulis.Memang betul kemampuan menulis tidak bisa dikarbit.Kemampuan menulis untuk kepentingan sebuah publikasi merupakan proses yang panjang. Ada beberapa syarat penting yang harus dimiliki penulis untuk menciptakan sebuah tulisan yang baik yaitu knowledge, courage, experience,dan inspiration.

Karena perlu ada ketiga aspek penting itulah, seseorang tidak bisa serta-merta selalu siap sedia dengan stok tulisan ilmiah. Jangankan menulis karya ilmiah kalau tidak memiliki keempat aspek penting tersebut, saya yakin yang bersangkutan juga tidak akan bisa menulis di rubrik pikiran pembaca di koran mana pun. Masih sedikit di antara kita yang bisa menulis ilmiah baik berupa buku maupun penerbitan ilmiah di berbagai jurnal ilmiah. Itulah sebabnya Dirjen Dikti Kemendikbud prihatin terhadap begitu rendahnya publikasi ilmiah di perguruan tinggi kita. Publication indexkita saat ini ketinggalan jauh dibanding perguruan tinggi di Singapura atau bahkan dengan Malaysia sekalipun.

Ada yang Bisa

Di antara kita ada yang telah sukses melahirkan tulisan monumental. Mengapa begitu? Jawabnya, mereka memang memiliki cukup banyak repertoir pengetahuan (knowledge) yang diderivasikan dari penguasaan ilmu pengetahuan tertentu.Namun, untuk melahirkan sebuah tulisan ilmiah,tak cukup hanya ada persediaan atau stok pengetahuan dalam kepalanya. Dalam proposisi ilmiah kondisi ini bisa digambarkan secara lugas: “it is necessary but not sufficient”.

Masih ada syarat berikutnya yaitu keberanian (courage). Kalau seseorang tidak berani menghadapi bayangan dan perasaan yang menakut- nakuti akan penerbitan tulisannya di media mana pun, tentu tidak akan lahir sebuah tulisan yang baik. Faktor berikut yang bisa mendorong orang bisa atau tidak bisa menulis adalah pengalaman (experience). Pengalaman akan semakin memperkaya kosakata, metafora, substansi, serta artikulasi materi sehingga yang bersangkutan bisa menulis dengan gaya dan materi yang mengalir begitu saja bagaikan mata air yang tak pernah kering.

Pengalaman bisa terkait dengan “jam terbang”. Meskipun demikian,pengalaman dapat dipercepat tidak harus sesuai dengan usia kronologis seseorang. Hal ini terjadi karena sumber informasi di era digital, global, dan virtual ini terbuka lebar tanpa batas bagi siapa saja. Informasi apa saja saat ini bisa diperoleh di situs internet yang jumlahnya miliaran, dan setiap hari berkembang ratusan juta mengikuti prinsip deret ukur. Karena itu, supaya mahasiswa dan atau dosen bisa menulis dengan baik, rajinlah browsing di bidangnya masing-masing di banyak situs yang relevan dengan substansi ilmu yang dikembangkannya.

Komponen penting terakhir yang harus dimiliki agar mahasiswa atau dosen bisa menulis karya ilmiah ialah dimilikinya inspirasi (inspiration) yang kuat. Hanya dengan inspirasi, orang akan bisa melakukan kegiatan menulis secara produktif. Inspirasi bisa lahir kalau seseorang berada pada kondisi yang bebas tanpa tekanan sehingga ia memiliki imajinasi yang “liar” yang kemudian ditata menjadi sebuah inspirasi positif untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Ingat, imajinasi adalah dasar utama lahirnya semua teknologi penting di dunia ini.

Sebuah mobil amat sangat mahal, dan di Indonesia masih jarang ada yang punya kecuali para hartawan, juga lahir dari imajinasi chief executive officer-nya ketika membesuk koleganya yang dirawat rumah sakit.Pada saat menunggu, dia, sang CEO itu, melihat seorang anak larilari bermain di lingkungan rumah sakit. Salah satu dari anak itu meloncat ke atas meja yang agak tinggi, dan serta merta terjun kembali karena dikejar kawan-kawannya. Apa pentingnya anak terjun dari meja bagi CEO itu?

Dia melihat anak itu terjun dari meja dengan gaya jatuh yang anggun, tanpa ada gerakan menghentak, dan tetap stabil berdirinya kembali dari posisi: merunduk, jongkok, sampai berdiri tegak sebagai akibat high impact karena tergesa dikejar kawan-kawan sepermainannya. Sejak itu CEO itu berimajinasi akan membuat suspensi mobil dengan prinsip yang memberikan kenyamanan bak anak kecil yang jatuh dengan sangat anggun dan stabilnya tadi.Singkat cerita,lahirlah teknologi suspensi, yang mewah, nyaman, dan stabil bagi sebuah mobil mewah di dunia, dan sangat mahal harganya.

Itulah imajinasi yang kemudian diolah dan diproses secara kognitif menjadi inspirasi sebuahrekayasateknologiautomotif yang memiliki unggulan kompetitif. Prinsip menulis juga seperti itu. Manakala seorang dosen atau mahasiswa telah memiliki inspirasi yang kuat disertai dengan keberanian untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, berdasarkan pengalaman positif selama ini, tak satu pun kekuatan yang bisa mencegah mereka untuk selalu menulis, dan menulis lagi.

Meski dengan tulisan itu mereka bisa saja menghadapi berbagai konsekuensi psikologis, sosiologis, maupun politis kalau saja tulisan itu akhirnya mengundang pro-kontra dan polemik yang berkepanjangan. Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa kemampuan menulis bukan persoalan apakah seseorang itu pintar atau tidak secara kognitif semata, tetapi juga menyangkutmasalahkebe-ranian, pengalaman, dan inspirasi kuat yang bisa muncul di benak para calon penulis karya ilmiah itu sendiri.

Di era global seperti saat ini memang kemampuan menulis ilmiah sangat vital bagi para mahasiswa dan dosen kita. Itulah sebabnya di kampus di mana saya pernah belajar di Amerika Serikat pada 1980-an, di semua sudut-sudut kampus itu digelorakan semangat dan visi: Publish or Perish. Semoga kita juga bisa begitu.

◄ Newer Post Older Post ►