Anak Pasti Berayah
Moh Mahfud M.D., GURU BESAR HUKUM KONSTITUSI
Sumber : SINDO, 25 Februari 2012
Salmah, sebutlah namanya begitu agar agak tersamar dari eks teman-temannya, adalah teman saya semasa kuliah di Yogyakarta pada awal 1980-an. Saat itu, sebagai mahasiswi yang cantik dia kecantol atau di-cantol oleh seorang mahasiswa ganteng, Salman, yang berasal daerah yang sama dengannya.
Karena cintanya sudah begitu mendalam dan hasratnya tak tertahankan untuk hidup bersama, menikahlah Salmah dan Salman. Tapi karena keduanya masih mahasiswa/i, mereka melakukan nikah siri (nikah diam-diam), tidak diumumkan, tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama,dan hanya orang-orang terbatas yang tahu peristiwa itu. Syahdan, dari pernikahan siri itu lahirlah anak lelaki bernama Chasib.
Pada 1984 Salman lulus sebagai sarjana, sedangkan Salmah tak bisa melanjutkan kuliahnya karena harus mengasuh Chasib. Celakanya, begitu selesai kuliah, Salman langsung pulang ke daerah asalnya dan oleh keluarganya dikawinkan secara resmi dengan gadis lain,Santi, yang konon sudah dipesan oleh orang tua Salman sejak gadis itu masih kecil.
Pada 1994, saya mendapati Salmah sudah sangat menderita, sekolahnya tak selesai, mau pulang tak berani dan malu pada keluarganya, pakaiannya kusut, wajahnya sudah kusam sama sekali tak meninggalkan bekas kecantikan, bahkan tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Salman yang sudah bekerja di kantor pemerintah tak mau lagi dihubungi oleh Salmah, tak peduli juga pada Chasib, anak kandungnya sendiri.
Salmah tak bisa bekerja karena tak punya ijazah sarjana, sedangkan ijazah SMA yang dimilikinya tak mampu menemukan formasi. Sekarang ini dia sering bekerja sebagai pencuci pakaian dari rumah ke rumah, terutama rumah beberapa eks teman kuliahnya, dan kadang kala menjadi tukang pijit amatiran untuk sekadar mendapat upah. Yang lebih memilukan adalah Chasib, anak hasil kawin siri yang kemudian diingkari itu.
Anak tersebut sulit mendapat sekolah karena selain tak punya biaya, dia hanya hidup dengan ibunya yang tidak punya pekerjaan tetap. Setiap mau bersekolah dia selalu ditanyai “akta kelahiran”. Dia tidak mempunyai akta kelahiran karena ayahnya tak mau melakukan itsbat (pengakuan) sebagaimana dipersyaratkan bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang resmi jika ingin memiliki akta kelahiran dan mempunyai hubungan dan hak-hak keperdataan dengan ayahnya.
Akta kenal lahir yang kemudian dimilikinya hanya menyebutkan dia adalah anak dari seorang ibu bernama Salmah, tidak ada nama ayahnya. Kasihan Salmah, kasihan Chasib. Keduanya telah menjadi korban dari seorang lelaki egois yang lari dari tanggung jawab secara kejam dengan berlindung di bawah ketentuan administrasi sahnya perkawinan.
Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, anak yang lahir di luar pernikahan yang resmi (dicatatkan) hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Chasib, oleh UU, dinyatakan tak mempunyai hubungan perdata dengan Salman,ayah biologisnya. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 43 (1) UU No 1/1974 yang diajukan Machicha Mochtar.
Machicha dan anaknya M Ikbal mengaku tertimpa nasib yang sama dengan Salmah dan Chasib. Diyakini bahwa banyak di Indonesia kaum hawa dan anak-anak yang bernasib seperti itu tertimpa kemalangan karena ketidakadilan dalam pengaturan hukum. Mungkin pembentuk UU No 1/1974 bermaksud baik, yakni mencegah lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud mencegah perempuan agar tidak mau dinikahi secara siri.
Tapi dalam faktanya masih sangat banyak orang yang melakukan kawin siri dengan mengorbankan banyak wanita dan anak-anak dengan alasan kawin siri itu sah menurut agama. Padahal yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan darinya. Menurut MK, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena tidak adil dan melanggar moralitas hukum.
Anak yang lahir dari nikah siri tidak boleh diperlakukan tidak adil dan ditelantarkan dengan seenaknya, sebab dia sendiri tak pernah minta dilahirkan oleh siapa pun dan dengan prosedur apa pun. Dia dilahirkan sebagai akibat alamiah dari hubungan badan antara ayah dan ibunya.Kalau dalam agama Islam, Nabi Muhammad mengatakan,“Setiap bayi itu lahir dalam keadaan suci,” sehingga tak boleh dilanggar hak-hak dan martabatnya, tak ada anak haram atau anak kotor.
Dengan vonis MK itu,setiap anak yang dilahirkan dari seorang ibu dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdasar alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina.
Pokoknya, siapa pun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya. Maka menjadi tidak benar kalau dikatakan bahwa vonis MK itu melegalkan perzinaan. Justru vonis tersebut dimaksudkan untuk mencegah perzinaan, terutama mencegah kaum lelaki agar tak sembarang main tembak. ●
Pada 1984 Salman lulus sebagai sarjana, sedangkan Salmah tak bisa melanjutkan kuliahnya karena harus mengasuh Chasib. Celakanya, begitu selesai kuliah, Salman langsung pulang ke daerah asalnya dan oleh keluarganya dikawinkan secara resmi dengan gadis lain,Santi, yang konon sudah dipesan oleh orang tua Salman sejak gadis itu masih kecil.
Pada 1994, saya mendapati Salmah sudah sangat menderita, sekolahnya tak selesai, mau pulang tak berani dan malu pada keluarganya, pakaiannya kusut, wajahnya sudah kusam sama sekali tak meninggalkan bekas kecantikan, bahkan tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Salman yang sudah bekerja di kantor pemerintah tak mau lagi dihubungi oleh Salmah, tak peduli juga pada Chasib, anak kandungnya sendiri.
Salmah tak bisa bekerja karena tak punya ijazah sarjana, sedangkan ijazah SMA yang dimilikinya tak mampu menemukan formasi. Sekarang ini dia sering bekerja sebagai pencuci pakaian dari rumah ke rumah, terutama rumah beberapa eks teman kuliahnya, dan kadang kala menjadi tukang pijit amatiran untuk sekadar mendapat upah. Yang lebih memilukan adalah Chasib, anak hasil kawin siri yang kemudian diingkari itu.
Anak tersebut sulit mendapat sekolah karena selain tak punya biaya, dia hanya hidup dengan ibunya yang tidak punya pekerjaan tetap. Setiap mau bersekolah dia selalu ditanyai “akta kelahiran”. Dia tidak mempunyai akta kelahiran karena ayahnya tak mau melakukan itsbat (pengakuan) sebagaimana dipersyaratkan bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang resmi jika ingin memiliki akta kelahiran dan mempunyai hubungan dan hak-hak keperdataan dengan ayahnya.
Akta kenal lahir yang kemudian dimilikinya hanya menyebutkan dia adalah anak dari seorang ibu bernama Salmah, tidak ada nama ayahnya. Kasihan Salmah, kasihan Chasib. Keduanya telah menjadi korban dari seorang lelaki egois yang lari dari tanggung jawab secara kejam dengan berlindung di bawah ketentuan administrasi sahnya perkawinan.
Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, anak yang lahir di luar pernikahan yang resmi (dicatatkan) hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Chasib, oleh UU, dinyatakan tak mempunyai hubungan perdata dengan Salman,ayah biologisnya. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 43 (1) UU No 1/1974 yang diajukan Machicha Mochtar.
Machicha dan anaknya M Ikbal mengaku tertimpa nasib yang sama dengan Salmah dan Chasib. Diyakini bahwa banyak di Indonesia kaum hawa dan anak-anak yang bernasib seperti itu tertimpa kemalangan karena ketidakadilan dalam pengaturan hukum. Mungkin pembentuk UU No 1/1974 bermaksud baik, yakni mencegah lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud mencegah perempuan agar tidak mau dinikahi secara siri.
Tapi dalam faktanya masih sangat banyak orang yang melakukan kawin siri dengan mengorbankan banyak wanita dan anak-anak dengan alasan kawin siri itu sah menurut agama. Padahal yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan darinya. Menurut MK, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena tidak adil dan melanggar moralitas hukum.
Anak yang lahir dari nikah siri tidak boleh diperlakukan tidak adil dan ditelantarkan dengan seenaknya, sebab dia sendiri tak pernah minta dilahirkan oleh siapa pun dan dengan prosedur apa pun. Dia dilahirkan sebagai akibat alamiah dari hubungan badan antara ayah dan ibunya.Kalau dalam agama Islam, Nabi Muhammad mengatakan,“Setiap bayi itu lahir dalam keadaan suci,” sehingga tak boleh dilanggar hak-hak dan martabatnya, tak ada anak haram atau anak kotor.
Dengan vonis MK itu,setiap anak yang dilahirkan dari seorang ibu dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdasar alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina.
Pokoknya, siapa pun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya. Maka menjadi tidak benar kalau dikatakan bahwa vonis MK itu melegalkan perzinaan. Justru vonis tersebut dimaksudkan untuk mencegah perzinaan, terutama mencegah kaum lelaki agar tak sembarang main tembak. ●