Misteri Rekaman CCTV


Misteri Rekaman CCTV
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK, UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
Sumber : JAWA POS, 23 Februari 2012




SEORANGgembong preman diciduk polisi dengan sebuah luka tembak di kaki. Peristiwa itu mengejutkan sekaligus mengagumkan. Mengejutkan, mengingat sudah relatif lama masyarakat tidak menyaksikan operasi polisional yang dahsyat sejak penangkapan tersangka-tersangka pelaku teror beberapa waktu silam. Juga mengagumkan, karena polisi tentu tahu konsekuensi yang mereka hadapi akibat kemungkinan aksi balasan dari anggota kelompok tersebut.

Rekaman CCTV, seperti yang ditayangkan berbagai media visual elektronik, menyajikan cuplikan-cuplikan mendebarkan -bahkan, hingga beberapa segi, menciutkan nyali-menjelang dan setelah pembunuhan di kamar hotel itu berlangsung. Dari rekaman CCTV hotel itu pula dapat diangkat sejumlah pertanyaan tentang kemungkinan kepribadian dan rasionalitas si bos preman. Juga dinamika psikologis yang berlangsung antara dia (dan para anak buahnya) dengan korban di dalam kamar. Begitu pula spekulasi tentang ada tidaknya pihak-pihak tertentu di atas dia.

Pertama, bagaimana kendali emosi si gembong? Di salah satu media nasional dia mengaku gemar berkelahi. Karena perilaku buruknya itu, dia dikeluarkan dari sekolah. Dari situ tergambar faktor predisposisi dia, yakni bisa bertemperamen buruk yang mewujud ke dalam pembawaan mudah marah dan biasa langsung mengekspresikan secara terbuka amarahnya.

Dengan kepribadian sedemikian rupa, publik dapat menilai bahwa pembunuhan terhadap pengusaha di kamar hotel itu, baik dengan tangan dia ataupun lewat tangan anak buahnya, merupakan buah watak si gembong yang sangat eksplosif. Sampai di sini kejadian keji itu menjadi masuk akal.

Kedua, bagaimana rasionalitasnya? Lazimnya, ada asumsi bahwa pelaku kejahatan adalah individu berakal sehat dengan tingkat kecerdasan yang memadai. Seorang (calon) pelaku akan mengalkulasi terlebih dahulu unsur target, insentif, sumber daya, dan risiko terkait dengan misi kejahatan yang akan dijalankannya.

Khusus mengenai risiko, si (calon) pelaku harus dapat meyakinkan dirinya bahwa risiko memang ada dan dapat dikendalikannya. Semakin kuat perhitungan bahwa risiko dapat diatasi, semakin tinggi pula kemungkinan dia merealisasikan rencananya. Risiko dimaksud tidak sebatas kemungkinan buruk yang bisa dia hadapi saat aksi tengah berlangsung, melainkan juga risiko setelah aksi dilakukan. Yakni, risiko yang dapat menggagalkannya melarikan diri.

Menonton ulang rekaman CCTV hotel, ihwal rasionalitas si preman justru membangkitkan syak wasangka!

Dia, hampir bisa dipastikan, tahu persis kaliber hotel yang dikunjunginya. Di hotel sekelas itu sistem pengamanan tentu jauh lebih canggih daripada hotel kelas melati. Kamera pengintai dipasang di titik-titik strategis, yang memungkinkan siapa pun terpantau gerak-geriknya. Hal itu seperti tampak di rekaman CCTV hotel tersebut.

Atas dasar itu, sulit diterima nalar bahwa dia memilih melakukan aksi berdarah pada malam jahanam itu di hotel tersebut. Terlebih peristiwa maut itu terjadi di dalam kamar hotel. Selain itu, media mewartakan bahwa kamar dipesan atas nama dia sendiri. Dengan demikian, peluang terungkapnya diri pelaku menjadi sangat dan semakin besar.

Mungkinkah perhitungan dia hanya sampai pada mencabut nyawa korban? Tidakkah dia berpikir lebih jauh bahwa dia, sebagaimana pelaku kriminalitas umumnya, masih harus melarikan diri dan menghilangkan bukti agar dapat lolos dari kejaran penegak hukum? Saya bisa saja keliru, tapi saya cenderung menjawab "tidak mungkin" untuk pertanyaan pertama, dan "ya, seharusnya demikian" untuk pertanyaan kedua.

Berangkat dari uraian di atas, dengan mengombinasikan aspek kepribadian dan rasionalitas, beberapa spekulasi dapat dibangun.

Spekulasi pertama, si bos preman pada awalnya tidak bermaksud menghabisi si korban, baik dengan tangannya sendiri maupun tangan orang lain. Itu karena dia tahu persis bahwa hotel sekaliber yang dia kunjungi tersebut memiliki sekian banyak instrumen pengintai yang merekam keberadaan dirinya.

Namun, di kamar hotel, dalam interaksi antara dia dan korbannya, terjadi perubahan situasi secara drastis yang mengakibatkan rasionalitas tersingkir dan digantikan penguasaan kepribadiannya yang sepertinya sangat temperamental itu. Perilakunya, dengan kata lain, mendadak sontak menjadi sangat irasional.

Dengan spekulasi sedemikian rupa, tindak-tanduk korban di kamar hotel menjadi relevan untuk diketahui. Tidak tertutup kemungkinan, reaksinya yang berubah tajam dalam waktu singkat disebabkan oleh perasaan marah, tersinggung, dan sejenisnya yang dipicu korban.

Ini laksana collateral damage. Dari yang semula pertemuan dimaksudkan tanpa kekerasan, atau pertemuan yang menurut rencana dibumbui kekerasan yang tak mematikan, berubah sekejap mata menjadi tragedi. Tragedi yang awalnya tidak diduga oleh siapa pun, betapapun ada pihak yang membawa senjata di situ.

Dalam ilustrasi sedemikian rupa, terlihat bahwa faktor predisposisi (kepribadian) dia memang berinteraksi dengan faktor situasi. Kendati tidak ada keterlibatan niat yang nyata dari dia untuk mematikan seseorang.

Spekulasi kedua, rasionalitas berfungsi paralel dengan kepribadiannya. Kalkulasi akal sehatnya selaras dengan kepribadian. Dia telah berencana bahwa dia memang akan menampilkan perilaku brutal di hotel tersebut. Meskipun dia tahu pasti sistem pengamanan hotel sangat mungkin merekam sepak terjangnya, mulai masuk hingga ke luar hotel.

Si pelaku, dan anak buahnya, juga tidak terlihat mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar bukti-bukti hilang, sehingga dia menjadi tak terlacak oleh aparat hukum dengan begitu mudahnya. Tubuh korban, misalnya, ditinggal begitu saja di dalam kamar.

Nah, mengapa dia bertingkah laku sedemikian rupa? Spekulasinya adalah karena si pelaku, hingga malam itu, masih tidak merasa perlu menghindari kejaran hukum. Apabila ini yang ada dalam benak si pelaku, terbenarkan sudah kasak-kusuk mulai kedai kopi hingga ruang kantor di gedung tinggi: hukum telah dikangkangi. Allahu a'lam. ●
◄ Newer Post Older Post ►