Likuiditas dan Paradoks Kemakmuran


Likuiditas dan Paradoks Kemakmuran
A Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 22 Februari 2012


Di tengah musim dingin yang ganas, negara-negara di kawasan Eropa masih saja bergulat dengan berlanjutnya krisis ekonomi yang tak kalah ganas. Bank Dunia memperkirakan pada 2012, kawasan ini akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0,3 persen.

Dana Moneter Internasional (IMF) melihat, implikasi berlarutnya krisis Eropa ini adalah menurunkan proyeksi pertumbuhan global dari 4 persen menjadi 3,3 persen. Sebaliknya, Indonesia justru sedang memasuki musim semi perekonomian yang menggairahkan.

Pertama, predikat investment grade (layak investasi) dari Moody’s Investors Service dan Fitch Ratings yang diperoleh kembali setelah 14 tahun diyakini akan mendorong investasi, baik investasi portofolio di pasar uang maupun investasi langsung (foreign direct investment). Kedua, tingginya kinerja pertumbuhan di atas 6 persen telah membuat pendapatan per kapita penduduk Indonesia naik menjadi sekitar 3.500 dollar AS per tahun. Kian jelas, kita sudah masuk dalam jajaran kelompok negara berpenghasilan menengah (middle income countries).

Meski demikian, gugatan terus muncul terkait dengan buruknya kinerja pemerintah. Benarkah predikat layak investasi membuktikan tidak terjadi fenomena otopilot? Atau ini justru membuktikan sebaliknya?

Apakah kemakmuran yang masih akan berlanjut ke depan tidak mengandung paradoks? Banyak kekhawatiran adanya paradox of plenty ini. Jangan-jangan meski likuiditas membanjir dan kemakmuran meningkat, sejatinya ekonomi kita rapuh.

Negara Otopilot?

Istilah otopilot muncul beberapa kali dalam publikasi Bank Pembangunan Asia (2010) berjudul Asia 2050: Realizing the Asian Century. Laporan ini menunjukkan terjadinya perubahan lanskap pertumbuhan global di mana episentrum akan berpindah dari negara-negara maju ke kawasan Asia.

Pusat-pusat keuangan akan bergesar ke Asia, ditandai dengan membanjirnya likuiditas ke kawasan tersebut. Dengan demikian, perekonomian Asia akan maju, bahkan tanpa perlu kerja keras pemerintah sekalipun.

Argumen otopilot sebenarnya bersifat hipotetis. Secara alamiah, China dan India akan menjadi negara terbesar di dunia, sementara negara-negara lain, seperti Indonesia, akan masuk fase pertumbuhan tinggi.

Meski demikian, jika pemerintah masing-masing negara tidak menyelesaikan persoalan sosial dan politik, mereka akan masuk dalam ”jebakan negara berpenghasilan menengah” (middle-income trap). Artinya, tidak akan terjadi transformasi menuju negara maju. Boleh dibilang, negara-negara ini gagal memanfaatkan momentum melakukan transisi. Indonesia, tentu saja, masuk dalam daftar negara berisiko tersebut.

Indikasi mengarah pada negara otopilot cukup jelas. Pertama, meskipun likuiditas akan terus mengalir deras akibat predikat investment grade, kesulitan menjalankan usaha di Indonesia justru meningkat.

Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia 2012 versi International Finance Corporation (IFC)-Bank Dunia menunjukkan penurunan 3 peringkat menjadi 129 dari 183 negara. Bandingkan dengan Thailand (17), Malaysia (18), dan Vietnam (98). Demikian pula, peringkat daya saing 2011-2012 versi Forum Ekonomi Dunia juga melorot 2 tingkat menjadi 46 dari 142 negara. Sementara Thailand (39) dan Malaysia (21).

Kedua, meskipun penghasilan pendapatan per kapita naik menjadi 3.542,9 dollar AS pada 2011, indeks pembangunan manusia (IPM) justru melorot dari 108 menjadi 124 dari 187 negara.

Membaiknya pendapatan per kapita belum dinikmati oleh sebagian besar penduduk. Simulasinya sederhana. Jika mengikuti besaran pendapatan per kapita, rata-rata penduduk Indonesia menerima penghasilan sebesar Rp 2,56 juta per bulan. Siapakah mereka?

Tentu saja bukan kelompok buruh mengingat rata-rata upah umum regional hanya sekitar Rp 1,4 juta. Bagaimana dengan kelas menengah? Bank Dunia mengelompokkan penduduk dengan penghasilan 2 dollar AS-20 dollar AS per hari sebagai kelas menengah. Dalam definisi itu, ada sekitar 134 juta jiwa. Namun, kelompok dengan penghasilan 10 dollar AS-20 dollar AS per hari atau sekurang-kurangnya 3.600 dollar AS per tahun hanya 1,3 persen dari total penduduk. Mereka adalah kelompok kelas menengah atas (upper middle class).

Agak ironis, pendapatan per kapita ternyata mencerminkan pendapatan kelas menengah atas. Secara intuitif, segera bisa ditemukan adanya indikasi kesenjangan sosial yang serius. Inilah gejala yang oleh JM Keynes disebut sebagai counter-intuitive, tak sesuai akan sehat.

Produk domestik bruto (PDB) memang tumbuh cukup pesat. Namun, secara sektoral terlihat adanya kesenjangan. Pada 2011, PDB tumbuh 6,5 persen atau secara nominal Rp 7.427,1 triliun. Inilah kinerja perekonomian terbaik sejak 15 tahun terakhir.

Industri transportasi dan telekomunikasi tumbuh paling pesat, 10,69 persen, disusul industri perdagangan, hotel dan restoran 9,18 persen. Sebaliknya, sektor pertanian hanya tumbuh 2,98 persen. Sektor jasa melesat, sementara sektor pertanian dan manufaktur terganjal persoalan daya saing.

Stabilitas makroekonomi telah membuat Indonesia masuk dalam daftar negara yang layak investasi. Likuiditas dan penanaman modal asing akan meningkat pesat di masa depan. Dampaknya adalah meningkatnya kemakmuran secara agregat.

Risiko

Meski demikian, jika semua ini tidak diiringi dengan peningkatan pasokan produksi domestik atau peningkatan produktivitas, akan ada risiko serius. Pertama, Indonesia benar-benar akan menjadi pasar dari modal asing yang masuk, baik lewat investasi portofolio maupun investasi asing langsung. Kedua, dalam jangka menengah, stabilitas makro akan tergerus.

Neraca perdagangan akan defisit, cadangan devisa berkurang, sementara gejolak di sektor keuangan meningkat. Lembaga pemeringkat memang melihat proyeksi perekonomian dalam jangka panjang, tetapi bias dengan indikator stabilitas makro. Sementara indikator produktivitas dan daya saing bukanlah acuan pokok karena mereka lebih melayani kepentingan penanaman modal di sektor keuangan. Bukan sektor riil.

Lihat saja, negara-negara maju yang sebenarnya sudah tidak memiliki daya saing di sektor riil masih dianggap sebagai pemegang peringkat utang paling aman. Negara maju membangun basis stabilitas dengan tingkat produktivitas yang rendah sehingga rentan krisis. Kita harus belajar dari kesalahan negara-negara maju dengan memanfaatkan masuknya likuiditas asing yang akan membanjir untuk membangun produktivitas domestik, diiringi dengan peningkatan daya saing.

Pada 1990, Robert Lucas (penerima Nobel Ekonomi 1995), mengajukan pertanyaan: mengapa modal justru mengalir dari negara miskin ke negara maju? Karena di negara berkembang tidak tersedia pasokan infrastruktur yang memadai dan birokrasinya terlalu kaku. Jangan-jangan, Indonesia akan mengalami paradoks kapital tersebut lebih cepat dari dugaan kita.

Pemerintah beradu cepat dengan lenturnya modal yang sekarang sedang menikmati masuk ke Indonesia. Tak banyak waktu tersisa. Pemilu 2014 sudah semakin dekat. ●
◄ Newer Post Older Post ►