Mendamba Hakim Agung


Mendamba Hakim Agung
I Habib Aboe Bakar Al Habsyi, ANGGOTA KOMISI III DPR RI
Sumber : REPUBLIKA, 21 Februari 2012


Sekitar satu pekan lalu, saya mendapatkan pesan melalui Blackberry Messenger (BBM) dari seorang kawan yang menceritakan kisah Hakim Marzuki dan nenek yang dituduh mencuri singkong. Menurut pesan tersebut, kasus ini terjadi pa da 2011 lalu di Kabupaten Prabumulih, Lampung. Alkisah, di ruang sidang pengadilan, Hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar. Namun, manajer PT Andalas Kertas tetap pada tuntutannya agar menjadi contoh bagi warga lainnya.

Hakim Marzuki menghela napas. Dia memutus di luar tuntutan jaksa PU, “Maafkan saya,” katanya sambil memandang nenek itu. “Saya tak dapat membuat pengecualian hukum. Hukum tetap hukum, jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda Rp 1 juta dan jika Anda tidak mampu bayar, maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa.”

Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Hakim Marzuki mencopot topi toga lalu membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada hadirin. “Saya atas nama pengadilan menjatuhkan denda ke pada tiap orang yang hadir di ruang si dang ini sebesar Rp 50 ribu sebab menetap di kota ini dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya. Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa.”

Sampai palu diketuk dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itu pun pergi dengan mengantongi uang Rp 3,5 juta, termasuk uang Rp 50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT Andalas Kertas. Sungguh sayang kisahnya luput dari pers. Kisah ini sungguh menarik sekiranya ada teman yang bisa mendapatkan dokumentasi kisah ini bisa di-share di media untuk jadi contoh hakim berhati mulia.

Memang banyak kejanggalan dari pesan BBM tersebut. Pertama, daerah Prabumulih tidak berada di Lampung, tapi di Sumatra Selatan. Kedua, PT Andalas di Prabumulih tidak memproduksi kertas, tapi logam. Ketiga, Grup Bakrie tidak pernah terjun dalam bisnis kertas. Keempat, hakim Indonesia tidak memakai topi. Kelima, hakim di Indone sia tidak mungkin memutus ultra petita. Berbagai kejanggalan tersebut akan mendorong kita untuk menyimpulkan bahwa pesan BBM tersebut hanya hoax belaka.

Terlepas mengenai kebenarannya, cerita dalam BBM tersebut sangat meng inspirasi setiap orang yang membacanya. Keberanian hakim dalam melakukan terobosan hukum tidak hanya bersifat legal positivism, namun juga menyentuh aspek humanisme yang bersifat solutif. Putusan yang dibuat hakim tidak hanya untuk menegakkan aturan yang ada, na mun juga mencari solusi atas persoalan yang sedang dialami.

Tak dapat dipungkiri, banyak sekali cerita sejenis yang telah terjadi di Indonesia. Sebut saja cerita Nenek Rasminah yang dibui selama 130 hari karena dituduh mencuri enam buah piring. Juga kisah Nenek Minah yang divonis satu bulan karena mencuri tiga biji ka kao untuk bertahan hidup.

Hadirnya cerita dalam BBM tersebut mampu memberi angin surga kepada para pembacanya meskipun hanya sesaat. Seolah kita hanya bisa mengan dai-andai bila para hakim kita memiliki sensitivitas yang cukup terhadap rasakeadilan masyarakat. Namun, harapan inilah yang membuat para pembaca pesan BBM ini tetap melanjutkan pesan tersebut kepada kawan dan kerabatnya sehingga menjadi pesan berantai. Setidaknya, ini sebagai simbol sebuah harapan, kisah ini akan mampu mengilhami para wakil Tuhan di muka bumi ini.

Entah sengaja atau tidak, pesan BBM tersebut beredar menjelang pemilihan Ketua Mahkamah Agung (MA). Sehingga, pesan ini seakan merupakan sindiran bahwa cara berpikir yang dimiliki oleh para hakim masih dalam kerangka posi tivisme hukum. Hukum hanya dikonsepkan sebagai lawyer’s law, dalam arti, hukum identik dengan undang-undang, proses hukum harus berjalan menurut aturan dan logika (rule and logis), hanya undang-undanglah yang dipandang mampu menertibkan masyarakat.

Sepertinya, ada pesan tersembunyi dari BBM berantai tersebut bahwa Hatta Ali sebagai pemimpin baru di MA harus mampu membawa lembaga tersebut menjadi mahkamah yang agung. Seolah tersemat harapan bahwa di kepemim pinan Hatta Ali ini, MA harus mampu menjadikan para hakimnya semakin progresif, yaitu para wakil Tuhan yang mengikuti perkembangan dan dinamisasi rasa keadilan masyarakat. Sehingga, para hakim kita bukan lagi se adar la bouche de la loi(corong undang-undang).

Para pengirim pesan BBM tersebut seolah berharap agar Hatta Ali menjadikan hakim-hakim di bawahnya seperti Marzuki yang punya nurani yang mampu mengharmonisasi keadilan hukum (gerechtigkeit), kepastian hukum (Rech tessisherkeit), dan kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit). Sehingga, putusan Marzuki tak hanya mengikuti apa kata pasal-pasal belaka, namun memberikan solusi atas persoalan hukum yang diha dapkan padanya.  
◄ Newer Post Older Post ►