Paradigma Baru Pembangunan


Paradigma Baru Pembangunan
Vishnu Juwono, KANDIDAT DOKTOR UNTUK BIDANG SEJARAH INTERNASIONAL
DI LONDON SCHOOL OF ECONOMICS AND POLITCAL SCIENCE (LSE), LONDON, INGGRIS
Sumber : SINDO, 25 Februari 2012



Ada dua peristiwa menarik pada awal Februari 2012 di London, Inggris yang membuat penulis merasa beruntung karena dapat menimba pengetahuan dari dua tokoh nasional yang dikenal dengan kepakarannya di bidang ekonomi dan tentu saja kiprahnya dalam forum internasional serta organisasi internasional.
Pertama adalah kuliah umum oleh Sri Mulyani Indrawati di London School of Economics (LSE), Inggris dalam kapasitasnya sebagai direktur pelaksana Bank Dunia pada 7 Februari 2012. Sedangkan kesempatan lain, penulis dengan bantuan KBRI London mendapatkan waktu berdiskusi dengan Prof Emil Salim,Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Beliau hadir dengan kapasitasnya sebagai pemenang Blue Planet Awards yang diberikan oleh The Asahi Glass Foundation pada 8 Februari 2012. Dari kuliah umum Sri Mulyani dan diskusi dengan Prof Emil Salim, keduanya beranggapan bahwa terjadi pergeseran paradigma baru dalam pembangunan ekonomi.

Kedua tokoh ini beranggapan bahwa pembangunan ekonomi sudah tidak bisa lagi hanya berorientasi terhadap indikator makroekonomi dan keuangan seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tingkat inflasi,dan stabilitas kurs mata uang. Pendekatan pembangunan saat ini lebih bersifat multidimensional: pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata; pengendalian tingkat inflasi dibarengi dengan pengurangan tingkat kemiskinan;

penerapan kebijakan anggaran yang sehat— misalnya dengan pengurangan subsidi bahan bakar—diikuti dengan penyaluran bantuan darurat terhadap golongan masyarakat miskin yang terkena dampak besar dari kebijakan ini. Kedua tokoh tersebut juga menekankan bahwa dinamika global politik yang berubah juga membuat pemerintah tidak bisa menjadi aktor tunggal dalam formulasi serta eksekusi dari kebijakan pembangunan ekonomi.

Fenomena Arab Spring menunjukkan bahwa masyarakat sipil dengan memanfaatkan teknologi komunikasi terbaru di antaranya social media lebih terberdayakan sehingga dapat secara terorganisasi dan berkala menuntut pertanggungjawaban dari rejim pemerintah dalam suatu negara.Pemerintah harus memosisikan diri sebagai mitra dengan kelompok masyarakat sipil, parlemen, serta badan audit negara untuk menjalankan program pembangunan ekonomi.

Seperti yang disampaikan Prof Emil Salim, masalah paling utama dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan dalam skala global adalah ada ego sektoral pada organisasiorganisasi internasional.Padahal seharusnya mereka berperan besar untuk mengoordinasi serta mengimplementasikan sumber daya baik finansial maupun nonfinansial terutama dari negara-negara maju.

Dana Moneter Internasional (IMF) terlalu fokus pada stabilitas moneter dan finansial, Bank Dunia sibuk dengan usaha mengakselerasi pertumbuhan ekonomi,Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengalami kesulitan memobilisasi badan-badan terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang berada di bawah koordinasinya. Akibat pengotakan pekerjaan ini,perwujudan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global masih menghadapi tantangan yang berat.

Konteks Indonesia

Sudah menjadi rahasia umum bahwa koordinasi pada unit-unit kerja pemerintah merupakan tantangan yang teramat besar bagi pemerintah kita. Selain itu, permasalahan ego sektoral juga mempersulit terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang maksimal. Prof Emil Salim memberikan contoh bagaimana ego sektoral pada tingkat global juga membawa implikasi pada tingkat nasional.

Contohnya, Kementerian Keuangan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional yang sering terlibat dalam pertemuan dengan Bank Dunia sulit berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) sehubungan keterlibatan BI dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada level pemerintahan daerah kita dapat melihat bagaimana kebijakan transportasi terintegrasi di Jakarta yang sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya tidak dapat terwujud pada era dua periode lima tahun Gubernur Sutiyoso dan menjelang berakhirnya lima tahun periode gubernur saat ini yaitu Fauzi Bowo.

Masalah utamanya adalah sulitnya koordinasi serta ego sektoral antara Pemerintah Daerah DKI,Kementerian Pekerjaan Umum,Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, serta beberapa unit kerja pemerintah lainnya. Jika mengacu pada statistik indikator makroekonomi dari Bank Dunia dalam laporan triwulanan perekonomian Indonesia pada Desember 2011, akan ditemukan indikator yang cukup positif dari segi aspek makroekonomi.

Pada 2011 pertumbuhan domestik bruto (PDB) kita sebesar 6,1% dengan tingkat inflasi mendekati 4%, serta tingkat kurs mata uang cenderung stabil di kisaran sekitar Rp9.000 per USD. Namun,walaupun terjadi tren penurunan, laporan Bank Dunia tersebut juga menginformasikan bahwa tingkat kemiskinan masih di atas 10% serta tingkat pengangguran masih lebih dari 6% angkatan kerja.

Guna merespons kondisi perekonomian tersebut,dalam tataran konsep pemerintah saat ini sadar akan pentingnya perwujudan dari visi pembangunan berkelanjutan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan bahwa pemerintah saat ini menerapkan kebijakan pembangunan tiga arah yakni progrowth, projobs,dan propoor.Selain itu dalam menciptakan lapangan pekerjaan, formulasi kebijakan dan strateginya harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan hidup (proenvironment).

Dalam menindaklanjuti kebijakan pembangunan ekonomi tiga arah ini, pemerintah telah mengambil langkah penting dengan mengeluarkan kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah juga sedang menggodok Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dan nanti diharapkan pula ada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pemeliharaan Lingkungan.

Namun, yang lebih krusial adalah eksekusi berbagai masterplan ini dengan menggerakkan birokrasi secara efektif dan bersih dari korupsi, juga mengajak berbagai macam pemangku kepentingan dan membebaskan unit-unit kerja pemerintah dari ego sektoral untuk dapat bekerja sama sebagai satu tim.
◄ Newer Post Older Post ►