Galau Presiden Jerman di Jakarta

Galau Presiden Jerman di Jakarta
Ardi Winangun, ASSOCIATE PENELITI DI LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERANGAN EKONOMI DAN SOSIAL (LP3ES)
Sumber : JAWA POS, 20Februari 2012



AWAL Desember 2011, Christian Wulff, presiden Republik Federal Jerman, mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Saat mengunjungi salah satu lembaga negara, MPR, banyak hal yang ditanyakan Wulff kepada Ketua MPR Taufik Kiemas dan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari. Misal, soal demokratisasi di Indonesia dan hubungan antara Islam dan demokrasi.

Ada pertanyaan lain Wulff yang menarik, yakni apakah banyak politikus di Indonesia yang menggunakan Facebook dan Twitter. Hajriyanto menjawab bahwa pengguna Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain di Indonesia 60 juta, setara jumlah penduduk Jerman. Tentu saja dari sebanyak itu, ada juga para politikus yang memanfaatkan jejaring sosial. Kritik di jejaring sosial atas politik Indonesia sering sangat keras. "Meski demikian, kami belum merasa terganggu dengan adanya Facebook dan Twitter," ujarnya.

Wulff pun manggut-manggut. Pertanyaan Wulff itu bukan semata dalam konteks pertanyaan perbandingan gerakan demokratisasi di Mesir yang menggunakan Facebookdan Twitter untuk menggalang massa. Tetapi, bisa jadi bentuk kegelisahan akan nasibnya.

Terbongkarnya skandal penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Wulff pada 2008, yaitu dirinya menerima bantuan kredit rumah dengan suku bunga rendah senilai EUR 500 ribu (Rp 5,9 miliar) dari istri pengusaha kaya, Ego Geerkens, membuat Wulff mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden Jerman pada Februari 2012. Pemberian diskon spesial kepada pejabat memang bisa masuk ranah korupsi. Kasus Wulff itu terjadi ketika dia menjabat sebagai perdana menteri Lower Saxony.

Kasus itu terbongkar ketika harian Bild memberitahukan masalah tersebut pada 13 Desember 2011. Penyalahgunaan kekuasaan Wulff tidak saja muncul di Bild, tetapi juga banyak politikus serta anggota majelis tinggi dan majelis rendah (parlemen) Jerman yang sering menulis status di Facebook dan berkicau di Twitter, termasuk mengenai penyalahgunaan yang dilakukan Wulff. Status di Facebook dan kicauan di Twitter itulah yang membuat Wulff galau sehingga sampai "curhat" saat berkunjung di Indonesia.

Penyalahgunaan kekuasaan di Jerman merupakan sebuah aib tak termaafkan sehingga hal demikian membuat Wulff mengundurkan diri. Sampai-sampai menjadi bahan lawakan komedian Jerman. Nama Wulff dipelesetkan menjadi wulffen yang artinya mengambil tanpa membayar.

Namun, langkah undur diri Wulff bagi politikus di Indonesia bisa saja dianggap sebagai langkah yang "aneh". Siapa tahu politikus Indonesia mengira Wulff belum "balik modal" untuk membiayai proses terpilihnya menjadi presiden Jerman? Politisi Indonesia, meski sudah terindikasi melakukan korupsi miliaran rupiah, masih saja tidak mengakui dan tidak mau mundur.

Mereka tetap bertahan dengan alasan belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Tak peduli pelanggaran etikanya sudah terang-benderang. Mereka buying time atau mengulur-ulur waktu atau berkelit agar bisa selamat. Padahal, Wulff, sampai dirinya mundur, belum dijamah oleh hukum meski hanya dengan status saksi. Kesadaran etikanya terusik. Bangsa yang beradab memang tak hanya mengagungkan hukum, tetapi juga etika.

Langkah Wulff itu menunjukkan lebih mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Bila Wulff mementingkan kepentingan diri dan partainya, mungkin dia akan bertahan. Dan, kalau dia bertahan, pasti lembaganya ikut "tersandera". Pejabat kita yang terindikasi korupsi lebih suka "menyandera" institusinya demi pertahanan diri. Tak peduli suara-suara sengit di Facebook, Twitter, koran, televisi, atau media lain.

Wikipedia menyebut, Jerman adalah anggota G-8, G-20, yang menduduki urutan keempat dalam produk domestik bruto dan urutan kelima dalam keseimbangan kemampuan berbelanja (2009), urutan kedua negara pengekspor, urutan kedua negara pengimpor barang (2009), serta menduduki urutan kedua di dunia dalam nilai bantuan pembangunan dalam anggaran tahunannya (2008).

Jerman juga dikenal sebagai negara dengan sistem jaringan pengaman sosial yang baik dan memiliki standar hidup yang sangat tinggi. Jerman dikenal sebagai negara dengan penguasaan ilmu dan teknologi maju di berbagai bidang, baik ilmu alam maupun sosial dan kemanusiaan. Selain itu, negara yang banyak mencetak prestasi di bidang keolahragaan, seperti F1, sepak bola, dan lain-lain. Jerman dianggap sebagai negara yang sangat menghidupkan dunia, memengaruhi keadaan perekonomian dan bursa saham dunia.

Meski banyak perbedaan antara Indonesia dan Jerman, dua negara itu sama-sama menjadi anggota G-20. Kita perlu belajar dari kehebatan Jerman. Memberantas korupsi dengan tegas dan bertanggung jawab justru akan mempercepat proses pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Tidak ada negara maju yang politisi korupnya aman dari jeratan hukum. Negara maju pasti memiliki etika yang kuat.

Korea Selatan sebagai salah kekuatan ekonomi di Asia memiliki budaya antikorupsi yang tinggi. Terbongkarnya kasus korupsi membuat mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun malu dan memilih bunuh diri. Harta mantan Presiden Korea Selatan lainnya, Chun Doo Hwan, terkuras habis untuk mengembalikan hasil korupsi. Dia pun menyepi (madeg pandhita) di kuil. Demikian pula, anak mantan Presiden Kim Dae Jung harus ikut menanggung beban orang tuanya karena menikmati korupsi dengan masuk penjara.

Tiongkok, untuk menjadi sebuah negara besar, juga dibangun atas dasar antikorupsi. Terbukti, ketika dilantik menjadi perdana menteri Tiongkok pada 1998, Zhu Rongji mengatakan, "Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama."

Di Indonesia, jangankan peti mati, hukuman yang "pantas" saja jarang menyentuh koruptor. ●
◄ Newer Post Older Post ►